Satu Nyawa, Dua Institusi, dan Keharusan Rakyat Memberontak
Kematian Affan Kurniawan menjadi gambaran kegagalan dua institusi negara: polisi dan DPR.

Sastra Wijaya
Penulis Lepas. Mencintai kucing dan demokrasi.
1 September 2025
BandungBergerak - Kamis, 28 Agustus 2025 malam, di antara deru sirene dan pekik kekecewaan, Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, meninggal dunia. Aspal Pejompongan menjadi saksi bagaimana tubuh laki-laki berusia 21 tahun tersebut terlindas kendaraan taktis (rantis) Barracuda milik Brigade Mobil (Brimob). Dalam video yang beredar, ketika kendaraan melaju ke arahnya, Affan terlihat berusaha menghindar, rantis juga sempat berhenti sejenak. Namun tidak lama mobil yang beratnya hampir 12 ton tersebut kembali melaju dan melindas tubuhnya. Affan, yang tidak menjadi peserta demonstrasi, segera dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), tapi nyawanya tidak tertolong.
Latar belakang demonstrasi maut ini adalah kemarahan publik yang meledak atas tingkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Isu kenaikan gaji dan tunjangan bagi para legislator di tengah kecamuk ekonomi hari ini menjadi pemicu utama. Aksi pada 28 Agustus adalah eskalasi dari demonstrasi-demonstrasi sebelumnya, termasuk aksi besar pada 25 Agustus. Rentetan aksi ini menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga yang seharusnya mewakili mereka.
Kematian Affan menjadi gambaran kegagalan dua institusi negara. Pertama, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai lembaga keamanan yang terus melanggengkan budaya kekerasan dan menjadi alat negara paling mematikan. Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga representatif yang kebijakan ugal-ugalannya menyulut alasan utama rakyat turun ke jalan.
Keduanya saling berkelindan dan menggerogoti fondasi demokrasi Indonesia hari ini.
Ilusi Oknum dan Permintaan Maaf Basa-basi
Kabar kematian Affan menyebar dengan cepat. Di media sosial, tagar #PolisiPembunuhRakyat memuncaki tren pencarian. Netizen mengutuk dan mengumpat atas tindakan yang dilakukan oleh aparat. Sementara di dunia nyata, rentetan aksi berlangsung. Di Markas Komando (Mako) Brimob di Kwitang, para pengendara ojek online menuntut pertanggungjawaban langsung. Di Bandung dan daerah lain, kawan-kawan solidaritas menunjukkan dukungannya.
Tujuh orang anggota Brimob yang berada di dalam rantis, yakni Kompol C, Aipda M, Bripka R, Briptu B, Bripda M, Baraka Y, dan Baraka J, diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Sementara Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mendatangi langsung keluarga korban untuk menyampaikan permintaan maaf dan duka cita yang mendalam.
Apakah itu artinya masalah sudah selesai? Belum. Kita tidak boleh terlena. Kita sudah belajar. Apa gunanya meminta maaf jika tidak dibarengi dengan perubahan radikal dalam institusi Polri sendiri?
Dari Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang, dari Kasus Gamma bocah remaja 17 tahun yang ditembak aparat, kita bisa melihat pola. Nyatanya, permintaan maaf sama sekali tidak menyentuh akar masalah yang terjadi. Permintaan maaf, dalam kerangka ini, hanya menjadi peredam emosi publik.
Kira-kira begini skenario yang umum terjadi. Aparat melakukan kejahatan. Institusi kemudian berdalih tidak melakukan kesalahan. Publik memberi tekanan agar kasus segera diselesaikan. Kejahatan terbongkar. Pimpinan polisi meminta maaf. Pelaku diberi sanksi. Hampir selalu demikian polanya.
Dan, ada satu lagi bagian yang selalu berulang: penggunaan istilah “oknum”. Secara definitif, "oknum" merujuk pada seorang individu yang tindakannya dianggap menyimpang dari norma atau perilaku umum kelompok atau institusinya. Istilah ini sangat erat berkaitan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang dalam institusi negara. Jarang sekali kata “oknum” dilekatkan pada rakyat atau orang-orang kecil. Itu artinya, "oknum" bukan sekadar pilihan kata yang netral. Dalam politik bahasa, penggunaannya adalah strategi untuk mengalihkan kesalahan institusi ke individu, menciptakan ilusi akuntabilitas, dan melindungi nama baik institusional.
Dalam kasus Affan, kita dapat melihat bahwa istilah “oknum” mencoba mengerdilkan persoalan menjadi sebatas kesalahan tujuh (7) orang saja. Bahwa institusi Polri sebagai sebuah sistem adalah baik, profesional, dan bekerja sesuai aturan. Alhasil, pertanyaan fundamental seperti mengapa kendaraan lapis baja bisa melaju begitu membahayakan di tengah kerumunan, atau apa isi doktrin pengendalian massa yang diajarkan, atau bagaimana budaya brutal bisa tumbuh subur di unit kepolisian, dapat dihindari.
