RESENSI BUKU: Kisah Pak Tuba, Tahanan Pulau Buru yang Terus Bernyanyi
Mendaki Bukit Usia bukan memoar tapol yang membuat kita menangis tersedu sedan atau merasa berat hati saat membacanya. Gairah hidup Pak Tuba tetap menyala-nyala.
Penulis Syarif Maulana8 Mei 2022
BandungBergerak.id - Berstatus sebagai tahanan bukanlah sesuatu yang asing dalam perjalanan hidup Tuba bin Abdurahim. Sejak muda, laki-laki kelahiran Brebes tahun 1944 itu sudah ditahan karena berprofesi sebagai tukang catut alias calo tiket bioskop. Divonis pengadilan 6 bulan 10 hari dengan tuduhan sebagai “pengacau ekonomi”, perjalanan dari penjara ke penjara yang dialami Tuba baru saja dimulai.
Sejak 16 November 1965, Pak Tuba ditangkap, disiksa, dan ditahan oleh aparat negara tanpa proses pengadilan, dengan tempat penahanan yang berpindah-pindah dari mulai Polres Brebes, Koramil Sawah Besar, Kodim Jakarta Utara, Penjara Salemba, Penjara Tangerang, Penjara Permisan, Penjara Limus Buntu, hingga ke Pulau Buru. Baru pada tahun 1979, Pak Tuba dibebaskan dengan kewajiban untuk melapor ke Kodim masing-masing untuk waktu yang tidak terbatas.
Pak Tuba sekarang berusia 78 tahun dan tinggal bersama keluarganya di Penjaringan, Jakarta Utara. Ingatannya tajam dan mampu bercerita panjang lebar. Melalui buku Mendaki Bukit Usia: Pemuda Rakyat dalam Tahanan Orde Baru yang diterbitkan oleh Ultimus, Pak Tuba menuliskan kisah hidupnya dengan lengkap, disertai bukti sejumlah dokumen dan foto-foto yang masih sangat jelas.
Di awal buku tersebut dijelaskan dengan sejelas-jelasnya oleh editor: buku ini adalah tulisan Pak Tuba sendiri, yang mendapat suntingan hanya pada hal-hal teknis. Di bagian lampiran bahkan dimuat teks-teks asli yang ditulis oleh Pak Tuba, demikian meyakinkan pembaca akan derajat otentisitasnya.
Jadi, siapa Pak Tuba? Mengapa ia harus menjalani penahanan hingga 14 tahun?
Karena “Bukan Siapa-siapa”
Tuba masuk organisasi Pemuda Rakyat – sayap pemuda dari Partai Komunis Indonesia – dan aktif sebagai anggota Drumband Dewan Nasional Pemuda Rakyat dalam berbagai perayaan tingkat nasional. Keterlibatannya dengan hal-hal yang dituduhkan sebagai “bahaya laten” versi Orde Baru tersebut yang membuatnya mesti berstatus sebagai tahanan politik (tapol). Jika menakar tingkat keterlibatan dalam pergolakan 1965 berdasarkan jabatan atau posisi penting dalam partai, Pak Tuba sebenarnya dapat dikatakan “bukan siapa-siapa”.
Namun di situlah sisi menarik buku ini: ke-bukan-siapa-siapa-an Pak Tuba membuat buku ini justru, dengan cara yang “jenaka”, mampu menguak berbagai fakta yang tersembunyi (atau disembunyikan) pada periode 1965 dan pasca 1965. Mendaki Bukit Usia adalah memoar, tapi bukan memoar yang membuat kita akan menangis tersedu sedan atau merasa berat hati saat membacanya. Entah kenapa, Pak Tuba bisa menceritakannya secara ringan, seperti misalnya dalam bagian berikut ini:
“Pada waktu saya dan Ali bersiap-siap untuk pulang, Jasi memberikan oleh-oleh 10 butir telur ayam yang dibagi rata kepada kami berdua. Dalam hati saya tertawa karena cara membaginya seperti anak kecil. Dia menyerahkan telur satu per satu berurutan selang-seling antara saya dengan Ali, sambil menimbang-nimbang supaya kami berdua mendapat berat dan bentuk telur yang sama.” (hlm. 189)
Tidak seperti kebanyakan kisah yang ditulis tapol lainnya tentang Pulau Buru, yang lebih menitikberatkan pada suasana yang mencekam, Pak Tuba memilih untuk memandangnya secara lebih santai. Bukan artinya ia benar-benar santai, tapi berkali-kali Pak Tuba menekankan, bahwa nasib semacam ini, pasti akan diterimanya, cepat atau lambat. Jadi, baginya, segala penderitaan sebagai tahanan sudah terlalu biasa ia terima. Tidak perlu lagi dibuat sedih apalagi menderita.
Ditambah lagi, dalam Mendaki Bukit Usia, disisipkan sejumlah lirik lagu, kadang beserta not angka-nya, untuk memperlihatkan lagu-lagu yang mengiringi dan dinyanyikan Pak Tuba dari penjara ke penjara. Menunjukkan bahwa dalam kegetirannya, ia tidak mematikan hidupnya. Gairahnya tetap menyala-nyala lewat, salah satunya, bernyanyi.
Buku Pak Tuba bin Abdurahim ini adalah usaha yang besar dari Ultimus untuk menyajikan “sejarah dari bawah” (history from below) dalam rangka mengimbangi sejarah “versi pemenang” yang belum juga berpihak pada korban tragedi 1965. Kesaksian Pak Tuba tentang pembunuhan para Jenderal di Lubang Buaya, pendapatnya tentang siapa yang sebenarnya mendalangi G 30 S (salah satunya melalui kalimat: “Manusia-manusia yang dipersatukan oleh uang dan kekuasaan, pada waktu itu memakai komunisme sebagai musuh bersama yang layak dikejar dan boleh dibunuh seperti binatang buruan.”), semuanya tidak disampaikan dengan bahasa sok ilmiah, sok melalui verifikasi dan bukti-bukti, tapi melalui pernyataan sederhana dari orang yang mengalami langsung, yang pada masa itu mungkin tidak pernah didengar sama sekali, tapi kian kemari, makin penting untuk disimak, terutama bagi generasi-generasi yang kian asing dengan propaganda Orde Baru. Harapannya, sejarah menampakkan keadilannya, pada kehidupan Pak Tuba dan sekian banyak eks tapol lainnya, yang hingga hari ini masih menantikan setitik permintaan maaf dari negara.
Informasi Buku
Judul: Mendaki Bukit Usia: Pemuda Rakyat dalam Tahanan Orde Baru
Penulis: Tuba bin Abdurahim
Penerbit: Ultimus, Bandung
Cetakan: Pertama, April 2022
Tebal: Xvi, 416 halaman
ISBN: 978-623-97148-5-7