Hari Bumi di Bandung Diperingati Walhi Jabar, Pemudi, dan Tarian

Komunitas Bongkeng Arts Space Bandung menyuarakan krisis iklim lewat tarian. Dengan konsep tarian selama 7 jam tanpa henti yang dilakukan 7 orang penari.

Peringati Hari Bumi 2021 di persimpangan Dago-Cikapayang, Bandung, Kamis (22/4/2021). Walhi Jabar mengecam hilangnya batubara sebagai limbah golongan B3 (Bahan Beracun Berbahaya) dalam PP Nomor 22 Tahun 2021. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Emi La Palau22 April 2021


BandungBergerak.id - Peringatan Hari Bumi yang jatuh Kamis (22/4/2021) di Bandung diwarnai sejumlah aksi yang dilakukan masyarakat, organisasi lingkungan, dan seniman. Mereka menggelar unjuk rasa damai sampai tarian tentang iklim yang rusak. Pesan yang mereka suarakan sama: selamatkan bumi dari krisis.

Salah satu titik aksi terjadi di simpang Dago-Cikapayang kolong Jalan Layang Pasupati mulai jam 10.25 WIB. Di sini, masyarakat dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menyuarakan pesan melalui beragam poster dan spanduk: ‘PLTU Batu Bara Mematikan’, ‘Energi Bersih Berkeadilan’, dan penolakan Omnibus Law.

Haerudin Inas, selaku Manajer Pendidikan dan Kaderidasi Walhi Jabar, mengatakan Omnibus Law akan menambah rentanan pengrusakan lingkungan di Tanah Air. Ombibus Law mengatur perizinan yang terpusat di pemerintah pusat, dan memangkas kewenangan daerah terkait perbaikan lingkungan.

“Misalnya izin soal pengusahaan air. Semuanya dikendalikan di pusat,” ungkap Haerudin Inas, saat ditemui Bandungbergerak.id.

Menurut Haerudin, sentralisasi izin lingkungan oleh pemerintah pusat akan membuat ruang gerak pemerintah daerah menjadi terbatas. Padahal sebelum Omnibus Law, daerah bisa menentukan indeks kualitas lingkungan sendiri. Selain itu, Omnibus Law juga menghilangkan syarat dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).

Isu lain yang disoroti Walhi Jabar adalah, alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara. Tercatat ada 1.000 lebih kasus pelanggaran perizinan yang seharusnya dimoratorium oleh pemerintah. Namun hingga kini di kawasan konservasi air tersebut masih ada pembangunan baru. “Kembalikan fungsi hidrologis di Kawasan Bandung Utara,” ungkapnya.

Walhi Jabar kemudian mengkritisi pembakaran sampah dengan mesin pembakar sampah insenerator dalam proyek Citarum Harum di Bandung Selatan. Padahal membakar sampah plastik dengan insenerator akan menghasilkan polusi udara yang berbahaya bagi kesehatan.

Walhi Jabar juga mencatat kerusakan lingkungan akibat pembangunan Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) di Kabupaten Bandung. Proyek nasional ini tidak memperhatikan Amdal dan mendatangkan keruskan lingkungan seperti banjir. “KCIC proyek yang dipaksa-paksa untuk ada, mengabaikan fungsi lingkungan dan HAM, yang dibuktikan beberapa kejadian,” ungkapnya.

Walhi Jabar bersama masyarakat akan terus menuntut pemerintah agar memperhatikan kelestarian ekologis dalam menjalankan pembangunan. “Bahwa kebijakan pemerintah harus adil. Baik keadilan ekologis atau hak asasi manusia yang ada di wilayah pembangunan.”

Terakhir, Walhi Jabar menyoroti pemusnahan limbah medis dengan insenerator. Menurtnya, insenerator bukan solusi mengatasi sampah. Insenerator sama bahayanya dengan PLTU. Ia pun menyinggung proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang merusak lingkungan di Indaramayu dan Cirebon.

PLTU memakai batubara sebagai bahan bakarnya. Batubara menghasilkan limbah batu bara padat berupa FABA (fly ash bottom ash). Melalui PP Nomor 22 Tahun 2021, Presiden Joko Widodo menghapus limbah batubara dari daftar limbah B3 atau bahan beracun dan berbahaya. Walhi mengecam penghapusan limbah batubara dari daftar limbah B3 tersebut. 

Aktor pantomim Wanggi Hoed melakukan gerakan tanpa suara di persimpangan padat Dago Cikapayang, Bandung. Aksi ini sebagai peringatan Hari Bumi 2021, Kamis (22/4/2021). (Foto: Prima Mulia)
Aktor pantomim Wanggi Hoed melakukan gerakan tanpa suara di persimpangan padat Dago Cikapayang, Bandung. Aksi ini sebagai peringatan Hari Bumi 2021, Kamis (22/4/2021). (Foto: Prima Mulia)

Pemudi Peduli Lingkungan

Aksi Hari Bumi itu diikuti Klistjart Tharissa (23), mahasiswi Universitas Wanita Internasional, Bandung. Klistjart prihatin dengan perubahan iklim akhir-akhir ini. Ia bilang, kondisi lingkungan hari ini semakin tidak baik.

“Mengapa mau ikut, saya rasakan cuaca kadang panas, lihat berita juga banyak bencana ekologi. Sebagai anak muda, saya berpikir apa yang bisa dilakukan salah satunya dengan isu-isu yang berhubungan dengan alam. Isu perubahan iklim ini lagi naik, kebijakan pemerintah belum berpihak pada lingkungan,” ungkap Klistjart.

Ia tergerak menggaungkan dan menyuarakan pentingnya isu lingkungan. Sebagai warga Kota Bandung, ia merasakan betul bencana ekologi seperti banjir. Ia tinggal di kawasan Bandung tengah yang jika hujan besar melanda, rumahnya turut dilewati banjir. Padahal sebelumnya di daerahnya jarang banjir. “Saya sadar ternyata dampak lingkungan itu terasa sangat dekat.”

Krisis Iklim dalam Tarian

Aksi memperingati Hari Bumi juga turut diperingati komunitas Bongkeng Arts Space Bandung. Mereka menyuarakan krisis iklim lewat tarian. Dengan konsep tarian selama 7 jam tanpa henti yang dilakukan di beberapa lokasi di Bandung. Salah satunya di Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda, Bandung; Curug Batu Templek, dan Bongkeng Arts.

Komunitas seni ini menilai kondisi lingkuangan saat ini sangat mengkhawatirkan. Banyak sekali eksploitasi alam yang dilakukan oleh manusia. “Kita diberi semua dari lingkungan, lantas kita harusnya berpikir sudah memberi apa terhadap bumi ini,” ujar Deden Tresnawan, Direktur Bongkeng Arts Space, ditemui di Tahura Djuanda.

Konsep tarian yang penari Bongkeng Arts Space mengibaratkan geliat tubuh yang sebenarnya tak bisa terpisahkan dengan bumi. Tarian dibawakan 7 penari berpakaian putih-putih dan bercorak batik. Warna tersebut melambangkan kesucian. Mereka menari selama 7 jam untuk menyatu dengan alam.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//