Di Tengah Pandemi, Buruh Bandung Digugat Ratusan Juta Rupiah oleh Perusahaan Sendiri
Buruh CV Sandang Sari Bandung digugat perusahaan tempat mereka bekerja dan divonis pengadilan harus membayar ratusan juta rupiah. Mereka naik banding.
Penulis Emi La Palau22 Maret 2021
BandungBergerak.id - Sebanyak 198 buruh CV Sandang Sari, Bandung, digugat perusahaan tempat mereka bekerja. Dalam kasus perdata ini, pengadilan memutus mereka bersalah dan harus membayar ganti rugi ratusan juta rupiah.
Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung dipenuhi ratusan pekerja CV Sandang Sari yang juga merupakan anggota dari Federasi Serikat Buruh Militan (F-Sebumi), Selasa (9/3/2021). Mereka menanti putusan perkara bernomor 193/PDT.Y/2020/PN Bandung.
Di antara buruh yang hadir di pengadilan yang terletak di Jalan Martadinata (Riau) itu, sebagian adalah para tergugat. Ada 210 pekerja yang digugat perusahaan tekstil itu. Penantian mereka berbuah kecewa. Majelis hakim memutuskan 198 tergugat bersalah dan 12 lainnya dinyatakan tidak bersalah.
Majelis hakim memerintahkan tergugat harus membayar ganti rugi total Rp 569 juta, dengan rincian biaya ganti rugi perusahaan Rp500 juta dan biaya perkara Rp 69 juta.
Putusan tersebut hanya satu dari rangkaian masalah yang mendera para buruh CV Sandang Sari di masa pendemi Covid-19 ini. Soal lainnya, satu rekan mereka dimejahijaukan atas tuduhan penganiayaan terhadap petugas satuan pengamanan (satpam) perusahaan. Perkara pidana ini masih bergulir di PN Bandung.
Perkara lainnya, ada 10 pekerja CV Sandang Sari yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak. Mereka juga tengah berperkara mencari keadilan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung.
Rangkaian perkara hukum yang menimpa para buruh CV Sandang Sari merupakan buntut dari aksi mogok kerja pada April dan Mei 2020. Mogok kerja pertama dilakukan 3, 4 dan 6 April 2020 sebagai aksi penolakan terhadap kebijakan perusahaan yang hanya membayar 35 persen dari besaran upah mereka.
Buruh kembali melakukan aksi mogok kerja pada 12, 13, 14 Mei 2020. Kali ini mereka menolak keputusan perusahaan yang menyicil pembayaraan Tunjangan Hari Raya (THR) selama tiga kali.
Naik Banding
Para buruh tidak terima dengan vonis bersalah dan harus membayar ganti rugi ratusan juta rupiah kepada perusahaan. Mereka memutuskan melakukan banding atas putusan PN Bandung tersebut.
“Kami punya waktu 14 hari apakah akan banding atau melaksanakan isi putusan tersebut. Kami sudah sepakat akan melakukan banding,” ungkap Sri Hartati, Koordinator Divis Hukum dan Advokasi dari F-Sebumi kepada Bandungbergerak.id melalui sambungan telepon, Senin (15/3/2021).
Dalam persidangan, perusahaan mengklaim aksi protes dan mogok kerja yang dilakukan buruhnya menimbulkan kerugian produksi sebesar Rp 12 miliar. Namun perusahaan tidak merinci detail kerugian tersebut.
Penasihat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Moh. Abdul Muit Pelu mengatakan, perusahaan tidak bisa membuktikan dari mana saja angka kerugian yang mereka klaim. Sementara keputusan majelis hakim dinilai subjektif dan jauh dari rasa keadilan.
“Dalam fakta-fakta persidangan itu tidak bisa dijelaskan angka-angka kerugian itu dari mana. Nominal Rp 500 juta itu memunculkan pertanyaan, kenapa bisa sedangkan tidak ada pembuktian secara rinci tentang kerugiannya. Menurut kami, itu putusan yang tidak adil karena tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum. Salah satunya adalah bahwa perusahaan tidak bisa membuktikan kerugian itu dari mana,” paparnya.
Abdul Muit Pelu menambahkan, aksi mogok kerja merupakan bagian dari penyampaian pendapat di muka umum yang dilindungi undang-undang. Namun hal ini juga tidak diindahkan oleh majelis hakim.
Berawal dari Pandemi Covid-19
Masalah hukum yang membelit buruh CV Sandang Sari bermula pada 31 Maret 2020. Pihak managemen CV Sandang Sari yang diwakili Triani selaku HRD perusahaan, mendadak memanggil perwakilan serikat buruh untuk membahas dampak pandemi Covid-19.
Perusahaan akan menukar Hari Libur Nasional dengan ketentuan, tanggal 10 April 2020 digeser ke tanggal 11 April 2020 dan tanggal 7 Mei 2020 ke tanggal 2 Mei 2020. Juga diatur pengaturan libur secara bergilir dengan ketentuan 50 persen masuk kerja dan sisanya diliburkan.
Rencana tersebut akan dimulai pada 3 hingga 13 April 2020. Selama libur bergilir, perusahaan akan membayar upah sebesar 25 persen.
