• Berita
  • Wayang Golek di Tangan Orang-orang Muda, Menemukan Tantangan Berat di Era Digital

Wayang Golek di Tangan Orang-orang Muda, Menemukan Tantangan Berat di Era Digital

Tantangan yang dihadapi kesenian wayang golek tidak hanya regenerasi dalang, tetapi juga adaptasi dengan zaman digital dan kekhawatiran ditinggalkan penonton.

Kompetisi Binojakrama Padalangan Wayang Golek Purwa di Cisaranten Endah, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung, 17–18 Mei 2025. (Foto: Aqeela Syahida Fatara/BandungBergerak)

Penulis Aqeela Syahida Fatara20 Mei 2025


BandungBergerak.idKesenian tradisional wayang golek menghadapi tantangan regenerasi dalang muda. Hal itu terlihat dalam kompetisi "Binojakrama Padalangan Wayang Golek Purwa" di Cisaranten Endah, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung—daerah yang dikenal sebagai tempat lahirnya maestro Amung Sutarya (almarhum).

Kompetisi yang berlangsung selama 17–18 Mei 2025 ini diikuti oleh 11 dalang dari Kota Bandung. Para peserta bersaing memperebutkan tiket ke tingkat provinsi dan memperebutkan piala bergilir Bokor Mas Kencana Astagina. Acara diselenggarakan oleh Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) yang bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung.

Dandan Dede Amung Sutarya, ketua pelaksana kompetisi sekaligus putra dari almarhum Amung Sutarya mengatakan, kompetisi dalang ini menjadi momentum untuk menumbuhkan semangat dalang muda dalam melestarikan budaya Sunda.

“Intinya supaya dalang-dalang muda lebih semangat mewakili Kota Bandung ke Jawa Barat,” ujar Dadan, saat ditemui pada hari pertama kompetisi, Sabtu, 17 Mei 2025.

Binojakrama Padalangan diharapkan menjadi ruang regenerasi dalang. Melalui ajang ini, PEPADI dan pihak penyelenggara ingin memastikan bahwa akan selalu ada penerus bagi seni pedalangan di masa depan.

Salah satu dewan juri, Tutun Hatta menjelaskan, penilaian kompetisi tidak hanya melihat performa dalang di atas panggung, tetapi juga mencakup penguasaan teori dan praktik ilmu pedalangan. Dalang harus memahami nilai-nilai esensi dan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur.

Pemilihan cerita juga menjadi aspek penting dalam penilaian. Peserta hanya boleh membawakan cerita Galur dan Sempalan. Galur merujuk pada kisah utama dari epik Ramayana dan Mahabharata, sementara Sempalan adalah potongan cerita dramatis dari Galur.

Menurut Tutun, dalang harus mampu menyampaikan cerita secara utuh, mulai dari penyampaian masalah hingga penyelesaiannya hanya dalam waktu satu jam. Hal ini menuntut kreativitas sekaligus kedalaman pemahaman terhadap struktur dramatik cerita wayang.

Tantangan Era Digital

Di balik semangat pelestarian budaya, para dalang muda menghadapi tantangan besar di era digital, seperti diungkapkan salah satu peserta, Naufal Hilmi. Ia menyebut, perubahan pola konsumsi hiburan generasi muda membuat seni wayang harus terus beradaptasi.

“Kita harus berkreasi, supaya seni wayang tidak terkesan tua,” ujar Naufal, yang telah menekuni seni pedalangan sejak usia 18 tahun.

Inovasi wayang golek perlu dilakukan tidak hanya dalam teknik pementasan, tetapi juga dalam pengembangan karakter wayang agar lebih relevan dengan kondisi masyarakat masa kini.

Meski begitu, antusiasme masyarakat tetap terlihat dalam acara ini. Kursi penonton penuh selama pertunjukan berlangsung. Seorang penonton bernama Yuli mengapresiasi ajang ini karena mampu menampilkan wajah-wajah baru dalam dunia pedalangan.

“Bagus diadakannya ini, jadi muncul lagi dalang-dalang baru yang lebih muda,” tuturnya.

Wayang, lebih dari sekadar pertunjukan. Ia memiliki nilai filosofis yang dalam. Dalam pementasannya, dalang tidak hanya menceritakan kisah, tetapi juga menyampaikan pelajaran hidup.

