Ombudsman Jawa Barat Temukan 124 Kasus Pelayanan Publik di Sepanjang 2020
Pelayananan publik di Jawa Barat bermasalah. Ombudsman Jawa Barat masih menemukan praktek penyimpangan prosedur sampai pungli.
Penulis Emi La Palau19 Maret 2021
BandungBergerak - Pelayananan publik di Jawa Barat bermasalah. Ombudsman Jawa Barat masih menemukan praktek penyimpangan prosedur sampai pungli.
Tahun 2020, Ombudsman Jawa Barat menemukan 124 kasus pelanan publik. Mulai dari tidak memberikan pelayanan sebanyak 47 kasus, penundaan berlarut sebanyak 39 kasus, penyimpangan prosedur sebanyak 32 kasus, perbuatan tidak patut sebanyak 6 kasus, penyalahgunaan wewenang sebanyak 5 kasus dan pemintaan imbalan alias pungli 1 kasus.
Dari jumlah itu, pelayanan publik yang paling banyak dikeluhkan masyarakat ialah masalah agraria atau pertanian sebanyak 29 lapaporan, kemudian pada pelayanan kepegawaian sebanyak 15 laporan dan ketenagakerjaan sebanyak 13 laporan.
Kondisi tersebut menunjukkan implementasi amanat UU Pelayanan masih jauh dari ideal. Selain itu, istilah pelayanan publik sendiri masih dianggap baru di Indonesia. Sehingga tugas dan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik masih sering disalahgunakan.
Bahkan di lapangan, petugas yang mengurusi urusan publik masih belum paham tugasnya sebagai pelayan publik. “Memang begitu kultur kita, banyak teori mengenai pelayanan publik yang muncul dari luar karena pelayanan publik menjadi hal yang baru di dalam kultur kita,”ungkap Kepala Perwakilan Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat, Dan Satriana, dalam diskusi virtual mengenai ‘Kepemimpinan dan Revolusi Sistem Pelayanan Publik yang Universal, Adil dan Merata’, Rabu (17/3/2021).
Ia mencontohkan, ada seorang pejabat yang masih mengelak saat dimintai pertanggungjawaban soal perbaikan ruang-ruang publik. Hal ini menimbulkan jarak antara masyarakat dan pemerintah.
Di sisi lain, minimnya implementasi yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pelayan publik juga terkait dengan masih kurangnya pengetahuan masyarakat akan hak-haknya sebagai warga negara.
Menurut Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 1 berbunyi pelayanan publik adalah kegiatan atau rangakaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Pelayanan publik mencakup berbagai aspek sumber daya, meliputi barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam perundang-undangan. Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
Konsep pelayanan publik harus dipahami oleh petugas pelayanan publik. Mereka harus mampu menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat untuk memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan masyarakat.
Pelayanan Publik Belum Masuk Sistem
Konsep pelayanan publik yang masih disalahartikan menambah peliknya persoalan dan implementasi di lapangan. Diperlukan peran masyarakat yang kritis menuntut hak-haknya kepada petugas pelayan publik, sehingga peraturan yang ada saat ini bisa berjalanan.
Persoalan lain, pelayanan publik ini masih menjadi agenda periodik dari pemerintah daerah. Seharusnya pemerintah perlu memahi konsep pelayanan publik dalam lingkup lebih luas. Yakni mampu mengelola sumber daya dan kewenangan untuk mencapai kepentingan publik. Seperti perngambilan keputusan, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pelayanan publik.
“Contoh-contoh pilot projek dari beberapa kabupaten/kota, tapi kesinambunagan ini sebagai sebuah sistem saya belum melihatnya seacara masif, lebih kepada pencapaian si A sebagai Gubernur periode sekian, si B sebagai Wali Kota periode sekian, tapi belum dijadikan itu sebagai pengutan sistem,” ungkapnya.
Pada implementasinya di lapangan, akses pelayanan publik belum merata antara kota dan desa. Misalnya, masih anak-anak para petani di pedesaan yang tidak mendapatkan akses pendidikan dengan baik.
“Susah sekali, untuk menagih pemerintah melaksanakan pemerataan dan layanan pendidikan. Fakta juga jumlah pegawai negeri, jumlah rumah sakit negeri, sekolah negeri lebih sedikit dari swasta, sehingga alternatif orang-orang untuk mengakses layanan yang disediakan pemerintah ya kompetisi, karena sebagi rasio kualitasnya juga tidak berimbang,” paparnya.
Ombudsman Jawa Barat ke depan akan terus mendorong terwujudnya implementasi pemerataan pelayanan publik di tengah masyarakat. Dan Satriana berjanji pihaknya akan menggandeng masyarakat untuk mewujudkan implementasi itu.