• Buku
  • BUKU BANDUNG (1): Menyingkap Budaya Tionghoa Bandung melalui Sebuah Tragedi

BUKU BANDUNG (1): Menyingkap Budaya Tionghoa Bandung melalui Sebuah Tragedi

Novel Lantaran Dimadu membantu kita menyingkap budaya masyarakat Tionghoa di Bandung. Pintu masuknya: tragedi sebuah rumah tangga akibat praktik poligami.

Sampul buku Lantaran Dimadu (2021) yang diterbitkan pada Maret 2021 oleh Katasis Book, Bandung. Novel karangan Kwee Boen Hoey ini pertama kali diterbitkan di Bandung pada 1931, atau tepat 90 tahun lalu. (Foto repro: Hernadi Tanzil)

Penulis Hernadi Tanzil23 Mei 2021


BandungBergerak.idDi sepanjang masa, dari dahulu sampai kini, sepertinya tidak ada seorang perempuan pun mau dimadu. Dalam perbincangan tentang poligami kita sering mendengar ucapan “Wanita mana yang mau dimadu?”. Sayangnya, banyak pria seakan tidak peduli dengan pendapat tersebut dan ada alasannya untuk berpoligami.

Dimadu bukan saja membuat hati wanita tersakiti, melainkan juga berdampak buruk pada kesehatannya. Itulah yang dirasakan oleh Eng Nio, tokoh dalam Lantaran Dimadu (2021), novel pendek karangan Kwee Boen Hoey yang dibuka dengan suasana mencekam kota Bandung tempo dulu di tengah hujan badai. Inilah isyarat datangnya badai kehidupan dalam sebuah rumah tangga.

Eng Nio adalah seorang wanita cantik yang berasal dari keluarga peranakan Tionghoa yang kurang beruntung secara ekonomi. Ketika Lian Hie, seorang Hokchia totok yang mengaku sebagai pemilik toko emas di Pasarbaru Bandung, melamar, tanpa pikir panjang orang tua Eng Nio menerimanya.

Rupanya banyaknya perbedaan antara seorang peranakan dengan Hokchia totok membuat pernikahan mereka tidak seperti apa yang diidam-idamkan Eng Nio. Bukan hanya sifat, tapi juga urusan adat-istiadat. “Tapi lantarang mengingat bahwa orang itu sekarang sudah menjadi suaminya, seberapa besar Eng Nio berusaha buat menyesuaikan dirinya…” (hlm 36)

Di tahun ketiga pernikahannya Eng Nio semakin jarang mendapat kasih sayang dari suaminya. Sementara Eng Nio sibuk mengurus toko emas, Lian Hie semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Ia baru pulang menjelang tengah malam atau bahkan hampir fajar. Eng Nio ditinggal sendirian di rumah.

Eng Nio tidak bisa memprotes karena menurut tradisi Tionghoa saat itu seorang perempuan harus menurut terhadap suaminya. Termasuk ketika Lian Hie secara mendadak mengutarakan rencana pulang ke Tiongkok untuk menengok keluarganya.

Sebagai istri yang taat pada suaminya, Eng Nio merelakan suaminya pergi meski dia merasa khawatir kalau kelak suaminya pulang dari Tiongkok dengan membawa pulang seorang perempuan. Dengan sabar dia menunggu kedatangan Liang Hie selama empat tahun.

Namun apa yang dikhawatirkan Eng Nio menjadi kenyataan. Lian He, sang suami, pulang dengan membawa seorang perempuan yang telah dinikahinya di Tiongkok. Penderitaannya bertambah karena istri muda itu memperlakukannya secara semena-mena. Inilah awal mula tragedi yang mendera hidup Eng Nio.

Lalu apa yang bisa kita peroleh dari novel pendek yang terbit 90 tahun yang lalu ini? Sekadar kisah pilu seorang wanita lantaran dimadu?

Dari Pedagang ke Mak Comblang

Dalam bab Permulaan Kata (Kata Pengantar) penulis menyuguhkan undang-undang pernikahan bagi orang Tionghoa di Hindia yang menyatakan bahwa seorang pria hanya boleh menikah dengan satu perempuan dan pasal-pasal mengenai hukuman penjara jika kedapatan seorang pria beristri lebih dari satu. Informasi ini memberi konteks cerita.

Mencermati lebih dalam lagi, kita bisa mengintip kondisi sosial budaya masyarakat Tionghoa di Bandung di paruh pertama abad ke-20. Kita, misalnya, jadi mengetahui profesi apa saja yang biasa dijalankan orang-orang Tionghoa. Yang mungkin telah menjadi strereotip orang Tionghoa hingga kini adalah pekerjaan sebagai pedagang.  Di novel ini pun kita akan melihat bahwa beberapa tokohnya adalah pedagang, mulai dari pedagang emas di toko hingga pedagang minyak dan tembakau keliling.  Kalau pedagang di toko masih banyak ditemukan hingga hari ini, pekerjaan sebagai pedagang pikulan keliling inilah yang tidak kita temukan lagi. 

