Kita dan Kota
Saya belum pernah membaca sebuah kota di Indonesia layaknya Istanbul yang ditulis Orhan Pamuk.
Cecep Burdansyah
Penulis fiksi dan nonfiksi, pemenang Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019
3 Juni 2021
BandungBergerak.id - Hidup manusia, yang katanya penuh warna-warni, dalam kenyataanya tak bisa dilukiskan dalam sebuah tulisan. Ada yang mencoba menuliskan kisahnya, ternyata warna-warninya tidak tergambar. Datar-datar saja. Apakah yang salah itu ungkapan “hidup manusia penuh warna-warni” atau karena memang orang itu gagal mengisahkannya.
Ada orang yang diasumsikan menarik kisah hidupnya, setidaknya kalau kita mengikuti pemberitaannya di media, tapi menjadi kehilangan daya tariknya saat ditulis oleh orang yang tidak terlatih menulis, tidak mampu menggali kisah orang itu, dan tidak tahu bagaimana cara menuliskannya.
Misalnya saya membaca biografi seorang pendekar hukum Artidjo Alkostar. Dia seorang penegak hukum yang berani menyeret siapa pun ke penjara tanpa pandang bulu, dan berani miskin. Setidaknya begitu yang tergambar tentang sosok Artidjo dari pemberitaan media massa. Tapi karena orang yang menulisnya tidak piawai, bahkan untuk menyusun kalimat bertenaga saja tak mampu, akhirnya kisah hidup sang mantan hakim agung itu membeku seperti es batu. Tak ada kehangatan, hilang warna-warninya, sifat manusiawi dan kejujuran sang tokoh lenyap dalam kata-kata yang kering.
Sebaliknya, ada orang yang kisah hidupnya sebetulnya tidak terlalu menarik, karena terlalu intelektual, tapi di tangan orang yang gigih menggali lika-liku dan kedalaman pikirannya, menjadi hidup. Saya membaca biografi Sudjatmoko dan Sartono Kartodirdjo, yang ditulis oleh orang yang sama, sungguh menarik.
Orang yang penuh kontroversi ditulis oleh orang yang sarat pengalaman menulis, tentu hasilnya bakal menakjubkan. Misalnya kisah Jenderal Benny Moerdani, “Beny, Tragedi Sang Loyalis” yang ditulis oleh wartawan senior, Julius Poer, setiap kalimat menyeret pembaca untuk terus mengikuti alur kisahnya.
Hal yang sama tentang sebuah kota, di mana banyak manusia menghabiskan masa kecil dan masa tuanya, dengan segala atributnya, akan menarik ketika ditulis oleh seorang penulis piawai. Kota, di tangan penulis handal, bukan sekadar tenpat lahir dan mati, bukan sekadar tempat orang mengadu nasib, berdagang, bekerja, bukan sekadar tulang-tulang beton yang menjulang. Kota adalah cerita, di mana orang terkenal seperti penyair Perancis Baudelair suka bermalam dengan pelacur di Kota Istanbul lalu mengidap penyakit spilis. Kota adalah tentang harapan, kemurungan, kepedihan, peperangan, kehancuran. Kota bukan sekadar deretan bank tempat transaksi. Kota juga sebuah kenangan, yang selalu mengikat seseorang yang lahir di kota itu untuk terus bertahan di kota hingga mati, tak mau pindah, walau dia miskin. Kota menyimpan sejuta kenangan, sehingga terlalu berat untuk ditinggalkan. Seperti seorang laki-laki atau perempuan yang sangat berat meninggalkan pasangannya.
Tak heran Orhan Pamuk begitu mempesona mengisahkan “Istanbul Kenangan Sebuah Kota”. Tulisannya seakan membawa pembaca untuk menjelajahi aneka peristiwa, baik murung maupun gembira. Yang dikisahkannya bukan sekadar fragmen, tapi sebuah peradaban.
Kota-kota di Indonesia tentu kenangan juga. Setiap orang punya kenangan sendiri tentang kota. Bandung, Jakarta, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Semarang, sekadar untuk menyebut nama kota. Tapi saya belum pernah membaca sebuah kota di Indonesia layaknya Istanbul yang ditulis Orhan Pamuk. Tentu bukan karena kotanya yang miskin kenangan, tapi miskin penulis yang mau mendedikasikan menulis kenangannya tentang sebuah kota.