• Liputan Khusus
  • Pasar Cicaheum: Antara Kebakaran Besar, Koperasi, dan Persib

Pasar Cicaheum: Antara Kebakaran Besar, Koperasi, dan Persib

Pasar Cicaheum, yang di masa jayanya menjadi pusat jual-beli hasil bumi warga Bandung dan sekitarnya, kian sepi. Inilah kisah dan kesaksian para padagangnya.

Para pedagang melayani pembeli di Pasar Cicaheum, Bandung, pada Sabtu, 20 Maret 2021, pagi. Di masa jaya pasar yang muncul sejak tahun 1950-an ini, para pedagang memiliki koperasi yang aktif menyalurkan bantuan ke korban gempa, panti asuhan, serta masjid. (Foto: Arbi Ilhamsyah)

Penulis Emi La Palau20 Maret 2021


BandungBergerak.id - Kobaran api melalap habis kios-kios reot di Pasar Cicaheum. Nyaris tidak tidak ada barang berharga yang bisa diselamatkan. Si jago merah terus menjalar, menghanguskan juga bahan baku dan toko.

“Kejadian bencana (19)88, (kios) saya kebakaran. Saya habis 40 ton beras. (Itu) Kebakaran terbesar, habis-habisan,” kenang Nanang Suhana (65) kepada BandungBergerak.id, di Pasar Cicaheum, Bandung, Rabu (10/3/2021).

Bencana kebakaran yang terjadi pada tahun 1988 itu tercatat sebagai salah salah satu kebakaran terbesar yang terjadi di Pasar Cicaheum. Ketika itu pasar berupa lapak-lapak kaki lima biasa yang menempati hampir separuh lahan yang saat ini menjadi bagian dari Terminal Cicaheum.

Nanang Suhana, akrab disapa Ude, tumbuh dan besar di Pasar Cicaheum, mengikuti jejak orang tuanya yang bekerja sebagai pedagang. Ia berjualan di pasar yang jadi bagian Kecamatan Kiaracondong tersebut sejak tahun 1960-an.

Pasar Cicaheum, dalam ingatan Ude, sudah muncul sejak tahun 1950-an. Pada 1975, sebagai dampak proyek pembangunan Terminal Cicaheum, sebagian besar pedagang dipindahkan.

Pada masa jayanya, tanpa ada satu pun kios kosong, Pasar Cicaheum sohor sebagai salah satu tempat pertama bagi para petani lokal menjajakan hasil bumi mereka. Pembeli sangat ramai. Apalagi ketika itu ada beberapa pabrik yang beroperasi di kawasan tersebut. Ude bisa menjual 15 ton beras per hari.

Pemandangannya jauh berbeda dengan yang ditemui sekarang. Papan nama yang dipajang di depan gerbang pintu masuk dari arah timur pasar terlihat reot. Atap-atap kios yang sudah kusam menutup badan kios warna-warni yang berderet-deret berbatasan dengan terminal.

Beberapa toko tergembok. Meja-meja dagang nampak kosong tidak berpenghuni.

Dari total 566 ruang dagang di pasar yang dikelola oleh Perusahaan Daerah (PD) Pasar Bermartabat Kota Bandung tersebut, sebanyak 156 di antaranya tutup. Sebagian akibat pedagang yang bangkrut. Yang lain karena pemilik memilih membiarkannya terbengkalai begitu saja.

“Tutup sudah lama. Jadi bertahun-tahun orang yang sudah meninggal, terus orang yang (dapat) warisan dibiarin. Jadi sudah terbengkalai,” kata Kepala Pasar Cicaheum, Indra Gusteris.

