• Opini
  • Ketahanan Bencana ala Warga +62

Ketahanan Bencana ala Warga +62

Kalau kita tengok peristiwa-peristiwa ke belakang, memang warga +62 itu tangguhnya luar biasa.

Ica Wulansari

Pengkaji studi sosial-ekologi, sedang menempuh S3 Sosiologi Universitas Padjadjaran

Cigadung merupakan wilayah di Kota Bandung yang menjadi bagian dari Kawasan Bandung Utara (KBU), sebuah kawasan yang indah pemandangannya tapi sekaligus menyimpan potensi besar bencana. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

26 Maret 2021


BandungBergerak.idIsu terbaru yang cukup membuat gempar warga +62 adalah terobosan kebijakan Presiden mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Mengapa disebut terobosan? Karena kebijakan tersebut lahir tentunya dengan sudah mempertimbangkan kalau warga +62 memiliki ketahanan menghadapi bahan berbahaya dan beracun.

Gimana caranya warga +62 tahan menghadapi bahan berbahaya dan beracun? Nah, itu perkara waktu saja yang akan membuktikan. Tetapi, kalau kita tengok peristiwa-peristiwa ke belakang, memang warga +62 itu tangguhnya luar biasa. Kejadian banjir bertahun-tahun di daerah selain ibu kota Jakarta, misalnya, bisa dihadapi warganya dengan tabah walaupun ngomel-ngomel di media sosial.

Bagaimana warga tahan menghadapi banjir? Mereka membangun rumah berlantai dua sebagai tempat mengungsi kalau terjadi banjir. Kemudian, warga sudah siap siaga apabila hujan turun dengan durasi yang cukup lama. Mereka kuat tidak tidur di malam hari dan bersiap mengungsi.

Tidak hanya tahan banjir, warga +62 lainnya pun tahan terhadap kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Kabut asap ini bikin sesak nafas dan jarak pandang terbatas. Namun berkat ketabahan warga, warga mampu menghadapi kejadian ini bahkan tanpa protes.

Kejadian lainnya adalah banjir bandang yang penyebabnya (katanya) bukan kerusakan lingkungan hidup, melainkan cuaca ekstrem. Bencana itu pun bisa dihadapi warganya tanpa perlu memperdebatkan asal-muasal kejadiannya.

Serangkaian kejadian di atas menunjukkan bahwa warga +62 merupakan warga yang tabah dan tahan terhadap penderitaan. Hal ini pas kalau menggunakan perspektif agama bahwa ‘manusia yang sabar maka ujian kesabarannya pun akan semakin bertambah’. Kebijakan terobosan Presiden mengenai limbah batu bara yang tidak lagi masuk bahan berbahaya dan beracun, dengan demikian, adalah ujian kesabaran berikutnya.

Mengapa ujian kesabaran itu terus datang? Karena warga +62 masih punya cadangan gotong royong. Gotong royong ini yang dimaknai oleh para akademisi ilmu sosial sebagai bentuk modal sosial. Ia pun menjadi inspirasi bagi kebijakan vaksin dengan menghadirkan apa yang disebut vaksinasi gotong royong.

Namun, gotong royong menghadapi penderitaan akibat bencana yang datang terus-menerus akan bertahan hingga kapan?

Gotong royong atau modal sosial termasuk dalam komponen penting ketahanan atau resiliensi bencana. Ketahanan atau resiliensi bencana ini jadi istilah yang nge-hits dalam tatanan global. Kenapa ada ketahanan bencana? Karena kondisi sekarang cukup kompleks dengan munculnya bencana alam akibat perubahan iklim, bencana akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh operasi industri, serta bencana alam yang memang alamiah terjadi.

Tiga jenis bencana ini dapat dihadapi dengan apa yang disebut ketahanan bencana maupun ketahanan iklim. Nah inilah masalahnya: yang harus tahan itu bencana, iklim, atau warganya? Kalau ketahanan bencana dan ketahanan iklim berarti bencana dan iklimnya yang tahan, warganya gimana?

Ada lagi istilah ketahanan pangan. Pangannya tahan bisa produksi di tengah serbuan produk dalam negeri dan impor, tetapi petaninya tahan engga? Petaninya tahan menderita karena susah mendapatkan keuntungan yang tinggi.

Istilah ketahanan ini menjadi dasar bahwa saat ini warga +62 harus tahan menghadapi berbagai ketidakpastian akibat perubahan lingkungan hidup, perubahan iklim, dan perubahan kebijakan. Dengan keterampilan menghadapi berbagai ketidakpastian, kita akan terus terlatih patah hati. Lagu “Terlatih Patah Hati” dari The Rain dan Endang Soekamti itu cocok menjadi penyemangat lara sehingga kita menjadi terus terlatih tahan baper hingga tahan bencana.

Ketahanan bencana yang dimiliki warga +62 ini bisa menjadi terobosan di tengah arus perubahan sosial. Perubahan sosial di dunia ditandai dengan istilah society 4.0 dan society 5.0. Jadi perpaduan kehidupan sosial manusia dan teknologi. Nah, warga +62 yang dalam kehidupan sosialnya terlatih tahan bencana ini menjadi prestasi tersendiri sehingga kita tidak perlu sama atau latah ikut-ikutan society 4.0 atau society 5.0. Wong society 4.0 dan society 5.0 itu mengandalkan ketergantungan manusia pada kecerdasan buatan alias dikit-dikit digital. Warga +62 itu setrong karena ketangguhannya alamiah, tidak palsu, dan tanpa bahan pengawet.

Prestasi warga +62 adalah kemampuan menciptakan ketahanannya sendiri. Ini modal penting di masa-masa peralihan tahan bencana ketika kita dipaksa untuk siap menerima kenyataan dan siap mencari jalan keluar dari kesulitan. Dengan ketahanan yang diciptakan secara mandiri ini kita siap menghadapi potensi bencana ke depan.

Eh tapi, warga +62 pun kesulitan menghadapi pandemi ini. Kesulitan itu di antaranya bertahan hidup dengan kestabilan pendapatan yang tidak menentu, ongkos kesehatan semakin mahal, engga boleh protes di media sosial, dan kondisi ketidakpastian kapan pandemi berakhir.

Pertanyaannya, sampai kapan warga +62 mampu bertahan? Ya sudah, tahan..tahan…preet!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//