Setelah kesalahan dilimpahkan ke level individu, jika mengikuti pola umum dalam kasus yang pernah terjadi sebelumnya, para “oknum” ini akan ditindak melalui sidang etik atau proses pidana. Di sinilah ilusi akuntabilitas mulai mengemuka. Publik diberi tontonan bahwa institusi sedang bertindak dan masalah telah “diselesaikan”. Dengan demikian, mengorbankan para “oknum” ini akan melindungi citra anggota kepolisian yang lain, menutupi watak institusi yang sesungguhnya. Akhirnya, kepercayaan publik yang tersisa bisa kembali terjaga.
Jika kita menginginkan kasus seperti ini tidak terjadi lagi, tentu penggunaan istilah “oknum” harus dihindari dan dipandang secara kritis. Publik harus mengerti, jika pola terus berulang dan melulu “oknum” yang disalahkan, tidak akan ada perubahan sistemik yang terjadi di institusi kepolisian. Menghukum beberapa “oknum” terbukti tidak menyelesaikan masalah. Sebab, masalah utama dari kepolisian ada pada sistemnya, mulai dari perekrutan, prosedur operasional, hingga mekanisme pengawasan internal.
Tiga Dimensi Masalah Kepolisian
Bagi kita yang senantiasa merawat ingatan, mudah saja untuk melihat bahwa kekerasan oleh polisi adalah peristiwa yang sistemik dan berulang. Selain kasus-kasus yang disinggung sebelumnya —kematian Affan, tragedi Kanjuruhan, dan kasus Gamma, berbagai data dari organisasi masyarakat sipil telah menunjukkan bahwa Polri selalu berada di peringkat pertama sebagai lembaga negara paling sering dilaporkan atas tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Masalah yang terjadi dalam kepolisian bisa dilihat dalam tiga dimensi: struktural, kultural, dan instrumental.
Dalam dimensi struktural, Polri diberi kewenangan besar oleh undang-undang untuk memelihara keamanan, menegakkan hukum pidana, dan memberikan izin keramaian. Sayangnya, kewenangan yang besar ini tidak diimbangi pengawasan yang memadai. Kompolnas dirasa kurang menggonggong dan menggigit. Propam lebih sering melindungi citra institusi ketimbang memberikan keadilan bagi korban.
Masalah struktural ini semakin parah jika kita sandingkan dengan kegagalan dalam sistem pendidikan internal Polri —yang juga berkaitan dengan dimensi kultural. Budaya senioritas yang abusif dan sarat kekerasan fisik menjadi tradisi “pembinaan” yang sulit dihilangkan dalam akademisi kepolisian. Lingkungan pendidikan yang patriarkal dan hipermaskulin ini membentuk aparat yang melihat kekerasan sebagai solusi atas segala permasalahan yang terjadi. Praktik keseharian tersebut akhirnya mencetak aparat dengan benih-benih arogansi dan kebrutalan yang akan mereka bawa ke tengah masyarakat. Loyalitas dan jiwa korsa pun seringkali diartikan sebagai solidaritas untuk menutupi kesalahan sesama anggota, yang kemudian melahirkan impunitas.
Kemudian dalam dimensi instrumental, penegakan hukum terhadap anggota yang melanggar sangat lemah. Aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana serius seringkali hanya diberikan sanksi berupa permintaan maaf, penundaan kenaikan pangkat, atau demosi. Jarang sekali kasus berakhir dengan proses pidana. Sekalipun ada, biasanya harus terlebih dahulu melewati jalur viral dan menimbulkan kemarahan publik yang luar biasa.
Ingat, DPR juga Terlibat!
Kita tidak boleh lupa bahwa kematian Affan tidak lepas dari peran DPR yang menjadi biang ketidakpuasan publik yang berujung demonstrasi besar-besaran. Dalam bahasa yang mudah, perilaku DPR belakangan ini semakin menunjukkan bahwa mereka telah menanggalkan peran sebagai wakil dari kepentingan rakyat menjadi bagian aparatur negara yang bekerja untuk mengamankan kepentingan elite.
DPR menjadi penyulut api emosi rakyat. Bagaimana tidak, wacana kenaikan gaji dan tunjangan bagi anggota dewan jelas-jelas melukai hati rakyat yang sedang berada dalam impitan sulit ekonomi. Belakangan ini, rakyat betul-betul dipertontonkan bagaimana para wakil rakyat lebih sibuk memperkaya diri daripada memperjuangkan kesejahteraan konstituennya.