Perwakilan buruh yang terdiri dari F-Sebumi, PPB Kasbi, dan SP2EM melonak rencana perusahaan itu. Mereka meminta upah tetap dibayar penuh 100 persen. Serikat buruh mempertimbangkan bahwa saat itu dampak pandemi Covid-19 belum terasa, pekerjaan masih ada dan orderan masih banyak.
Serikat buruh kemudian menawarkan agar pekerja tetap bekerja dengan catatan perusahaan meyediakan alat pelindung diri, berupa masker, alat ukur suhu tubuh, dan pencuci tangan (hand sanitizer).
Namun, pihak perusahaan menolak permintaan tersebut dengan alasan perusahaan sudah mencari alat pengukur suhu tubuh tapi tidak ditemukan. Buruh lantas berinisiatif mencari alat pengukur suhu tubuh dan mendapatkannya.
Namun perusahaan menolak pengadaan pengukur suhu tubuh dengan alasan harganya mahal. Pertemuan berakhir tanpa kesepatakan kedua belah pihak.
Dalam pertemuan 3 April 2020, buruh dan perusahaan kembali membahas pengubahan jadwal libur dan pembayaran upah 35 persen. Pihak perusahaan berdalih telah mengalami pengurangan order dan pemasukan.
Sampai 4 April 2020 masih terjadi pertemuan lanjutan namun tanpa kata sepakat. Perusahaan kemudian mengambil keputusan dengan mengeluarkan internal memo nomor: 98/IM/HRD-PERS/IV/2020 tentang merumahkan sebagian pekerja secara bergilir dan membayar upah 35 persen.
Pada 6 April 2020, buruh dan perusahaan bertemu. Hadir petugas Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, Tedi, selaku mediator hubungan industrial. Lagi-lagi pertemuan tidak mencapai kata sepakat. Mediasi dilanjutkan di kantor Dinasker pada 7 April 2020.
Di sela rangkaian negosiasi yang cukup alot itu, pada 3, 4, dan 6 April 2020 para pekerja melakukan aksi protes terhadap kebijakan perusahaan. Protes diikuti oleh para pekerja yang saat itu tidak memiliki jadwal kerja atau yang telah selesai bekerja. Sehingga proses produksi tetap berjalan.
Berikutnya, perusahaan mengeluarkan memo internal tertanggal 12 Mei 2020 perihal pembayaran THR tahun 2020 yang akan dicicil selama tiga kali dalam kurun waktu 3 bulan.
Aksi protes buruh berlanjut. Puncaknya, para buruh melakukan mogok kerja pada 13 Mei 2020. Aksi ini menyebabkan mesin produksi mati total beberapa jam.
Serangkaian aksi protes itulah yang menjadi landasan pihak perusahaan menggugat buruh ke PN Bandung. Ada 210 orang karyawan yang digugat dengan nilai total mencapai Rp 12 miliar karena dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Pada 4, 5, dan 6 Mei 2020 giliran perusahaan melakukan PHK terhadap 10 pekerjanya.
Pemerintah Diharap Berpihak kepada Buruh
Sri, salah satu dari 10 buruh CV Sandang Sari yang di-PHK, berharap pemerintah melalui Disnaker dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Disnaker seharusnya cepat tanggap menindaklanjuti laporan dan keluahan para pekerja.
“Seharusnya mereka menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ada pengaduan dari buruh dianggap sepele,” ungkap Sri.
Sri menampik bahwa aksi-aksi para buruh CV Sandang Sari telah merugikan perusahaan. Menurutnya, aksi pertama pada April 2020 itu tidak menimbulkan kerugian atau menghambat proses produksi.
Pada aksi Mei 2020, barulah beberapa jam alat produksi mati. Perusahaan kemudian menuding buruh bahwa aksi mogok kerja itu tidak sah.
Bandungberberak.id telah beberapa kali menghubungi pihak CV Sandang Sari untuk melakukan konfirmasi. Pada Senin (15/3/2021), Manajemen HRD Triana dihubungi melalui aplikasi berkirim pesan Whatsapp. Ia mengatakan dirinya sedang work from home (WFH).
Saat dimintai tanggapan soal perkara buruh CV Sandang Sari, Triana menjawab singkat, “Gk usah repot-repot.” Setelah itu ia tidak lagi menanggapi pesan yang dikirim Bandungbergerak.id.
Pada hari yang sama, Bandungbergerak.id mencoba menghubungi salah satu pengacara perusahaan, Andiyanto. Pesan WhatsApp yang dikirim hanya dibaca. Saat ditelepon, Andiyanto mengatakan bahwa dirinya sedang ada persidangan.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung Arief Syaifudin mengungkapkan dalam perkara yang melibatkan CV Sandang Sari dan pekerja, pihaknya hanya menjadi mediator. Apakah nantinya saran dari Dinas akan dipakai atau tidak tergantung dari kedua belah pihak.
“Tugas kami hanya melakukan mediasi, selanjutnya apakah anjuran itu akan dilaksanakan atau tidak kembali kepada pihak Sandang Sari. Tapi kalau hal-hal lain itu dilakukan oleh Pengawas Tenaga Kerja Provinsi Jabar,” ungkapnya.