• Opini
  • Menarikan Agama di Panggung Milenium Ketiga

Menarikan Agama di Panggung Milenium Ketiga

Kesadaran religius macam apa yang kini dibutuhkan oleh manusia-manusia milenium ketiga, terutama ketika dihadapkan berbagai gempurannya?

Simson Ericson Simanjuntak

Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Umat menerima pemberkatan dalam perayaan Tri Suci Waisak di Vihara Vimala Dharma, Kota Bandung, Rabu (26/6/2021). (Foto: Prima Mulia)

29 Juni 2021


BandungBergerak.id - Perubahan monumental yang terjadi pada peradaban ilmiah dan peradaban digital dalam kehidupan manusia adalah salah satu tanda kehirukpikukan milenium ketiga. Siapa yang menyangka bahwa kini internet menjadi zeitgeist abad ini. Bukan hanya itu, kini dengan mempekerjakan jari, orang dapat melakukan dan mendapatkan segala sesuatu yang dibutuhkan.

Media sosial, gawai dan perangkat pintar termutakhir adalah suatu hal yang dilirik banyak orang.  Akibatnya, karena percepatan dan kecepatan dari semua kerja yang dimampukan itu, lahir kecenderungan bagi manusia untuk enggan bersahabat dengan kesempatan menunggu. Entah hal ini disadari atau tidak, baik secara langsung atau tidak langsung: fenomena umum ini menjadi tragedi besar yang menyilapkan mata banyak orang. Bersamaan dengan tragedi tersebut, tatanan sosial yang menjadi pegangan dan sumber kepastian bagi manusia menjadi tampak tidak berdaya di tengah empasan larinya dunia.

Paling tidak pengalaman ini terjadi pada tubuh agama. Agama sebagai tatanan sosial yang rapi dengan ritualnya yang sakral, mulai menghadapi tantangan. Agama di panggung milenium ketiga seakan terjerat empasan gaya mutakhir kebudayaan yang semakin antroposentris. Setidaknya dinamika utama dalam agama semisal tradisi tentunya berhadapan dengan isu disrupsi, belum lagi aspek motivasi diri dan struktur institutionalnya—iman sebagai perkara batin personal, agama sebagai bentuk institusi— pun ikut terjerat.

Perguncangan dalam dinamika utama dalam tubuhnya mengakibatkan agama kini harus memulihkan dirinya. Setidaknya dengan merefleksikan ulang soal pijakan untuk tetap berada di tengah panggung milenium ketiga. Kiranya pertanyaan yang dapat direnungkan ialah bagaimana menjadi umat beragama, seorang religius, tetap berada dalam kehidupan kiwari? Kesadaran religius macam apa yang kini dibutuhkan oleh manusia-manusia milenium ketiga, terutama ketika dihadapkan berbagai gempurannya?

Pendidikan sebagai Lokomotif

Dua pertanyaan besar yang diajukan tersebut hendak dijawab dalam webinar bertajuk “Experiencing Religion as a Way of Knowing and Being”. Pembahasan dan pengkajian (ulang) agama sebagai sebuah sistem pengetahuan dan cara berada di milenium ketiga adalah tema yang dibahas dan didiskusikan dalam webinar nasional yang diadakan oleh Pusat Studi Filsafat, Budaya, dan Religius Fakultas Filsafat UNPAR (CPCReS). Webinar nasional ini menyajikan tiga subtopik yang dibawakan oleh tiga profesor dari berbagai lingkungan keilmuan dan dihadiri oleh ratusan peserta dari seluruh penjuru Indonesia dan Malaysia. Pembahasan itu dipertajam dalam tiga subtopik antara lain, “Religion in the Midst of Uncertainty” oleh Sumanto Al-Qurtuby, “Religion as a Way of Knowing the Supreme Being” oleh Ignatius Bambang Sugiharto dan “Religion as an Expression of Being Religious” oleh K. H. Abdul Syakur Yasin.

Agama dan ketidakpastian adalah dua entitas yang diperkarakan sudah jauh sebelum milenium ketiga ini ada. Bahkan dapat dikatakan bahwa agama adalah produk dari ketidakpastian itu sendiri. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa memperkarakan agama di tengah ketidakpastian adalah hal yang klasik. Namun hal yang membuat perbincangan agama dan ketidakpastian menjadi sangat relevan dengan zaman ini adalah soal bagaimana agama menanggapi semua fenomena ketidakpastian itu.