Wayang juga lebih dari sekadar boneka seperti yang dipahami dalam pengertian barat. Menurut Tutun Hatta, wayang memiliki nilai-nilai filosofis dan pandangan hidup yang bisa dicermati oleh penonton.

Tutun menambahkan, pesan moral yang terkandung dalam pertunjukan wayang menyentuh aspek etika, sosial, bahkan ketuhanan. Karena itulah, dalang harus mampu menyampaikan pesan tersebut secara halus namun bermakna. Tak heran wayang juga bagian dari seni tutur.

Untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut, wayang mengandalkan konsep Panca Curiga, yaitu lima aspek ketajaman bahasa: sindir, silib, sampir, siloka, dan sasmita. Aspek-aspek ini adalah elemen penting dalam pewayangan yang harus dikuasai dalang agar cerita memiliki kedalaman dan daya tarik.

Kehilangan Audiens

Pendapat Tutun senada dengan penelitian yang dilakukan Siska Yuningsih, Khalid Pirmansyah, Dicky Lazuardi, Deis Mulya Hafsari, Ahmad Fahri, Amaliah Hasda, Sabilal Muktadin [Siska dkk] (diakses, 20 Mei 2025). Para peneliti menyatakan, seni yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu itu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat melalui kisah-kisah yang merefleksikan ajaran moral, agama, dan kearifan lokal.

“Pada masa penyebaran Islam di Jawa, Wayang Golek juga berfungsi sebagai media dakwah yang efektif, menyampaikan ajaran agama melalui cerita-cerita tokoh pewayangan yang mudah dipahami oleh masyarakat. Oleh karena itu, Wayang Golek tidak hanya dikenal sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat komunikasi budaya yang menjembatani nilai-nilai tradisional dengan kehidupan sehari-hari,” tulis Siska dkk.

Namun, para peneliti dari jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta itu melihat seni Wayang Golek menghadapi tantangan yang cukup besar di era digital ini, selain masalah regenerasi. Perkembangan media hiburan digital telah mengubah preferensi masyarakat, terutama generasi muda, yang cenderung lebih tertarik pada bentuk hiburan visual yang instan dan interaktif.

Wayang Golek, yang memerlukan waktu lama dalam pertunjukan dan pemahaman khusus atas makna ceritanya, mulai dianggap "kuno" dan ketinggalan zaman oleh sebagian besar anak muda. Perubahan ini menjadi tantangan bagi kelangsungan Wayang Golek sebagai warisan budaya, karena komunikasi antara seniman dan audiens menjadi semakin sulit terjalin.

Siska dkk juga menjelaskan, wayang golek bergantung pada komunikasi interpersonal antara dalang dan audiensnya. Dalang sebagai komunikator utama memiliki peran penting dalam membangun interaksi dan menjaga perhatian penonton melalui cerita, humor, dan improvisasi. Namun, dengan berkurangnya kesempatan untuk tampil di ruang publik dan perubahan pola konsumsi hiburan, interaksi tradisional ini menjadi kurang efektif dalam menjangkau audiens yang lebih luas.

“Penggunaan media digital dan platform komunikasi modern dapat menjadi solusi untuk mengatasi tantangan ini. Media sosial, seperti Instagram, YouTube, dan TikTok, dapat dimanfaatkan untuk memperkenalkan kembali wayang golek kepada generasi muda dengan format yang lebih sesuai dengan gaya hidup digital mereka,” terang Siska dkk.

Menurut para penliti, adaptasi komunikasi ini mencakup transformasi dari format pertunjukan tradisional menjadi konten digital yang dapat diakses dengan mudah. Misalnya, cerita wayang golek dapat dikemas dalam bentuk video pendek, cerita berseri, atau ilustrasi visual yang menarik. Dengan penggunaan platform digital, pesan-pesan dari wayang golek dapat disampaikan secara efektif tanpa kehilangan esensi budayanya.

“Melalui konten digital, para dalang dan seniman bisa menyampaikan nilai-nilai tradisional Wayang Golek dalam format yang lebih modern, seperti menggunakan animasi atau kolaborasi dengan influencer budaya untuk memperluas jangkauan audiens,” ungkap Siska dkk.

 

*Kawan-kawan yang baik silakan menengok artikel-artikel lainnya tentang seni tradisional dalam tautan ini

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//