Bukan Hanya Jalan Layang, tapi Juga Layanan Transportasi Publik
Pembangunan jalan layang kurang menyentuh akar persoalan kemacetan di Kota Bandung. Yang lebih dibutuhkan adalah keseriusan membenahi layanan transportasi publik.
Penulis Emi La Palau29 Maret 2021
BandungBergerak.id - Kemacetan lalu lintas masih menjadi masalah krusial yang dihadapi Kota Bandung. Kegemaran membangun jalan layang diyakini tidak efektif tanpa keseriusan mengembangkan layanan transportasi publik.
“Sejak saya mendapat amanah pindah dari legislatif ke eksekutif, dari sekian problematika persoalan yang dihadapi oleh warga Kota Bandung, sesungguhnya salah satunya yaitu transportasi dan kemacetan,” ucap Wali Kota Bandung Oded M. Daniel, dikutip dari siaran pers baru-baru ini.
Kajian terbaru Bank Pembangunan Asia (ADB), yang tertuang dalam dokumen Asian Development Outlook 2019, yang terbit akhir September 2019 lalu menyebut Kota Bandung lebih macet dibandingkan Jakarta. Manila menjadi kota paling macet. Bandung menempati posisi ke-14, sementara Jakarta, yang diyakini banyak orang sebagai kota paling macet se-Indonesia, berada di posisi ke-17.
Mang Oded, demikian sang wali kota biasa disapa, menyebut penyebab kemacetan di Kota Bandung tidak lain karena volume kendaraan yang terus meningkat, sementara infrastruktur atau ruas jalan tidak bertambah. Pembangunan jalan-jalan layang lantas dijadikan tumpuan harapan. Selama 2,5 tahun kepemimpinannya, sudah dua infrastruktur jalan layang dibangun. Jumlahnya disebut akan terus bertambah.
Kedua jalan layang yang dibanggakan Pemkot Bandung tersebut adalah jalan layang di Jalan Terusan Jakarta - Jalan Supratman dan jalan layang di Jalan Laswi yang melintasi persimpangan Jalan Gatot Subroto. Satu lagi jalan layang sedang digarap di Jalan Soekarno Hatta, melintasi simpang Cibaduyut dan simpang Kopo.
Pakar Tranportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono mengatakan pembangunan jalan layang hanya menyelesaikan kemacetan yang sifatnya lokal saja. Ia tidak menyentuh akar permasalahan kemacetan lalu lintas Kota Kembang. Akibatnya, masalah kemacetan akan terus muncul dan dikeluhkan warga.
Sony mencontohkan Jalan Layang Pelangi (Jalan Jakarta-Antapani-Kiaracondong) yang berkontribusi menyelesaiakn kemacetan di sekitar Antapani saja. Juga jalan layang di Jalan Gatot Subroto yang hanya menyelesaikan kemacatan di persimpangan Jalan Gatot Subroto. Kemacetannya bergeser dari titik lama ke titik baru.
“Jadi kalau kita berbicara bahwa jalan layang adalah solusi kemacetan, mungkin saya katakan kurang tepat juga itu,” kata Sony kepada BandungBergerak.id melalui sambungan telepon, Senin (29/3/2021).
Kendaraan Pribadi Melonjak, Kendaraan Umum Mandek
Data menunjukkan lambatnya pengembangan transportasi publik di Bandung. Salah satu indikatornya adalah ketimpangan antara laju penambahan jumlah kendaraan umum dan laju penambahan jumlah kendaraan pribadi.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung mencatat jumlah kendaraan umum pada 2005 sebanyak 5.016 unit, sementara jumlah kendaraan bukan umum, yang terdiri dari kendaraan pribadi dan dinas, sebanyak 255.492 unit.
Satu dasawarsa berselang, atau tahun 2015, jumlah kendaraan umum tercatat sebanyak 14.815 unit, sementara jumlah kendaraan bukan umum sudah meroket ke angka 1.062.207 unit.
Pada 2018, terakhir kali BPS mencatat data ini, diketahui jumlah kendaraan umum justru mengalami penurunan, yakni menjadi 14.178 unit. Sementara itu, jumlah kendaraan bukan umum terus melonjak ke angka 1.724.494 unit.
Lambannya pengembangan layanan transportasi publik juga terlihat dari laju penambahan panjang jalan di Kota Bandung yang jauh dari signifikan. Pada tahun 2000, panjang jalan diketahui 1.103,71 kilometer dengan 149,42 kilometer di antaranya dalam kondisi rusak. Pada 2018, panjang jalan ada di angka 1.172,78 kilometer dengan 81,82 kilometer di antaranya dalam kondisi rusak. Artinya, dalam kurun 18 tahun panjang jalan di Kota Bandung hanya bertambah kurang dari 70 kilometer.
Masih ada banyak data lain yang menjadi indikator lambatnya program pengembangan layanan transportasi publik. Pengelolaan layanan Trans Metro Bandung, misalnya, masih jauh dari optimal. Sejak koridor pertama yang menghubungkan Cibiru dan Cibeureum diresmikan pada 22 Desember 2008 silam, hingga saat ini baru lima koridor yang dioperasikan. Itu pun tidak semua koridor berjalan optimal.
Program infrastruktur transportasi publik lain yang kini tidak jelas kelanjutannya adalah pembangunan light rail transit (LRT). Sudah melewati sekian banyak tahap pembangunan dalam beberapa tahun terakhir, layanan ini tak kunjung bisa dinikmati warga.
Konsisten
Sony Sulaksono menyatakan, masalah umum yang dihadapi transportasi umum di Bandung ialah minimnya jumlah penumpang. Sebagai contoh, bus TMB di 5 koridor yang belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Fasilitas halte-nya pun masih kurang memadai.
Pengelolaan angkutan kota (angkot) sama saja. Pengaturan jalurnya kurang efisien sehingga banyak orang malas naik angkot. Mereka harus sering berganti jurusan.
“Kita coba dorong bagaimana orang mau menggunakan angkot di Kota Bandung. Itu saja diperbaiki. Saya tidak tahu kenapa Kota Bandung begitu sulit untuk menata itu,” ungkap Sony.
Upaya mengatasi kemacetan lalu lintas dengan pendekatan transportasi publik, diakui Sony, memerlukan langkah-langkah konsisten dan terintegrasi dengan perbaikan sistem pejalan kaki. Masalah ini tidak bisa selesai dalam waktu satu atau dua tahun.
Meski demikian, biaya perbaikan sarana transportasi publik dinilai lebih murah dibandingkan dengan proyek membangun jalan layang yang minimal membutuhkan dana Rp 3-4 miliar per satu jalan layang. Perbaikan jalur angkot dan fasilitas jalan kaki ditaksir tidak akan sampai Rp 1 miliar, termasuk dengan biaya edukasi kepada masyarakat.
“Saya kira masyarakat di Bandung bisa dilibatkan untuk kegiatan-kegiatan yang menggunakan sepeda dan angkutan umum," ujar Sony Sulaksono. "Itu yang sebenarya harus didahulukan, diprioritaskan."