Suatu ilustrasi yang ditawarkan oleh Al-Qurtuby memperlihatkan dikotomi antara agama dan teori sekularisasi (dengan sains sebagai subjeknya). Dikatakan bahwa keduanya mempunyai arogansinya masing-masing tatkala menjawab ketidakpastian yang ada dalam kehidupan manusia. Namun suasana persaingan yang terjadi itu nyatanya tidak menjawab ketidakpastian itu. Satu-satunya jawaban memadai yang mampu menjawab itu semua adalah fokus perhatian pada core value yang harus dimiliki kedua kubu, yakni kemanusiaan. Kedua subjek harus berjalan seimbang dan sewajarnya agar tidak terjebak pada titik ekstrem yang dapat menghancurkan peradaban manusia. Wadah implikasi untuk mencapai itu bisa dimulai dan akan berefikasi tinggi jika menaruhnya pada proses pendidikan. Bagi, Al-Qurtuby, pendidikanlah yang menjadi lokomotif peradaban.

Perayaan Tri Hari Suci Waisak di Vihara Vimala Dharma, Bandung, Rabu (26/6/2021), dilakukan dalam disiplin protokol kesehatan di masa pagebluk Covid-19. (Foto: Prima Mulia)
Perayaan Tri Hari Suci Waisak di Vihara Vimala Dharma, Bandung, Rabu (26/6/2021), dilakukan dalam disiplin protokol kesehatan di masa pagebluk Covid-19. (Foto: Prima Mulia)

Reflektif dan Terbuka

Di lain pembahasan, Bambang Sugiharto membahas bagaimana diskursus tentang Tuhan sangat beragam dan antara satu dengan yang lain bisa sangat berbeda. Merujuk pada pemikiran Wittgenstein, makna Tuhan terikat pada makna komunitas penggunanya. Jika demikian adanya maka adalah suatu cara berpikir yang semerta-merta jika sekelompok orang, agama, atau kelompok lain memonopoli kebenaran tentang Tuhan untuk menumpas setiap orang yang berbeda pendapat dengannya.

Bila cara berpikir yang demikian dimiliki oleh agama pada milenium ketiga maka dapat dipastikan secara perlahan agama itu akan ditinggalkan oleh pengikutnya dan kehilangan kewibawaanya. Bukan hanya itu pula agama yang demikian adanya dirasa tidak mampu bertahan dalam menjawab tantangan atau fenomena yang merongrong dari luar atau pun dalam agama itu sendiri seperti semakin kritisnya kaum beriman. Fundamentalisme, visi spiritual baru bahkan ateisme. Yang ada ialah produksi ekses-ekses yang meruntuhkan agama sendiri.

Maka yang diperlukan dalam konteks abad XXI ini adalah visi dan gambaran agama yang reflektif dan terbuka pada berbagai dinamika pergulatan batin manusia dalam memaknai hidupnya. Selain itu adalah suatu hal yang diperlukan untuk menggeserkan pusat gravitasi dari kebenaran menuju keindahan bahkan dari ‘narrow religion’ ke ‘deep religion’ dan penekanan dari dogmatis epistemologis ke axiologis estetis.

Perilaku Hidup

Topik pembahasan yang terakhir ialah suatu penguatan yang sebenarnya sering dilupakan oleh manusia, yakni bahwa surga adalah hak prerogatif Tuhan. Buya Syakur menandaskan bahwa variasi ketuhanan setiap orang tentunya berbeda-beda maka yang diperlukan ialah manifestasi keimanan atau ketuhanannya. Itulah mengapa kini dibutuhkan cara bagaimana setiap orang beragama mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian hal tesebut dapat menjadi suatu bentuk pembuktian keberadaan Tuhan. Bukan dengan teori-teorinya, namun dengan perilaku hidup sehari-hari yang mampu membangun relasi antara Tuhan dan sesamanya. Bila setiap orang beragama mampu melakukannya maka itulah tandanya bahwa dirinya adalaha manusia yang bertaqwa.

Pada akhir pembahasannya, Buya Syakur mengingatkan kembali bahwa pendidikan (agama) harus direformulasikan agar tindakan-tindakan tidak terpuji atas nama keagamaan tidak terulang kembali dalam sejarah kemanusiaan.

Paparan ketiga pemateri dalam webinar nasional oleh Fakultas Filsafat Unpar menegaskan pentingnya perhatian komunitas keilmuan untuk menggairahkan dan menghayati religiusitas manusia supaya mencapai kesejahteraan umum. Juga untuk merawat harapan agar agama tetap konsiten menampilkan wajah Tuhan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//