Badminton Tak Lagi di Mana-mana: Sebuah Ingatan tentang GOR Soekarno Hatta
Masa jaya GOR Soekarno Hatta Bandung, yang kini rata dengan tanah, menggoreskan banyak kenangan. Teriakan para pemain badminton terdengar gemanya hingga ke gang.
Edi Sutardi
Tinggal di Bandung, menulis di beberapa media, bisa dihubungi via email [email protected]
25 Juli 2022
BandungBergerak.id - Pada dekade 1990-an hingga 2000-an, anak-anak Babakan Ciparay, Caringin, Kopo, Terusan Cibaduyut, dan sekitarnya memiliki tempat berolah raga dan bermain bersama: Gelanggang Olahraga (GOR) Soekarno Hatta Bandung. Tempatnya berada sekitar 30 meter dari jalan utama Soekarno Hatta yang dalam waktu dekat ini akan menjadi perlintasan jalan layang Kopo.
Yang paling banyak diperebutkan oleh anak-anak tongkrongan daerah adalah lapangan basket luar ruangan yang berada di depan turunan tangga masuk ke dalam arena GOR Soekarno Hatta. Lapangan basket itu menjadi tempat mula belajar dan arena unjuk gigi antaranak-anak tongkrongan daerah yang ingin mempertontonkan kecakapan bermain basket. Bermain di luar lapangan GOR tidak dipungut biaya sewa lapangan alias cuma-cuma.
Masuk 10 meter dari lapangan basket, terdapat sebuah kolam renang yang berada di sisi sebelah timur GOR yang sering dijadikan tempat baptis. Bersebelahan dengan kolam renang itulah lapangan badminton berada, dibatasi oleh tembok tinggi berlabur cat putih dengan atap seng yang dindingnya dihiasi foto dan kliping koran berpigura para pemain badminton Indonesia. Apabila kita berteriak, suara kita akan bergema di dalam lapangan badminton. Terdapat empat lapangan badminton di area dalam ruangan dengan alas keramik berpola totol-totol yang dicat warna hijau dan batas lapangan berstrip putih.
Anak-anak kampung yang kebanyakan berasal dari gang biasanya hanya mampu menonton para calon atlet badminton berlatih dari pinggir lapangan. Jika pulang sekolah siang hari, kami mengikuti Ma Ade, penyedia makanan bagi atlet Sangkuriang Graha Sarana (SGS) yang menunya mudah ditemui pada hidangan rumahan atau warteg. Menu yang disajikan dalam rantang alumunium itu di antaranya semur telur, ayam goreng, bihun, tahu, tempe, dan berbagai penganan lainnya yang menunya berubah-ubah setiap harinya sesuai pesanan para calon atlet.
Sebelum sparing, para pemain badminton ini diasah untuk memukul bola depan, net, smes, lob, dan teknik pukulan tipuan. Seorang pelatih pria bertato motif batik di betis kanannya dan berambut pirang dengan raket tenisnya akan memberikan umpan-umpan agar kok disambar oleh para pemain. Kok itu mulanya datang pelan lalu secara bertahap akan diumpan semakin cepat.
Saat sparing, para calon atlet ini sering berteriak sekencang mungkin saat memukul kok hingga suaranya terdengar ke arah gang. Gang yang saya maksud adalah jalan sempit yang berada di sisi barat GOR Soekarno Hatta yang bersebelahan dengan saluran pembuangan air yang berbau busuk. Melalui gang itulah kami bisa sampai ke tempat bermain lain yang berada di belakang kompleks GOR: lapangan bola dengan plester semen yang pada banyak bagiannya telah terkelupas dan lingkar luar lapangannya telah ditumbuhi rumput-rumput liar tinggi.
Sudah jadi nasib kami sebagai penonton dari pinggiran hanya bisa berharap agar diperbolehkan memunguti kok bekas yang baru dipakai beberapa pukulan saja oleh para pemain. Artinya, kondisinya masih bagus. Kok-kok bekas itu biasanya kami pakai untuk bermain badminton di dalam gang pada waktu senggang menggunakan raket tripleks gagang kayu atau raket betulan yang dipakai bergantian dengan aturan main: setiap pemain yang anggota bagian tubuhnya terkena kok, maka secara bergiliran akan diganti. Kami biasa bermain di sebuah petak lapangan di tengah pemukiman padat yang garis-garis batas lapangan badmintonnya sering ditandai oleh guratan pecahan genting pada tanah atau sekadar menggunakan garis tengah pengganti net berupa beberapa pasang sandal.
