Hikayat Bungker di Kampung Stasiun Barat Bandung
Penggusuran permukiman padat di Stasiun Barat Bandung pada 26 Juli 2016 lalu menguak keberadaan bungker. Ia bisa jadi pintu masuk menelisik sejarah kawasan tersebut.
Frans Ari Prasetyo
Peneliti independen, pemerhati tata kota
4 Mei 2021
BandungBergerak.id - Stasiun Barat merupakan kawasan transit di bagian selatan stasiun kereta api Kota Bandung yang identik dengan monumen lokomotif tuanya. Sebuah permukiman warga, yang dinamai Kebon Jeruk, muncul sejak era kolonial. Ketika trayek kereta api kelas ekonomi belum dipindahkan ke Stasiun Kiaracondong pada awal 2000-an, kawasan Stasiun Barat ini menjadi pusat aktivitas para penumpang kereta.
Sebelum hari keberangkatan, para calon penumpang membeli dan mengantre tiket di Stasiun Barat. Di sana mereka juga menunggu datangnya kereta. Pada hari kedatangan, para penumpang mencari moda transportasi dalam kota di kawasan yang sama. Ada angkot berbagai trayek di Terminal Stasiun Bandung, andong, becak, mobil rental, taksi resmi, dan taksi gelap.
Begitulah Stasiun Barat dengan Kampung Jeruk-nya lahir dan tumbuh. Bermunculan di sana warung makan, toilet umum, serta penginapan murah. Semua ada sampai penggusuran yang diprakarsai oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan juga dilegitimasi oleh Pemeritah Kota Bandung di bawah wali kota Ridwan Kamil, terjadi pada 26 Juli 2016 lalu. Yang tersisa, gudang-gudang bisnis kargo dan truk pengangkutnya.
Ada cerita lain dalam penggusuran yang mencerabut ruang hidup warga dan yang masuk ranah sengketa hukum itu. Warga menyebut keberadaan bungker, atau goa dalam istilah mereka, yang selama ini tersembunyi di balik permukiman padat mereka.
Tiga Asumsi
Warga meninggali lahan di Jalan Stasiun Barat sejak tahun 1960-an dan tercatat. Mereka memiliki KTP sebagai bagian dari Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Kota Bandung. Umur bungker lebih tua dari permukiman itu. Diyakini lubang besar di dalam tanah itu dibangun di zaman pemerintahan Belanda.
Karena bungker dianggap berbahaya, pintu masuknya ditutup oleh warga. Penggusuran yang membuat rumah dan bangunan lain rata dengan tanah membuat bungker itu seolah muncul kembali, menyembul dari dalam tanah.
Bungker tersebut memiliki tiga pintu masuk, tetapi hanya ada dua di antaranya yang terlihat memiliki hubungan satu dengan lainnya. Ada satu hamparan bangunan beton 4x30 meter yang menghubungkan keduanya. Saat ini hamparan beton tersebut menjadi arena bermain sepak anak-anak yang orang tuanya kehilangan rumah.
Keberadaan bungker di antara rumah dan warung warga di Stasiun Barat tidak diketahui oleh PT KAI hingga alat berat menyentuh sesuatu yang sangat keras di lantai.
Menurut kesaksian Toto (80 tahun, nama samaran), salah satu penduduk Stasiun Barat yang rumahnya terkena penggusuran, di rumahnya ada pintu masuk ke bungker-bungker tersebut. Kedalaman bungker antara 2,5-4 meter yang terisi air dan tidak tahu mengarah ke mana.
Kakek dan orang tuaToto dulu pernah masuk ke dalam bungker dan mendapati suasana gelap sekali. Takut, mereka mengurungkan niat masuk lebih dalam. Toto kecil juga sempat melihat pintu masuk bungker sebelum ditutup dengan tembok oleh orang tuanya. Toto, dengan empat anaknya, mewarisi rumah orangtuanya di Stasiun Barat itu sampai hari penggusuran tiba.
Hingga saat ini penulis tidak dapat menelusuri dan menemukan asal usul bunker tersebut dalam catatan historis dan site plan tata ruang. Namun berdasarkan posisi geografis dan historis kawasan itu, penulis memberanikan diri menyodorkan tiga asumsi.
Asumsi pertama, bunker tersebut merupakan tempat pertahanan dan lokasi bersembunyi dari serangan musuh yang pernah digunakan baik oleh tentara kolonial maupun pejuang kemerdekaan Indonesia. Yang pasti, bungker dibangun di masa kolonial mengingat konstruksi, teknik desain, dan materialnya.
Asumsi kedua, bungker ini merupakan gudang logistik pangan atau gudang senjata bagi kolonial atau pun bagi pejuang kemerdekaan karena letaknya di dekat stasiun sehingga memudahkan distribusi.
Asumsi ketiga, merujuk pada cerita tentang Kota Bandung yang memiliki jalur atau lorong-lorong bawah tanah yang menghubungkan antara Gedung Sate (pusat pemerintahan kolonial, sekarang kantor dinas Gubernur Jabar), Gedung Pakuan (kediaman residen Priangan, sekarang rumah dinas Gubenur Jabar), Balai Kota (Gudang kopi dan logistik, sekarang kantor dinas Wali Kota Bandung), dan stasiun kereta api, bungker dibuat untuk memudahkan mobilitas logistik dan senjata. Bungker juga menjadi jalur pengamanan bagi pejabat kolonial yang tinggal atau bekerja di tiga gedung tersebut agar bisa dengan cepat mengakses kereta api.
Cerita Mistis
Hikayat bungker di Stasiun Barat juga dilingkupi cerita-cerita mistis. Maman (65 tahun), atau yang biasa disebut Maman Hideung, menuturkan di pintu masuk bungker bagian kanan yang dekat dengan pintu masuk tasiun sering terlihat sosok perempuan Belanda atau noni setiap malam Selasa (Senin malam) dan malam Jumat (Kamis malam). Sosok yang menggunakan baju pengantin berwarna merah dan topi lebar juga berwarna merah itu berjalan mengitari bungker bagian belakang untuk kemudian berhenti di pintu masuk bungker bagian kanan.
Di pintu masuk lain di bagian kiri bungker, masih menurut penuturan Maman Hideung, sering terlihat kepada Domba yang berputar-putar. Mengaku melihat kejadian-kejadian itu sejak kecil, dia sampai saat ini tidak tahu apa artinya. Apakah tempat ini pernah menjadi arena adu domba, seperti yang ada di hutan kota Babakan Siliwangi? Tidak ada yang tahu.
Ada juga cerita tentang pasangan dengan berpenampilan seperti noni dan tuan di era colonial yang berdiri di sebrang Jalan Stasiun Barat menghadap ke arah rumah dan warung warga pada malam-malam tertentu sebelum menghilang begitu saja.
Di luar kisah-kisah mistis itu, ada narasi sejarah di Stasiun Barat yang menarik untuk terus digali. Tanpa kehilangan empati terhadap warga korban penggusuran, kita bisa menjadikan temuan bungker ini sebagai pintu masuk menelusuri sejarah kawasan tersebut, lengkap dengan pertumbuhan kampungnya yang khas.