• Berita
  • Pameran Echoes of Resistance di Pasar Antik Cikapundung: Melawan Lupa Lewat Seni, Arsip, dan Ingatan

Pameran Echoes of Resistance di Pasar Antik Cikapundung: Melawan Lupa Lewat Seni, Arsip, dan Ingatan

Pameran Echoes of Resistance di galeri RAW Syndicate Pasar Antik Cikapundung menjadi ruang arsip tentang trauma, amarah, kehilangan, harapan, dan perlawanan.

Pameran Echoes of Resistance di Galeri RWD, Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung. Sabtu 6 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Tim Redaksi15 September 2025


BandungBergerakLorong di sekitar Galeri Red Raws Center Pasar Antik Cikapundung, Bandung penuh dengan foto-foto. Di antara pameran ini terselip latar draft revisi KUHAP yang menuai kontroversi. Pasal-pasal bermasalahnya dicoret dengan stabilo oranye, menyoroti ancaman pelemahan hak-hak sipil. Di atas kepala, lima payung Kamisan berwarna hitam tergantung terbalik, sebuah penanda visual yang kuat tentang tema yang diangkat oleh RAW Syndicate: Echoes of Resistance.

Melalui karya fotografi, instalasi, hingga catatan reflektif, pameran yang 6–14 September 2025 ini menyuarakan perlawanan atas lupa, upaya menghidupkan kembali ingatan kolektif akan kekerasan dan ketidakadilan yang terus membayangi.

Pameris yang terlibat berasal dari berbagai kota: Abdullah Dienullah, Adrianus Mulya, Chandra Mirtamiharja, Dian Utoro Aji, Khoerunisa Taos, Livia Nathania Kurniawan, dan kolektif Suara Ganesha. Mereka membawa karya-karya personal namun terhubung oleh satu benang merah: resistensi terhadap penindasan yang masih terus hidup dalam berbagai rupa.

Salah satu kurator Salma Khairunnisa Achmad atau yang akrab disapa Cacuy menyebutkan, setiap karya dalam pameran ini terikat pada narasi tentang tindak represif negara dan aparat terhadap warga negaranya. Namun alih-alih menyuguhkan kekerasan secara gamblang, karya-karya yang dipajang justru bersifat metaforis, mengajak pengunjung untuk membaca, menafsirkan, dan merasa.

“Jadi metafora kami ini semacam kritik terhadap draft RKUHP tersebut lewat karya-karya yang dihadirkan,” ungkap Cacuy.

Menurutnya, bahkan tanpa RKUHAP yang baru pun aparat sudah bertindak opresif. Dan jika disahkan RKUHAP justru akan menjadi legitimasi kekuasaan yang semakin represif. Pameran ini, menurut Salma, ingin menegaskan bahwa mengingat adalah bentuk perlawanan.

“Ingatan atas kekerasan aparat, dampaknya, dan bagaimana ia terus berulang, semua itu harus dirawat, karena ini juga bentuk resistensi yang paling kuat,” kata Salma.

Pameran Echoes of Resistance di Galeri RWD, Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung. Sabtu 6 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Pameran Echoes of Resistance di Galeri RWD, Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung. Sabtu 6 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Potret Kekerasan, Simbol Solidaritas

Salah satu pameris menampilkan foto bertajuk “Ride in Peace”, menampilkan helm ojek online di atas nisan kuburan. Foto itu diambil saat pemakaman Affan Kurniawan, pengemudi ojol yang tewas ditabrak mobil rantis Brimob saat demonstrasi di Jakarta, 28 Agustus 2025.

“Berbagai foto yang ada di sini bisa jadi semacam memori penanda zaman. Kita tidak boleh lupa akan hal-hal seperti ini,” ujar Adrian.

Di sisi lain, karya Abdullah Dienullah berjudul “Bukan Upacara Bendera Terakhir” menyorot keteguhan guru dan murid SDIT Bina Muda di Tenjolaya, Cicalengka, yang tetap menggelar kegiatan belajar-mengajar meski sekolah mereka terancam digusur.

Menurut Abdullah, fotografi bisa jadi sarana menyampaikan berbagai kisah atau permasalahan sosial, karena kesadaran bisa muncul tak hanya dari sesuatu yang brutal.