Ude (65), pedagang beras di Pasar Cicaheum, yang bertahan sekuat tenaga di tengah anjloknya jumlah pembeli. (Foto: Emi La Palau)
Ude (65), pedagang beras di Pasar Cicaheum, yang bertahan sekuat tenaga di tengah anjloknya jumlah pembeli. (Foto: Emi La Palau)

Nostalgia Koperasi

Sebagai pusat perbelanjaan sembako masyarakat, Pasar Cicaheum sekilas tidak jauh berbeda dengan pasar-pasar tradisional lainnya. Namun banyak cerita tersimpan di balik bangunan-bangunan reot yang nampak tidak terurus itu. Salah satunya kisah tentang gotong-royong dan kekompakan di antara pedagang yang demikian kuat dengan koperasi sebagai wadahnya.

Koperasi pedagang Pasar Cicaheum dirintis pada tahun 1980-an.  Bukan hanya mencegah para pedagang tidak terjerat pinjaman rentenir, uang koperasi juga turut digunakan untuk membangun kembali pasar pascabencana kekabaran besar tahun 1988 itu.

Lebih dari itu, seringkali para pedagang, lewat koperasi, sanggup menyalurkan bantuan ke berbagai lokasi dan institusi. Mulai dari korban bencana alam di luar daerah hingga pembangunan masjid.

“Uang bersama yang terkumpul juga (sering) disumbangkan ke panti asuhan,” ungkap Uhud Supyadi (75), salah seorang pedagang yang menjadi ketua koperasi selama 10 tahun, ketika ditemui di kediamannya di kawasan Jatihandap, tidak jauh dari pasar.

Lelaki paruh baya itu kemudian menyebut beberapa nama masjid dan panti asuhan di kawasan Cicaheum yang pernah disokong oleh koperasi pedagang. Salah satunya Panti Asuhan Insan Harapan, yang ketika Gunung Galunggung meletus, menjadi salah satu tempat menitipkan anak.

Menurut Uhud, koperasi telah membuat para pedagang Pasar Cicaheum sangat kompak dan senang bergotong-royong. Terbukti, setiap kali ada satu pedagang yang sakit, kawan-kawannya berbondong-bondong menjenguk.

Namun sejak tahun 2015, seiring dengan makin sepinya pasar, pengelolaan koperasi perlahan mulai terbengkalai. Jumlah anggotanya terus menyusut. Saat ini hanya ada sekitar 20-an pedagang yang masih aktif.

Uhud (75) memiliki kenangan manis tentang kekompakan para pedagang Pasar Cicaheum yang terwadahi lewat koperasi yang pernah diketuainya selama 10 tahun. (Foto: Emi La Palau)
Uhud (75) memiliki kenangan manis tentang kekompakan para pedagang Pasar Cicaheum yang terwadahi lewat koperasi yang pernah diketuainya selama 10 tahun. (Foto: Emi La Palau)

Demi Persib

Ada juga sisi unik dari kekompakan para pedagang Pasar Cicaheum. Di luar kegiatan amal dan sosial bersama, mereka punya juga agenda rutin lain yang kali ini membuat senang. Setiap kali Persib Bandung bertanding, rombongan pedagang selalu menyempatkan untuk menonton bersama di stadion. Sampai-sampai muncul istilah ‘uang selingkuh’, uang yang disengaja disembunyikan dari istri demi bisa menonton Persib berlaga.

“Warga Pasar Cicaheum itu pendukug Persib. Persib ke Jakarta, ke mana-mana, berangkat! Kalau ada pertandingan macam zaman Robby Darwis, itu duitnya kumpul barengan. (Kami) ngumpul bareng naik dua bus ke Jakarta,” ungkap Uhud yang dulu berjualan pisang.

Seperti juga kegembiraan berkoperasi, kegemaran menonton bersama Persib sudah mulai luntur. Perlahan-lahan hilang sama sekali.

Yang masih tersisa dalam diri para pedagang adalah usaha sekuat tenaga untuk terus menghidupi pasar. Membuatnya kembali ramai seperti pada masa jayanya. Bahkan bencana kebakaran besar pada 1988, yang diikuti anjloknya jumlah pembeli, belum sanggup merenggut usaha semacam itu. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//