Namun, sebagai akamsi (anak kampung sini), kami pun tak luput untuk merasakan smes atau lob-lob kok sesuka hati jika hari Minggu tiba. Itulah hari di mana kami sepuasnya bisa bermain badminton karena para atlet SGS libur pada hari Minggu dan pengelola GOR memberikan jatah bagi akamsi untuk bermain. Biasanya kami bermain pada malam hari setelah Isya. Di luar jadwal itu, kami sering bermain di Sumbersari atau Tegalega Bandung pada Minggu pagi dengan menyewa raket dan kok dengan durasi bermain 15 menit sekali sewa.
Dari tongkrongan di GOR Soekarno Hatta itulah, saya pertama kali melihat Flandy Limpele, pemain kidal ganda Indonesia yang sempat berduet dengan Eng Hian, pasangan peraih medali perunggu pada gelaran Olimpiade Athena 2004 di mana Taufik Hidayat meraih medali emas tunggal putra. Saat Flandy mengunjungi GOR, ia baru saja pensiun dari badminton dan kariernya sebagai pelatih belum juga dimulai.
Pembinaan badminton di GOR Soekarno Hatta tidak bisa dilepaskan dari jasa Iie Sumirat, tunggal putra Indonesia yang dijuluki sebagai “Meteor dari Bandung Selatan”. Menurut catatan Arief Tirtana dalam artikel “Iie Sumirat, Meteor Bandung dari Selatan Penemu Taufik Hidayat”, Iie Sumirat-lah yang membentuk klub badminton Sangkuriang Graha Sarana (SGS) yang sebelumnya bernama PB Sarana Muda. Pada era SGS, pada pertengahan 1990-an, Iie Sumirat menemukan seorang Taufik Hidayat, penggebuk kok asal Pangalengan. Hingga kini SGS terus berkembang menjadi salah satu klub badminton yang menyumbangkan banyak pemain kelas dunia seperti Anthony Sinisuka Ginting, Fajar Alfian, Muhammad Shohibul Fikri, dan Richi Puspita Dili.
Klub badminton SGS Soekarno Hatta pada masanya cukup menjadi magnet bagi para calon atlet badminton di Kota Bandung dan wilayah di sekitarnya. Saya mengingat, ketika anggota klub SGS semakin banyak—sekitar awal tahun 2000-an—kompleks GOR mengalami perubahan drastis. Area di seberang lapangan basket luar lapangan yang mulanya merupakan kandang monyet dan akuarium ikan arwana, dirombak total menjadi kamar bagi para pemain SGS.
Pamor Meredup
Badminton pada era 1990-an hingga awal 2000-an sama populernya dengan sepak bola dan pingpong di kampung kami, Babakan Ciparay, Bandung. Hampir setiap anak dan orang dewasa di kampung kami setidaknya menguasai dua atau lebih cabor (cabang olahraga) karena saat itu hampir semua olahraga populer dimainkan oleh orang-orang kampung kami. Pingpong dan sepak bola memiliki kompetisinya masing-masing terutama menjelang Agustusan, beda hal dengan badminton yang hanya dimainkan sebagai klangenan saja.
Namun seiring perkembangan waktu, pamor GOR Soekarno Hatta mulai meredup. Lapangan badminton menjadi lebih sering kosong dan lapangan yang paling sering digunakan adalah area basket dalam ruangan yang dijadikan tempat futsal. Permasalahan utama dari terbengkalainya pengelolaan GOR adalah soal sewa lahan karena area GOR menempati kompleks tanah milik orang lain sampai akhirnya satu persatu fasilitas olahraga di GOR itu mulai ditinggalkan. Ada masanya kolam renang digunakan menjadi tempat pemancingan, lapang badminton kehilangan pemainnya, dan tak ada lagi anak-anak tongkrongan gang yang bermain basket.
Kini, GOR Soekarno Hatta hanya menyisakan benteng pembatas luar yang ditumbuhi tanaman menjalar, sementara sisi selatan kompleks ini mulai diratakan untuk pembangunan hunian. Patung kok sebagai tanda masuk ke dalam gang menuju GOR Soekarno Hatta sudah lama telah tiada. Jalanan menjadi semakin sibuk oleh bus-bus antarprovinsi tujuan Pulau Sumatra yang parkir di depan gang masuk eks GOR Soekarno Hatta.
Sekarang, tak ada lagi gema teriakan pemain dari dalam GOR Soekarno Hatta yang terdengar ke arah gang. Tak ada lagi kesempatan bagi generasi di bawah saya untuk menghentakkan kaki, berloncatan girang melakukan smes, berlarian terengah-engah menyisir lapangan, dan memungut kok sisa latihan calon atlet yang masih bagus. Tak ada lagi permainan badminton di dalam gang. Badminton tak lagi di mana-mana.