• Berita
  • Kasus Kekurangan Gizi di Bandung Meningkat Sejak Pandemi COVID-19

Kasus Kekurangan Gizi di Bandung Meningkat Sejak Pandemi COVID-19

Sebanyak 50 ribu anak di Bandung mengalami kekurangan gizi dan terancam stunting. Indikasi stunting sudah muncul sejak sebelum pandemi COVID

Pandemi COVID-19 mewajibkan semua orang mengenakan masker, tidak terkecuali anak-anak. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Penulis Emi La Palau24 Maret 2021


BandungBergerak.id - Jumlah anak stunting (pendek) di Kota Bandung meningkat sejak pandemi COVID-19. Stunting terjadi pada anak dengan kondisi gagal tumbuh secara fisik maupun otak karena kekurangan gizi.

Menurut data Dinas Kesehatan Kota Bandung, di Bandung tercatat ada 193.294 balita. Pada 2019 atau menjelang pandemi COVID-19, angka stunting sebanyak 8.121 balita (6,53 persen).

Jumlah tersebut naik menjadi 9.567 kasus (8,93 persen) pada 2020 seiring pandemi COVID-19. Selain itu, terdapat 50 ribu anak lainnya yang masuk kategori rawan stunting.

“Hari ini di kota bandung memiliki angka stunting yang cukup mengkhawatirkan, bahkan naik 3 persen setelah pandemi COVID-19,” ungkap Ketua TP-PKK Kota Bandung, Siti Muntamah Oded dalam Webinar PMBA, Optimalkan Praktik Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA) untuk Bandung Bebas Stunting, Selasa (23/3/2021).

Kenaikan angka stunting di Bandung disebabkan tutupnya Posyandu terutama pada awal-awal pandemi, masalah sanitasi, turunnya daya beli masyarakat yang menimbulkan kurangnya gizi untuk anak, pola asuh keluarga, serta minimnya pengetahuan (literasi) gizi.

Siti menggarisbawahi pentingnya literasi gizi bagi keluarga. Keluarga di Kota Bandung memiliki literasi gizi di bawah 50 persen. Diperlukan program yang menyentuh peningkatan linterasi gizi pada keluarga, terutama literasi di 1000 hari pertama kelahiran.

Untuk menyentuh masalah tersebut, Kota Bandung memiliki program Tanginas atau Tanggap Stunting Dengan Pangan Aman dan Sehat.

“Sehingga harus dipersiapkan intervensi dan penanggulangan menuju zero stunting, mempersiapkan bumil, remaja mau menikah, dengan program Tanginas,” ungkap Siti.

Kondisi Sebelum Pandemi dan Bahaya Susu Formula

Kenaikan angka stunting di Bandung dikuatkan penelitian yang dilakukan Helen Keller International sebelum masa pandemi COVID-19, antara 2017-2019. Hasil penelitian ini menunjukkan responden yang diteliti rawan mengalami stunting.

Penelitian dilakukan untuk menganalisis asupan makanan pada anak di bawah tiga tahun (batita). Analisa penelitian terutama diarahkan pada konsumsi makanan dan minuman buatan pabrik.

Ada 595 ibu batita (0-35 bulan) penduduk Kota Bandung yang diteliti. Hasilnya, jumlah anak mereka usia 6-23 bulan yang mendapat asupan sesuai rekomendasi WHO tidak mencapai 50 persen.

Hanya 46,1 persen anak yang makannya cukup beragam dan cukup sering. Lebih banyak anak yang diberi makan cukup sering dibanding diberi makan beragam.

Terdapat 1 dari 5 anak yang mengkonsumsi sayuran hijau. Hanya 1 dari 10 anak yang mengkonsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin C.

Juga ditemukan 4 dari 5 anak mengkonsumsi makanan riangan buatan pabrik yang sebenarnya tidak diperuntukkan bagi batita. Dengan kata lain, banyak batita yang mengkonsumsi makanan untuk orang dewasa.

Peneliti mencatat anak-anak tersebut mengkonsumsi makanan dewasa sejak usia 6 sampai 11 bulan, dan pada saat masuk ke usia 1,5 tahun, mereka hampir semuanya mengonsumsi makanan ringan untuk orang dewasa.

Selain itu, 2 dari 3 anak usia 18-23 bulan sudah mulai mengonsumsi minumam berpemanis. Sebanyak 2 dari 5 batita mengonsumsi lebih dari satu jenis minuman berpemanis. Sebanyak 4 dari 5 batita mengonsumsi makanan ringan 1 sampai 3 kali per hari.

Manajer Program Nutrisi Helen Keller International, dr. Dian Hadihardjono menjelaskan, penelitiannya menemukan bahwa bukan hanya sekedar makanan ringan (snack) yang dikonsumsi batita di Bandung, tapi juga susu berpemanis, teh dan jus produk pabrikan.

Jenis minuman tersebut mengandung gula tinggi. Padahal asupan gula perlu dibatasi sejak usia dini. “Tubuh punya kemampuan menggunakan gula yang kita konsumsi dalam batas tertentu tanpa menyebabkan penyakit,” terang dr. Dian.

Penelitian juga meneliti asupan air susu ibu (ASI) dan susu formula pada ibu dan anak di Kota Bandung. Hasilnya, mayoritas ibu pernah menyusui anaknya (99 persen) dan sebanyak 2 dari 5 ibu memberikan ASI selama 6 bulan.

Angka pemberian ASI ekslusif secara nasional sebesar 52 persen. Sedangkan angka di Bandung 60 persen atau melebihi angka nasional.

Tapi masalahnya, penggunakan susu formula untuk anak masih sangat lazim diguankan. Hampir separuh anak usia 1 hinga 3 tahun mengonsumsi susu formula yang dipercaya meningkatkan pertumbuhan. Mayoritas dikonsumsi mereka setiap hari.

Hampir setengah dari ibu yang diteliti merekomendasikan menggunakan susu pendandamping ASI sejak bersalin. Bahkan, 45 persen ibu menerima rekomendasi itu dari tenaga kesehatan.

Dr Dian bilang, ibu-ibu memberikan susu formula dengan harapan anaknya mendapatkan manfaat berupa pertumbuhan, kecerdasan dan kekebalan tubuh. Bahkan 1 dari 4 ibu menganggap dan memberikan susu formula sama baiknya dengan ASI.

Dian menegaskan, susu formula tidak baik dikonsumsi oleh batita. Bahakan susu formula justru menyebabkan stunting.

Perlu Pencegahan dari Hulu

Direktur Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan, dr. Dhina P. Dipo, mengklaim pemerintah telah menyusun strategi dan intervensi yang menyeluruh terhadap stunting. Bahkan menurutnya strategi tersebut dilakukan sejak dari hulu, yakni pada remaja-remaja yang akan menikah atau menjadi ibu rumah tangga.

Pendekatan pada remaja, misalnya, dilakukan lewat pendidikan literasi gizi. Sementara strategi pada ibu dilakukan dengan pendekatan tentang pentingnya pemberian ASI dan makanan pendandamping ASI  pada batita.

Hal itu mengacu pada strategi global WHO dan UNICEF 2003, bahwa inisiasi pemberian ASI ekslusif dilakukan sejak lahir sampai bayi usia 6 bulan. Sedangkan makanan pendamping ASI harus diberikan sejak 6 bulan sampai usia 2 tahun.

Strategi tersebut diyakini dapat berkontribusi besar dalam menurunkan angka stunting di daerah-daerah.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//