• Cerita
  • Ramadan di Tahun Pagebluk (1): Dari Terminal ke Terminal

Ramadan di Tahun Pagebluk (1): Dari Terminal ke Terminal

Cece Supriyadi (50) sudah tiga hari berbuka puasa di terminal-terminal, tidak bersama keluarga. Perjuangan hidupnya jauh lebih panjang dari itu.

Cece Supriyadi (50), seorang kernet bus jurusan Cirebon-Bandung, membagikan perjuangan hidupnya bertahan selama pandemi-Covid-19, di Terminal Cicaheum Bandung, Kamis (16/4/2021). (Foto: Virliya Putricantika)

Penulis Emi La Palau16 April 2021


BandungBergerak.idHujan mulai mengguyur kawasan Terminal Cicaheum, Bandung, Kamis (15/4/2021) siang itu. Puasa hari ketiga di tengah pagebluk sedikit berbeda. Cece Supriyadi (50) lagi-lagi harus makan sahur di terminal. Tanpa keluarga.

“Hari pertama puasa (makan sahur) di terminal. Di cirebon. Sampai hari ketiga masih di terminal. Belum bisa bertemu keluarga, sahurnya makan di warung,” ungkap Cece ketika berbincang dengan BandungBergerak.id.

Kulit wajah Cece mulai mengendor. Rambutnya berganti warna akibat uban yang semakin banyak jumlahnya. Sudah selama 37 tahun Cecce hidup dari terminal ke terminal, bekerja sebagai sopir bus atau kenek, berpindah dari perusahaan satu ke perusahaan lain. Asam garam hidup di terminal telah ia cecap.

Keluarga Cece di Wado, Sumedang, Jawa Barat hidup kurang berkecukupan secara ekonomi. Ia memutuskan untuk mencari uang tanpa harus menunggul lulus sekolah menengah pertama (SMP). Pekerjaan pertamanya: pembantu kernet

Sejak 1987, Cece bekerja sebagai kenek di Bus Kramat Djati yang beroperasi mengantar jemput para pekerja pabrik. Ia bertahan selama tujuh tahun di sana. Setelah itu, ia mulai bekerja sebagai sopir bus jurusan Kuningan-Pulogadung, juga selama tujuh tahun.

Cece akhirnya pindah bekerja di bus jurusan Cirebon-Bandung dan bertahan hingga saat ini. Artinya, sudah 23 tahun! Awalnya ia menjadi kernet di bus Sahabat. Sejak lima tahun lalu, ia pindah jadi sopir bus Bhineka dengan niat mencari penghasilan lebih.

“Karena keneknya tidak ada, jadi (sekarang) saya yang kenekin. Mobilnya dibawa (dikemudikan) sopir lain. Cari pengalaman tadinya, barangkali meningkat (penghasilan), eh tahunya begini,” katanya.

Terminal Cicaheum, Kota Bandung, Kamis (15/4/2021). Tiap lebaran, terminal ini melayani arus mudik yang menuju wilayah selatan dan timur Jawa Barat. (Foto: Virliya Putricantika)
Terminal Cicaheum, Kota Bandung, Kamis (15/4/2021). Tiap lebaran, terminal ini melayani arus mudik yang menuju wilayah selatan dan timur Jawa Barat. (Foto: Virliya Putricantika)

Bus Kosong

Hujan semakin deras mengguyur kawasan terminal. Penumpang belum juga tampak. Cece tiba di Cicaheum pukul sebelas siang. Busnya, yang mengangkut 15 penumpang, meluncur dari Cirebon pukul lima subuh. Ia cukup beruntung kali ini.

Bus yang kosong melompong ketika masuk atau keluar terminal sudah bukan pemandangan yang asing di Cicaheum. Nestapa ini mulai dirasakan para sopir bus angkutan antarkota dalam provinsi dan antarkota antarprovinsi sejak pandemi Covid-19 mulai menghantam pada Maret 2020 lalu.

Tidak jarang, akibat tiada penumpang di busnya, Cece harus bermalam di terminal. Jika hanya satu-dua calon penumpang, ia terpaksa menitipkan mereka ke angkutan lain.

“Sekarang kadang kalau (bus) sampai di Cileunyi gak ada orang, (saya) nginep. Kalau besoknya gak ada (penumpang) lagi, (saya) nginep lagi,” ungkap ayah dua anak ini.

Besaran bayaran yang diterima Cece sangat tergantung apakah bus beroperasi atau tidak. Sebelum pagebluk, ia bisa memperoleh uang Rp 200-300 ribu per hari. Sekarang jumlah yang sama baru bisa ia dapatkan setelah satu pekan. Cece dibuat kebingungan menyetor cicilan bank senilai Rp 1 juta per bulan.

Cece ketika itu memberanikan diri mengambil cicilan ke bank agar bisa membiayai kuliah anak pertama yang kini telah lulus dan bekerja sebagai guru honorer. Sisa uang pinjaman digunakan untuk membangun rumah di Sumedang. Di saat benar-benar kepepet, dipakailah jurus gali lubang tutup lubang. Uang untuk mencukupi cicilan diperoleh dengan meminjam ke saudara.

“(Hidup) Dibilang sulit, (tentu) sulit. Dibilang nggak ya kita harus syukuri,” kata Cece. “Ya harus bagaimana? Kita nyalahin orang, ga boleh. Apalagi sekarang puasa, kita harus bener-bener sabar.”

Pasrah

Sebagai kepala keluarga, Cece saat ini menjadi satu-satunya sumber pendapatan bagi keluarganya di Sumedang. Ada istri dan anak kedua yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Anak pertama yang jadi guru honorer itu telah membangun keluarganya sendiri.

Dulu istri Cece pernah bekerja sebagai penjual siomay. Namun hantaman krisis ekonomi pada 1998 membuatnyat tak sanggup lagi memutar modal yang begitu kecil. Pandemi Covid-19 saat ini mengingatkan Cece pada ingatan buruk itu.

Beberapa bulan terakhir, Cece semakin kesulitan mengirimkan sejumlah uang ke rumah. Belum lama ini ia nekat meminjam 20 kilogram beras ke adik tirinya agar bisa menyumbang perbaikan pembatas rumah yang ambruk. Jangankan menyisihkan pendapatan untuk dikirimkan ke Sumedang, mencukupi kebutuhan sehari-harinya di Bandung pun Cece kepayahan.

Mudik lebaran, yang pada tahun-tahun sebelumnya bisa dijadikan tumpuan memperoleh tambahan pendapatan, sepertinya tahun ini tidak bisa terlalu diandalkan. Pemerintah, demi mengurangi risiko penularan Covid-19, secara resmi telah menerbitkan larangan mudik. Cece, sama seperti ratusan atau bahkan ribuan orang lain yang menggantungkan hidup dari bisnis angkutan, hanya bisa pasrah.

Tidak ada pilihan bagi Cece untuk menghadapi berbagai kesulitan hidup ini selain terus bertahan. Sekuat tenaga. Ketika betul-betul sedang tidak mengantongi uang, ia akan berpuasa. Itulah caranya bertahan tanpa merugikan orang lain. Ia sudah sejak lama melakukannya. Jauh sebelum ramadan tahun ini tiba.

Cece memandangi ruang dalam busnya yang tiba-tiba jadi barang rapuh. Terlihat besar dan gagah dari luar, tapi tak memberikan manfaat apa-apa selama tidak ada penumpang di dalamnya.

“Kalau ditanya terus, ngga kuat untuk diceritain,” kata Cece sambil sesekali menyeka pelipis matanya yang basah. 

Hujan mulai mereda, tapi terminal masih saja sepi. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//