Kolektif Suara Ganesha menghadirkan karya berjudul “Bebaskan Kawan Kami”, menampilkan empat mahasiswa ITB dengan wajah digantikan kotak-kotak PNG, sebagai bentuk protes atas penangkapan Sekar, mahasiswi ITB yang dituduh mencemooh rezim melalui meme. Karya ini mempertanyakan makin sempitnya ruang kritik.

Tak jauh dari sana, tumpukan kardus air mineral membentuk karya “Bupati Aroga, Warga Pati Turun ke Jalan” karya Dian Utoro Aji. Kardus-kardus itu merekam suara perlawanan warga Pati yang menolak kenaikan Pajak Bumi Bangunan sebesar 250 persen, serta menuntut Bupati Sudewo mundur dari jabatannya.

Pameran Echoes of Resistance di Galeri RWD, Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung. Sabtu 6 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Pameran Echoes of Resistance di Galeri RWD, Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung. Sabtu 6 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Memori yang Abstrak, Simbol yang Liris

Di sudut lain ruang pamer, tiga karya instalasi membetot perhatian. Chandra Mirtamiharja memajang telur-telur dalam peti amunisi. Sebuah metafora tentang semesta yang dipaksa bertahan di bawah bayang-bayang kekerasan negara era 1995–1998. Di atas telur itu, foto-foto metaforis terpajang—genteng rumah, kabel listrik, fragmen keseharian yang menyimpan trauma.

Seniman Khoeruman Taos menghadirkan ingatan perlawanan melalui benda keseharian yang pada akhirnya menuntun kita kembali pulang. Ia menyajikan sepasang kaus kaki putih bertuliskan “Pak, jagain Ibu yaa”, serta puzzle hitam bertuliskan “Merawat ingatan dengan banyak cinta kasih. Semoga kita masih tahu apa itu bahagia.” Bagi Tos, benda-benda kecil pun bisa menjadi tempat memori dan perlawanan bernaung.

Sementara Livia Nathania Kurniawan, warga keturunan Tionghoa-Indonesia, menyuguhkan buku catatan kosong berjudul “Sejarah di Tubuh Kami”. Siapa pun boleh menuliskan sejarah pribadinya di dalam buku itu. Karya ini merefleksikan trauma 1998 yang masih membekas di tubuh dan suara komunitas Tionghoa.

“Aku merasa kalau oh ketakutan itu sebenarnya udah enggak perlu dirasakan lagi oleh teman-teman Tionghoa-Indonesia,” ujarnya.

Pameran Echoes of Resistance di Galeri RWD, Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung. Sabtu 6 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Pameran Echoes of Resistance di Galeri RWD, Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung. Sabtu 6 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Ruang Ingatan, Ruang Perlawanan

Pameran ini ditutup dengan sesi “artist talk” pada Sabtu, 13 September 2025. Di sana, para seniman berdiskusi tentang proses kreatif mereka dan pentingnya merawat ingatan. Chandra menegaskan bahwa kekerasan yang terjadi di masa lalu tak boleh dibiarkan berulang.

“Jangan pernah biarkan kondisi ini berlarut sampai 32 tahun lamanya,” katanya, merujuk pada kekuasaan Orde Baru.

Menurut Prawira, ingatan bisa tumbuh menjadi kekuatan kolektif jika dirawat bersama. Sebab, “sebuah foto bisa mengembalikan rasa kemarahan, sebuah tulisan bisa membuka luka kehilangan.”

Pesan itu diserap pula oleh para pengunjung. Muhammad Ibrahim menilai pameran ini membuka matanya terhadap sejarah yang sering terlupakan. Sementara Selsha merasa kagum dengan kedalaman tema dan kekuatan visual para seniman.

“Temanya menarik. Raws mengangkat tema yang sangat dibutuhkan, di mana banyak orang sering lupa dengan sejarahnya,” ungkapnya.

Melalui “Echoes of Resistance”, RAWS Syndicate menyulap ruang pamer menjadi ruang ingatan yang mempertemukan trauma, amarah, kehilangan, dan harapan. Menolak terulang kembali kekerasan di masa lalu.

***

*Reportase ini dikerjakan reporter BandungBergerak Yopi Muharam dan Rita Lestari. Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//