Tentang Paradigma: Dari Proyek Merkuri NASA ke Budaya Lokal Indonesia
Berkaca dari demam K-Pop yang melanda dunia, budaya lokal bisa menjadi kekuatan suatu bangsa di hadapan bangsa lain. Bagaimana dengan Indonesia?
Yusuf Siswantara
Pengajar di Lembaga Pengembangan Humaniora (LPH) Unpar Bandung, sedang mengambil studi doktoral di UPI
14 Mei 2021
BandungBergerak.id - Ketika NASA mengumumkan proyek Merkuri di bulan Oktober 1958, Amerika melangkah keluar batas gravitasi bumi. Keberanian keputusan ini terasa dalam sikap astronot yang ngotot meminta jendela atau kamera untuk merekam perjalanan ke luar angkasa. Alasannya sederhana, yakni supaya mereka bisa menyaksikan bumi dan bertekad untuk membagikan pengalaman itu.
‘Menyaksikan’ berarti lebih dari sekadar melihat, dilakukan dengan penuh kesadaran dan perhatian. Untuk menyaksikan, kita membutuhkan mata sebagai jendela dunia. Seperti apakah dunia yang kita saksikan, tergantung mata yang kita gunakan sebagai pilihan perspektif. Artinya, menyaksikan juga mengandung suatu pilihan yang menghadirkan keputusan. Demikianlah, tanpa keputusan atas pilihan, tidak akan ada tindakan menyaksikan.
Keputusan bukanlah tindakan yang mudah dilakukan. Jika kamera menghasilkan foto, keputusan akan menghasilkan interpretasi yang bisa berupa kisah, gambar, atau sekadar kesunyian hati. Ingatkah kita pada keputusan seorang gadis yang mendatangi Mabes Polri dan melakukan teror dengan senjatanya? Kematian karena tembak mati adalah ujung yang paling tampak dari tindakan: menyaksikan, interpretasi, dan keputusan. Kematian itu menjadi simbol bahwa senjata yang paling berbahaya bukanlah pistol atau bom, tetapi hati yang menyaksikan, kepala yang menafsirkan, dan tangan yang memberikan keputusan.
Namun, kita jangan melupakan satu hal, yaitu makna peristiwa peluncuran proyek Merkuri di atas.
Kurun 1947-1991 merupakan periode Perang Dingin antara Amerika dan Sekutu NATO-nya dengan dunia komunis pimpinan Uni Soviet dengan negara-negara satelitnya. Perang ini bermula dari akhir Perang Dunia II dengan kemenangan Amerika dan Uni Soviet sebagai negara adidaya. Perang Dingin melahirkan ketegangan-ketegangan yang memicu konflik militer regional (Perang Korea, Krisis Suez, bahkan Gerakan 30 September di Indonesia). Selagi negara lain sibuk memadamkan konflik militer, Amerika dan Uni Soviet berlomba dalam nuklir, pengaruh, dan teknologi luar angkasa. Dalam konteks ini, pengumuman peluncuran proyek luar angkasa NASA merupakan salah satu titik persaingan teknologi negara adi daya. Perang Dingin semacam inilah yang menjadi konteks atau kondisi bagi peluncuran Merkuri pada tahun 1958.
Sebuah konteks memberikan ruang interpretasi. Artinya, walau terkesan berada di luar perhatian, konteks memainkan peranan kunci bagi pemahaman dan pandangan kita. Konteks, baju di tubuh peragawati bernilai jauh lebih tinggi (dan lebih mahal) dibandingkan dengan baju yang sama di jenazah dalam peti. Tertawa saat kematian menggambarkan kepedihan yang tidak bisa ditampung oleh air mata, tapi tetes air mata seorang ibu yang melahirkan adalah kebahagiaan yang bercahaya di relung hati terdalam.
Konteks Perang Dingin menjadikan teknologi luar angkasa sebagai simbol persaingan: kemajuan pengetahuan jatuh dalam kesombongan. Demikian pula, karena konteks yang tertanam dalam diri, kitab suci bisa menghidupkan dan memberi kedamaian, namun kitab suci yang sama bisa menghancurkan dan menghadirkan bom bunuh diri. Konteks adalah paradigma yang menjadikan kita tidak bebas nilai dalam menyaksikan, menginterpretasi, dan memutuskan sesuatu.
Peradaban
Lalu apa yang harus dibuat? Sukarno pernah menyatakan: “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Ungkapan ‘orang tua’ dan ‘orang muda’ menyimbolkan dua konteks yang berbeda. Orang tua menyimbolkan kejayaan masa lalu sebagai kiprah perjuangannya sebab masa depannya adalah kematian. Sebaliknya, orang muda memberikan harapan masa depan sebab masa lalu adalah awal kehadirannya. Seribu menyiratkan kuantitas dalam masa redup dan 10 menyinarkan kualitas kegemilangan.
Persoalannya adalah apakah generasi muda akan menjadikan Indonesia gemilang di tahun 2045? Saat ini Indonesia dianugerahi bonus demografi sebagai momentum lompatan bangsa. Artinya, peranan generasi muda akan menentukan: Indonesia jaya atau terpuruk.
Suwardi Suryaningrat telah menyediakan teori adab karsa sebagai lensa sosiologis atas fenomena di atas. Dalam teori tersebut, disebut empat pilar, yakni adab baik dan karsa kuat, adab baik tetapi karsa lemah, adab buruk tetapi karsa kuat, serta adab buruk dan karsa lemah. Secara umum, sebuah masyarakat bisa dinilai moralitas (baik-buruk) dan kinerjanya (rajin-malas). Dengan lensa ini, warga negara bisa berintrospeksi dan menilai dirinya sendiri. Namun, fenomena korupsi (mencari kekayaan dengan jalan pintas) atau kolusi (mencapai kemajuan dengan tidak adil) yang masih subur bisa menjadi indikator sederhana bagi kualitas diri.
Masalahnya adalah kondisi mentalitas bangsa saat ini tidak terlepas dari bentukan sejarah kolonial. Tanpa malu harus dikatakan bahwa Indonesia adalah bangsa inferior yang kurang menghargai diri sendiri, budaya, dan nilai-nilai bangsa. Jika demikian halnya, apakah masih ada artinya “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”?
Samuel P. Huntington melukiskan kondisi percaturan peradaban dunia dan benturan peradaban yang terjadi, baik kejadian di masa lalu maupun prediksi di masa depan. Pesan tersirat dari pengarang The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order tersebut sangat sederhana: sebuah bangsa akan bertemu dengan bangsa lain dalam bentuk peradabannya. K-Pop merupakan ekspresi peradaban, setara dengan tokoh Superman di era Perang Dingin. K-Pop menyodorkan kekhasan Korea yang dikemas untuk konsumsi global. Fenomena K-Pop menandakan kebanggaan kultural bangsa Korea. Artinya, budaya lokal bisa menjadi kekuatan suatu bangsa di hadapan bangsa lain.
Tentang budaya dan keragaman, Indonesia adalah ‘jago’-nya. Bangsa ini mempunyai kekayaan kultural, antropologis, sosiologis, ekologis, dan demografis secara bersamaan. Pertanyaan besarnya: apakah ada penggalian kekayaan tersebut dalam inovasi dan wajah baru? Ataukah kita diam saja dan membiarkan bangsa lain menggali kekayaan tersebut, termasuk budaya lokal Indonesia?
Semua ini hanyalah perspektif dan paradigma kebangsaan supaya kita bisa menyaksikan, menginterpretasi, serta memutuskan dalam suatu konteks.