• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Gerakan Rimpang Tidak Selalu Bermakna Ramping

MAHASISWA BERSUARA: Gerakan Rimpang Tidak Selalu Bermakna Ramping

Model gerakan rimpang sering dianggap sebelah mata. PKI pernah menerapkan strategi rimpang di dalam organisasinya.

Arrneto Bayliss

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Senang menyusuri Jakarta tanpa tujuan naik motor, sembari membaca reklame iklan.

Pidato Siswojo, ketua yayasan Universitas Rakyat (Unra) sekaligus anggota Politbiro CC PKI terbit di Harian Rakjat, 28 September 1959. (Foto: Arrneto Bayliss, Harian Rakjat tanggal 28 September 1959)

31 Juli 2025


BandungBergerak.id – Bulan April 2024, salah satu warga Kampung Susun Bayam (KSB) Madani, Muhammad Furqon harus merasakan tinggal dibalik dinginnya jeruji besi penjara selama 50 hari. Ia ditangkap oleh Kepolisian Jakarta Utara dengan tuduhan mencuri, perusakan, dan penempatan rumah susun tanpa izin. Padahal, bersama warga lain, ia hanya ingin pulang kembali ke ruang hidupnya yang sudah dihuni sebelum Reformasi 1998 meletus.

Setelah terjalnya liku-liku konflik melawan JakPro, warga KSB Madani berhasil pulang ke rumah pada 6 Maret 2025. Perjuangan ini tidak sendirian dilakukan oleh warga KSB Madani. Gerakan di sektor agraria, seperti Sukahaji Melawan, Aliansi Masyarakat Gunung Gede Pangrango (AMGP), Gema Sukamulya Rumpin, dan lain sebagainya turut hadir bergandengan membersamai perjuangan.

Gerakan ini tidak ditunggangi partai politik tunggal, melainkan menjalar atas kesadaran proletar. Kemudian, dibarengi juga dengan solidaritas lintas organisasi.

Sayangnya, model gerakan rimpang dianggap sebelah mata. Di sini, gerakan sosial yang memiliki komposisi massa terstruktur di bawah satu kekuatan dijadikan antitesis. Hal itu dikarenakan, gerakan rimpang dinilai tidak strategis dan terlalu acak dalam menghadapi atau memenangkan tuntutan kebijakan nasional yang menindas.

Lebih lanjut dapat dibaca dalam tulisan “Bahaya Laten Gerakan Rimpang”, yang ditulis oleh Abdil Mughis Mudhoffir.

Jika merefleksikan kembali gerakan rimpang di sektor agraria, tentu tulisan Mughis keliru dalam membaca aspek kelas, sejarah, dan realitas secara menyeluruh.

Dari sisi kelas, Mughis menyebut kaum borjuis lebih lantang mendinamisasi gerakan rimpang. Klaim itu rontok jika dilihat dari jejak perampasan ruang yang justru menggerakkan kesadaran perlawanan oleh kelas proletar.

Sementara di sisi sejarah, tulisan Mughis malah menunjukkan sisi ahistoris. Pola gerakan rimpang sejatinya bukan barang baru. Dalam sejarah Indonesia, strategi rimpang justru pernah menjadi jalan tengah ketika kekuatan terpusat menemui kebuntuan

Dalam temuan saya, PKI pernah menerapkan strategi rimpang di dalam organisasinya. Tindakan ini tentu di luar kebiasaan PKI yang dikenal dengan strategi terpusat mengikuti arahan ketua, D. N. Aidit.

Tetapi, ketua yayasan Universitas Rakyat (UNRA), sekaligus anggota Politbiro CC PKI, Siswojo, dalam pidato ulang tahun pertama kampus yang kini menjadi universitas Trisakti Jakarta tersebut, menyatakan harus ada opsi alternatif dengan mengubah strategi politik.

Model gerakan rimpang akhirnya jadi pilihan. Hal ini dilakukan untuk memperluas skema penyebaran ide politik. Sebab, keadaan ekonomi UNRA atau PKI belum cukup kuat untuk membangun banyak kampus.

Disamping itu Universitas Rakjat djuga menerima langganan diktat untuk mereka peladjari sendiri, tetapi dengan tjatatan bahwa mereka bukan siswa. Djadi mereka tidak mempunjai hak untuk mengikuti ulangan, udjian, idjasah, dan kartu siswa. Para langganan diktat ini berasal dari seluruh pelosok Indonesia jang umumnja karena dikotanja belum terdapat tjabang Universitas Rakjat maka merek mendjadi langganan diktat langsung dengan Universitas Rakjat di Djakarta. Djumlah langganan diktat sampai sekarang ada sebanjak 175 orang”, (Harian Rakjat, 28 September 1959, halaman III, Perhebat dan intensifkan perdjuangan anti imperialis dalam front ideologi).

Strategi plastis Siswojo kala itu melalui diktat, kini menjelma di dalam ruang digital. Dengan disuguhkannya model meme, poster, flyer digital, dan berbagai utas. Pola distribusi rimpang dan tidak terpusat lewat komando dipilih agar bisa mencapai proses kerja yang fleksibel demi memperluas hegemoni gagasan perlawanan.

Selain itu, selama akhir 1970 dan 1980-an gerakan rimpang juga pernah dijadikan strategi oleh kalangan mahasiswa. Caranya adalah membingkai gerakan politik ke dalam lingkar studi. Di dalam buku Gerakan Mahasiswa Sebagai Kelompok Penekan: Studi Kasus Keluarga Mahasiswa dari Masa Orde Lama hingga Pasca-reformasi, karya Luthfi Hamzah Husin, menjelaskan gerakan rimpang dan underground di bab III yang muncul akibat situasi seperti ini.