Selain berdagang barang, orang Tionghoa juga ada yang ‘dagang uang’, khususnya dari suku Hokchia. Profesi mereka umumnya adalah tukang pinjaman uang. Dalam novel ini terdapat seorang Tionghoa yang meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi yang pada masa itu disebut uang panas

Untuk urusan perjodohan, terungkap pula profesi wanita Tionghoa sebagai mak comblang yang dalam novel ini dsebut cengkauw. Sepertinya di masa itu seorang cengkauw memegang peranan penting. Melalui jasa cegkauw itulah para pria Tionghoa berusaha untuk melamar Eng Nio.

Novel ini juga mengungkap perbedaan perilaku dan kebiasaan antara orang Tionghoa totok (yang lahir di Tiongkok) dan orang Tionghoa peranakan (lahir di Indonesia). Ada yang tidak mengenakkan, khususnya terkait hubungan pernikahan.

“Sebagai seorang peranakan yang hidup sedari kecil dibawah pengaruh yang terdapat di sekitar dirinya, waktu baru menikah dirasakan kehidupan antara Eng Nio dan suaminya sangat bertentangan. Bukan saja dalam caranya ia punya pergaulan, tapi juga dalam adat istiadatnya mempunyai perbedaan-perbedaan yang tidak mengenakkan… Adat kelakuan dan kebiasaan suaminya sebagaimana umumnya kehidupan orang-orang Hokchia ada perbedaan dengan adat kehidupan orang-orang Tionghoa peranakan terhadap istri dan orang tuanya.” (halaman 35-36)

Selain itu Lantaran Dimadu juga mengungkapkan anggapan umum di masa itu bahwa bukan hal yang aneh jika seorang Tionghoa totok membawa pulang wanita Tiongkok ketika ia kembali ke Jawa, seperti yang dilakukan oleh Lian He.

Warga berjalan kaki menyeberangi jalan menuju bangunan Pasarbaru Heritage, Bandung, Kamis (15/4/2021). Keberadaan Pasarbaru turut mewarnai riwayat panjang masyarakat Tionghoa di Bandung. (Foto: Prima Mulia)
Warga berjalan kaki menyeberangi jalan menuju bangunan Pasarbaru Heritage, Bandung, Kamis (15/4/2021). Keberadaan Pasarbaru turut mewarnai riwayat panjang masyarakat Tionghoa di Bandung. (Foto: Prima Mulia)

Gambaran Bandung

Lantaran Dimadu diterbitkan pertama kali pada tahun 1927 oleh Penerbit Boelan Poernama, Bandung dengan Judul Lantaran Dimadoe, Satoe Tragedy Dalem Roemah Tangga Tionghoa. Empat tahun kemudian novel tersebut diterbitkan ulang oleh Drukerij Litera, Bandung.  Pada Maret 2021 novel yang aslinya ditulis dalam bahasa melayu pasar dengan ejaan lama van Ophuysen ini diterbitkan lagi oleh Katasis Book, Bandung, dengan mempertahankan kalimat-kalimat aslinya tapi dengan menggunakan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). 

Di edisi terbaru ini penerbit menambahkan kalimat di Bandung di subjudulnya sehingga menjadi Lantaran Dimadu: Suatu Tragedi dalam Rumah Tangga Tionghoa di Bandung. Penambahan ini tidaklah mengada-ngada karena kisah dalam novel ini memang berlatar Bandung. Di dalamnya kita akan menemukan Jalan Tjibadakweg, Pasar Baroe, Tjitepoes, dan bursa tahunan Jaarbeurs yang sangat terkenal di masa itu.

Terhadap istilah-istilah asing yang saat ini sudah jarang atau bahkan tidak pernah digunakan, penerbit menyertakan penjelasan di catatan kaki. Ada satu hal yang perlu dikoreksi yaitu frasa toonnel komedie, yang diartikan sebagai komedi putar, roller coaster, padahal arti sebenarnya adalah sandiwara atau teater.

Satu hal lagi yang mungkin perlu dikoreksi terkait penomoran. Jika di naskah awalnya setiap bab diawali dengan nomor menggunakan angka romawi, di cetakan terbarunya angka dihilangkan. Padahal di beberapa kalimat pembuka antarbab, penulis merujuk pada nomor babnya. Contohnya: “Satu bulan telah lewat dari apa yang dibicarakan di bagian ke II…” (halaman 24) dan “Jalannya walau begitu cepat zonder terasa sudah tiga tahun lewat dari apa yang dibicarakan di bagian IV…” (halaman 46).

Terlepas dari soal di atas, diterbitkannya kembali buku yang mungkin sudah dilupakan banyak orang ini patut diapresiasi dengan baik. Selain kisahnya masih relevan hingga kini, novel ini penting bagi pembaca atau juga peneliti untuk memperoleh gambaran tentang dinamika hidup masyarakat Tionghoa di Bandung pada paruh pertama abad ke-20.

Gambaran tentang masyarakat Tionghoa itu adalah juga gambaran tentang Bandung.

Informasi Buku

Judul : Lantaran Dimadu, Suatu Tragedi dalam rumah Tangga Tionghoa di Bandung

Penulis : Kwee Boen Hoey

Penyunting : Andrias Arifin

Penerbit : Katarsis Book

Cetakan : I, Maret 2021

Tebal : X + 94 hlm; 13x 19 centimeter

Editor: Redaksi

COMMENTS

//