Jika kita menarik ke belakang, apa yang dilakukan oleh DPR tidak hanya menjadi penyulut api, tapi juga menjadi lembaga yang melegitimasi dan memperkuat represi negara. Mereka melakukannya dengan dua cara: mengerdilkan fungsi pengawasan dan memproduksi legislasi anti-demokrasi.
Untuk yang pertama, DPR tidak dengan serius mengawasi institusi kepolisian. Komisi III DPR memang terbilang rajin melakukan Rapat Dengan Pendapat (RDP) dengan Kapolri, tapi seringkali hanya bersifat seremonial belaka. Mereka hanya menunjukan keprihatinan sesaat atas masalah yang menimpa rakyat. Solusi yang hadir pun normatif, semisal “meminta Kapolri menindak tegas” atau “menjaga disiplin anggota”. Tidak pernah sedikitpun menyentuh persoalan sistemis.
Untuk yang kedua, DPR memproduksi legislasi yang mengancam kebebasan sipil. Contohnya bisa terlihat dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau Omnibus Law Cipta Kerja. Pasal-pasal yang tertuang dalam peraturan-peraturan tersebut dinilai karet dan sangat rentan bagi masyarakat sipil yang getol menyuarakan kritik, menunaikan kebebasan berekspresi juga kebebasan pers.
Jangan juga lupakan peraturan yang kini sedang digodok: Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Revisi UU Polri. Kedua peraturan ini memberikan kekuatan maha besar bagi institusi Polri. Akhirnya, tindakan-tindakan represif yang sebelumnya bertentangan, di kemudian hari akan dilegalkan dan dilegitimasi dalam kerangka hukum yang sah.
Melihat apa yang dilakukan oleh Polri dan DPR, kita dapat melihat dua kesimpulan. DPR menjadi institusi yang menghalangi kedaulatan rakyat dan terus menerus menciptakan kemarahan publik. Polri menjadi eksekutor untuk membungkam kedaulatan dan kemarahan tersebut. Sebuah kombinasi yang pas dan memuakkan!
Tidak Ada Pilihan Selain Memberontak
Ketika institusi-institusi negara—lembaga keamanan dan lembaga perwakilan—secara sistemik gagal menjalankan fungsinya dan justru menjadi sumber represi dan penindasan, pertanyaan mengemuka: apa kewajiban warga negara? Apakah di situasi yang dingin mencekam ini kita harus terus diam? Tentu tidak. Kita harus memberontak. Bergerak. Alasannya sederhana, agar kita tidak mati kedinginan.
Turun ke jalan tentu menjadi sebuah keharusan. Demonstrasi menjadi simbol kesadaran bahwa negara ini sedang tidak baik-baik saja. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terus terjadi. Pelanggaran dan kejahatan terus berulang. Demonstrasi tidak akan dan tidak boleh berakhir.
Namun di sisi lain, tentu ada beberapa kondisi lain yang menyebabkan sebagian orang tidak bisa ikut terlibat dalam demonstrasi. Kebutuhan perut dan tuntutan keseharian kadang tidak memberi ruang dan waktu untuk ikut membersamai kawan-kawan yang ada di jalan. Kita tidak bisa menyalahkan mereka. Kita mesti membuka cara lain untuk memberontak.
Satu yang mungkin dilakukan adalah pembangkangan sipil (civil disobedience). Pembangkangan sipil adalah sebuah penolakan sadar dan kolektif terhadap hukum dan kebijakan yang tidak adil.
Konsep pembangkangan sipil modern dipopulerkan oleh filsuf Amerika, Henry David Thoreau. Dalam esainya yang terkenal, Thoreau berargumen bahwa individu memiliki kewajiban moral untuk menolak mematuhi hukum yang tidak adil dan menolak memberikan kesetiaan kepada pemerintahan yang tiran atau tidak efisien. Baginya, kepatuhan buta terhadap hukum yang jahat menjadikan warga negara sebagai agen ketidakadilan.
Pembangkangan sipil berfungsi sebagai mekanisme korektif yang paling mendasar. Pembangkangan sipil adalah cara rakyat menunjukkan pada penguasa siapa pihak yang paling berkuasa sebenarnya. Ketika institusi negara dan instrumen politik tidak memenuhi kebutuhan rakyat, sudah seharusnya rakyat menarik kepatuhan mereka. Menuntut kembali kedaulatan yang telah dirampas.
Darah Affan Kurniawan tidak boleh sia-sia. Kematiannya harus menjadi alarm bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan Republik ini. Ia harus menjadi bahan bakar bagi amarah kita. Amarah untuk merebut negara ini dari tangan para elite yang ugal-ugalan. Karena pada akhirnya, kedaulatan tertinggi bukanlah milik mereka yang duduk di istana atau gedung parlemen dengan penjagaan berlapis, melainkan ada di tangan rakyat.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB