Cerita Orang Bandung (1): Kesaksian dari TPU Cikadut
Aceng Supendi (56) menjadi pengangkut peti jenazah Covid-19 di TPU Cikadut Bandung sejak awal pandemi. Sempat dikucilkan warga, tak disokong dengan APD yang memadai.
Penulis Emi La Palau4 Juni 2021
BandungBergerak.id - Meski sinar matahari terik, awan gelap mulai menggantung di langit di atas kompleks Tempat Permakaman Umum (TPU) Cikadut, Bandung, Rabu (2/6/2021) siang. Di bibir liang lahat, Aceng Supendi (56) mengumandangkan adzan dengan khidmat. Sebuah peti jenazah pasien Covid-19, yang keempat di hari itu, baru saja dimasukkan.
Belum lagi cukup jeda untuk beristirahat, datang jenazah kelima. Aceng dan teman-temannya harus kembali bekerja meski air hujan sudah tumpah dengan derasnya, menambah licin jalanan setapak yang belum lagi kering dari sisa hujan sehari sebelumnya.
Mereka memikul peti jenazah itu, berjalan terseok-seok di jalanan berlumpur, sebelum memasukkannya ke lubang berukuran 1,5 x 2,5 meter. Tak ada banyak orang yang menyaksikan perpisahan tersebut. Tak ada perayaan.
Sejak TPU Cikadut ditetapkan oleh Pemerintah Kota Bandung sebagai tempat pemakaman jenazah Covid-19 pada awal April 2020 lalu, sudah lebih dari seribu jenazah disemayamkan. Lebih tepatnya, sekitar 1.300-an jenazah. Aceng Supendi ada di sana sejak hari pertama.
“Waktu itu (saya) bantu-bantu saja di sekitar makam. Karena gak ada yang berani mikul (peti jenazah), saya memberanikan diri,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id.
Dikucilkan Warga
Aceng Supendi masih mengingat suasana pemakaman jenazah pertama yang dilakukan sesuai prosedur penanganan Covid-19 di TPU Cikadut. Jenazah seorang tenaga kesehatan. Ketika itu sedikit sekali orang mau membantu memanggul peti karena takut tertular. Hanya dia, beberapa petugas Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Bandung, dan empat temannya.
Hingga beberapa pekan setelahnya jumlah pemikul peti jenazah Covid-19 tidak bertambah. Aceng dan lima atau enam orang temannya harus siaga 24 jam sehari. Puluhan peti jenazah, yang jam kedatangannya tak pernah pasti, mereka kuburkan dengan memakai alat pelindung diri (APD) seadanya. Tubuh dibungkus kantong plastik, mulut dan hidup dilindungi dengan kain.
Bukan hanya rentan tertular virus, para pemikul peti jenazah Covid-19 di TPU Cikadut juga menghadapi cemoohan para tetangga. Informasi tentang virus ketika itu masih demikian simpang-siur, membuat warga dibekap ketakutan yang berlebih.
“(Saya) Sempat dikucilkan dua kampung. Mereka pada takut. Ada yang bilang saya ga sayang sama anak sama istri,” kata Aceng.
Penyuluhan dari petugas Pemkot Kota Bandung datang belakangan. Para pemikul peti jenazah Covid-19 diminta tidak takut tertular virus. Setiap jenazah Covid-19, menurut penjelasan para petugas, telah dibalut tiga kain kafan dan dibungkus dengan tiga lapis plastik sebelum dimasukkan ke kantong.
Aceng dan teman-temannya juga diberi pengetahuan tengan penerapan protokol kesehatan. Bantuan perlengkapan APD, masker, dan sarung tangan mereka terima.
“Alhamdulillah sampai sekarang (kami) belum ada kenapa-kenapa,” ungkap Aceng. “Mungkin Tuhan juga melindungi.”
APD Bekas
Aceng Supendi saat ini merupakan satu dari 36 tukang pikul peti jenazah di TPU Cikadut. Mulanya mereka bekerja tanpa pendapatan tetap. Besaran upah yang diterima sepenuhnya tergantung pada keikhlasan keluarga atau ahli waris jenazah yang dimakamkan.
Pada Januari 2021 lalu, para pemikul jenazah Covid-19 melakukan aksi mogok kerja akibat tudingan melakukan pungutan liar (pungli). Dari masalah inilah muncul kesepakatan antara para pemikul dengan Pemkot Bandung. Bayaran tetap per bulan bersumber dana APBD akan dikucurkan.
Tiga bulan berselang aksi mogok kembali terjadi. Kali ini akibat ketidakjelasan pembayaran honor yang dijanjikan pemerintah.
Bukan hanya urusan upah, para pemikul peti jenazah Covid-19 di TPU Cikadut juga bermasalah dengan ketersediaan APD yang kian menipis stoknya. Ketika mereka bekerja pada Rabu itu, terlihat bagaimana sebagian petugas tidak terlindungi oleh APD yang memadai. Beberapa bahkan tidak dilengkapi dengan masker.
APD yang dikenakan Aceng adalah APD bekas yang ia kumpulkan dari kantor TPU Cikadut. Piranti pelindung yang seharusnya dikenakan sekali pakai itu terpaksa dipakai berulang kali karena tidak ada yang baru.
“(APD) Yang masih bagus dikumpulin untuk dipakai lagi. Ada dua karung disimpan di rumah, bekas semua,” kata Aceng.
Begitulah Aceng dan teman-temannya harus bekerja keras setiap hari tanpa jaminan kesehatan yang memadai. Belum lagi tantangan fisik berupa medan permakaman yang sulit tiap kali hujan. Masalah penerangan yang jauh dari cukup di malam hari juga baru tuntas diselesaikan pekan ini setelah dikeluhkan sekian lama.
Ibadah
Aceng Supendi, kelahiran Ciamis, mulai menetap di Bandung sejak tahun 1982. Selama enam tahun pertama, ia berkerja di pabrik tekstil. Setelah itu ia bekerja serabutan selama empat tahun. Pekerjaan apa saja dilakoni, mulai dari menjadi tukang bangunan hingga membantu membangun kuburan orang Tiongkok.
Aceng juga pernah bekerja sebagai petugas pengangkut sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Mandalajati selama kurang lebih 5 tahun. Keluar dari sana, ia mulai membantu kerja di permakaman hingga hari ini.
Aceng dan istrinya, yang tinggal di rumah kontrakan di kawasan Jamaras tak jauh dari TPU Cikadut, memiliki lima anak. Dua di antaranya masih bersekolah. Satu orang duduk di bangku sekolah menengah pertama, yang lain di bangku sekolah menengah atas. Upah menjadi pengangkut jenazah Covid-19 itulah yang jadi sandaran hidup keluarga ini.
Tidak ada kemewahan lahir dari pekerjaan sebagai pengangkut peti jenazah Covid-19. Semua serbaterbatas. Toh itu tidak menyurutkan kesungguhan Aceng menunaikan tugasnya sebaik mungkin.
“Udah kepalang ibadah, nganggepnya ibadah aja,” tutur Aceng. ”Orang meninggal kan tanggung jawab orang yang masih hidup.”