Comedy for Diversity: Menyuarakan Toleransi dan Kesetaraan dalam Canda
Lewat komedi, dalam penampilan yang santai, sepuluh orang siswa, guru, dan orangtua menyuarakan toleransi, keberagaman, perdamaian, dan kesetaraan gender.
Penulis Virliya Putricantika18 Juli 2022
BandungBergerak.id - Tepukan meriah penonton berulang kali memenuhi ruangan seni pertunjukan Comedy for Diversity yang digelar oleh Creative Youth for Tolerance (CREATE) di Tebu Hotel, Kota Bandung, Sabtu (16/7/2022) siang. Lewat penampilan ringan ala stand up comedy, para siswa, guru, dan bahkan orangtua bersuara mengampanyekan isu toleransi, keberagaman, perdamaian, serta kesetaraan gender.
Dwi Noto Aji Bayu Setyo (17), siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Terpadu Kota Bekasi, menyuarakan toleransi dan perdamaian. Dia membagikan kisah pribadinya lahir dan tumbuh di tengah keluarga militer, tapi tidak bisa melanjutkan karier di bidang itu karena dia penyandang tunanetra.
Dalam penampilannya, Noto melontarkan keyakinannya bahwa seorang difabel tidak perlu dikasihani. Ada sekian banyak kesempatan yang dapat diambil oleh penyandang disabilitas.
“Jadi tunanetra ada enak dan gak enaknya juga. Enaknya kalau jalan ke mana-mana pasti dituntun, gak enaknya mau jadi apa-apa susah. Jadi tentara gak bisa, jadi pilot gak bisa, ya bisanya jadi pengusaha sukses,” canda Noto, membuat seisi ruangan bertepuk tangan sekaligus mengamini ucapannya itu.
Selain menceritakan kisah hidupnya, Noto juga melemparkan kritik terhadap kebiasaan anak-anak zaman sekarang yang rela menghabiskan dana yang besar untuk sebuah permainan daring (online). Dengan mudah mereka memintanya dari orangtua yang telah bekerja keras untuk memenuhi dan menghidupi keluarga.
Jumlah penyandang tunanetra di Jawa Barat, merujuk Open Data Jabar, tercatat sejumlah 3.649 jiwa. Dari jumlah tersebut 420 orang di antaranya tinggal di kawasan Bandung Raya.
Lain Noto, lain Tina Nuraziza (33). Dia tampil imut dengan potongan rambut yang identik yang dilengkapi dengan poni. Tina adalah salah satu orangtua murid yang juga menjadi peserta Comedy for Diversity kali ini. Dalam penampilannya, dia mengkritik pemberian stigma oleh masyarakat terhadap perempuan. Mulai dari pekerjaan dan hal-hal yang semestinya dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh perempuan.
“Saya sama suami dua-duanya bekerja. Kita sama-sama menggeluti karya tiga dimensi. Kayak bikin sculpture atau statue, patung. Jadi suami saya kerjaannya bikin berhala, kalau saya bikin patung. Kan perempuan, boneka voodoo,” ucap Tina, disambut tawa semua penonton yang hadir.
Canda sebagai Aspirasi
CREATE merupakan salah satu program Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos) yang berfokus pada peningkatan toleransi dan pluralisme di lingkungan sekolah menengah. Salah satunya lewat pertunjukan seni Comedy for Diversity. Melalui kesenian komedi, ada potensi partisipasi peserta untuk ambil bagian dalam mengkampanyekan isu toleransi, keberagaman, perdamaian, dan kesetaraan gender.
Dalam prosesnya, CREATE Jawa Barat membuka pendaftaran peserta dalam tiga kategori, yaitu siswa, guru, dan orangtua atau wali murid hingga akhirnya terpilih 10 peserta untuk mengikuti pelatihan pentas Comedy for Diversity. Pelatihan dilaksanakan secara daring (dalam jaringan) selama dua hari dan secara luring (luar ruangan) selama tiga hari ini.
“Komedi bisa menjadi alternatif untuk dunia pendidikan karena dirasa komedi-komedi saat ini belum mengangkat isu-isu sensitif. Harapannya, setelah kegiatan ini peserta bisa terus menyuarakan keberagaman, toleransi, dan pluralisme dengan menggunakan pendekatan komedi,” ungkap Andra Ferdinan selaku Project Officer CREATE Jawa Barat, Sabtu (16/07/2022).
Sakdiÿah Ma’ruf (40), yang dikenal sebagai komika muslim berhijab pertama di Indonesia, menjadi pelatih yang mendampingi proses kesepuluh peserta Comedy for Diversity. Dia meyakini, komedi dapat dijadikan harapan untuk menyuarakan suara orang-orang yang terpinggirkan.
“Ketika kita tidak punya kuasa, bukan orang yang privilese, bukan orang yang punya jabatan, bukan orang yang punya kekuasaan. Ketika kita tidak punya kuasa, seringkali yang kita miliki cuma canda. Canda yang bukan hanya canda. Canda yang bukan hanya ekspresi, tapi juga aspirasi,” tutur Sakdiyah.