Terdapat beberapa faktor yang menjadi latar belakang dipilihnya gerakan rimpang. Pertama, gerakan mahasiswa dipukul mundur masuk dan tertib belajar saja ke dalam kampus akibat dicanangkannya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/ BKK) pada tahun 1978. Kedua, senat Mahasiswa yang tadinya berperan penting dalam pergerakan–berkaca pada Tritura 1966–malah berubah fungsi menjadi perpanjangan tangan birokrasi kampus.

“Akibat tekanan dari militer dan Pemerintah Orde Baru sekitar tahun 1979 hingga 1981, gerakan mahasiswa mengalami guncangan dan trauma politik sehingga gerakan mahasiswa tidak lagi berorientasi politik seperti pada periode sebelumnya, dan mulai beralih ke arah studi an sich”, (Husin, 2014: 82).

Melihat kebiasaan massa lebih memilih gerakan rimpang hari ini, tentu ada kaitan yang kompleks. Tidak hanya menyalahkan orang yang tidak konsisten demonstrasi, lalu hilang karena harus kembali sibuk dengan urusan masing-masing.

Kenyataannya, kita masih dihantam trauma pasca peristiwa genosida pada tahun 1965 dan represifitas gerakan sipil pada Orde Baru. Kondisi ini bergerak di bawah alam sadar, cenderung diabaikan, dan mempengaruhi struktur mental generasi pergerakan sekarang.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Kampus Butuh Organisasi Perempuan yang Inklusif dan Massal
MAHASISWA BERSUARA: 26 Tahun LMID, Meniti Jalan Demokrasi Rakyat
MAHASISWA BERSUARA: Rezim Prabowo Mengontrol Ruang Digital dan Mencederai Demokrasi Indonesia

Realitas Struktur Mental Massa dan Perlawanan Kapitalisme

Mengajak dua filsuf Perancis, Gilles Deleuze dan Felix Guattari ke dalam arena pembedahan struktur mental dinamika massa dari gerakan rimpang diperlukan.

Dalam buku Teori Posmodern: Interogasi Kritis–terjemahan dari Postmodern Theory: Critical Interrogations–karya Steven Best dan Douglas Kellner. Deleuze dan Guattari berujar jika gerakan rimpang terbentuk atas hasrat yang terus berpindah.

Khususnya dalam konteks fenomena perjuangan hari ini, ketakutan atas represi hasrat berpolitik pada tahun 1965 dan masa Orde Baru, menciptakan massa yang menjalar di berbagai ruang dan memiliki banyak wadah gerakan.

“Deleuze dan Guattari menegaskan bahwa hasrat, seperti kekuasaan bagi Foucault, secara mendasar positif dan sifatnya produktif, yang beroperasi bukan untuk menyelidiki objek yang hilang yang akan mewujudkan dan menyempurnakannya, namun berada di luar tatanan produktif dari energi yang menggunakannya agar menemukan koneksi dan kesertamertaan (instantiations) yang baru, (Best & Kellner, 1991: hlm 92).

Selain berpangku pada struktur mental, gerakan rimpang juga dekat dengan realitas perlawanan terhadap kapitalisme dan manifestasinya lewat kebijakan politik menindas. Bagian analisis ini dapat dibantu dengan kerangka berpikir seorang filsuf post-marxisme asal Italia, yaitu Antonio Negri.

Lewat buku Marx in movement: Operaismo in context, Negri berusaha melihat gerakan rimpang dapat melawan penindasan oleh kapitalisme dan kebijakan politik menindas secara perlahan-lahan. Cara konkritnya dengan menggerogoti dari banyak sektor sembari makin banyak menjalar.

But when the whole of life becomes production, capitalist time measures only that which it directly commands. And socialized labour power tends to unloose itself from command, insofar as it proposes a life alternative – and thus projects a different time for its own existence, both in the present and in the future”, (Negri, 2005: 30).

Bukan soal gerakan rimpang tak peduli isu nasional. Justru gerakan rimpang tumbuh dari puing-puing ekspektasi ilusif gerakan besar terstruktur yang terus mendapat represi dalam sejarah. Kritik terhadap gerakan terstruktur sesungguhnya terlalu bergantung pada denyut momentum politik yang tak pernah bisa dikendalikan.

Bagian yang terus digali sangat normatif, yaitu kekosongan political will massa aksi. Padahal gerakan nasional kita hari ini memang kehilangan daya ledaknya. Lihat saja, akhir Maret 2025, 69 titik demonstrasi terhadap UU TNI. Tapi tak lama berselang pada Juni 2025, badai PHK menyapu lebih dari 30.000 buruh tanpa ada pembelaan setara dari suara perlawanan yang cukup untuk mengguncang.

Gerakan skala nasional sendiri makin tampak terjerembap dalam simulasi perayaan berbasis momentum. Dalam kehampaan semacam itu, gerakan rimpang hadir sebagai perlawanan paling dekat, sambil mengejar imajinasi kemenangan bersama sebagai rakyat dalam bangsa Indonesia.

Sejarawan Swedia, Olle Törnquist, mengingatkan dalam buku Penghancuran PKI, jika kebutuhan mendesak sekarang adalah gerakan bernafas jangka panjang. Jika model gerakan terstruktur atau partai yang kuat padu tetapi mudah teridentifikasi oleh serangan terpusat, tentu jadi tidak bermanfaat (Törnquist, 2017: 334).

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//