Darah Tumpah di Lengkong Wetan (1)
Pasukan Indonesia mendahului Belanda melucuti senjata Jepang di Lengkong Wetan, Tangerang. Sebuah letusan senapan mengubah perundingan jadi pertempuran tak seimbang.
Penulis Zaky Yamani30 Maret 2021
BandungBergerak.id - Pada 24 Januari 1946, pasukan Indonesia dari Resimen IV Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Tangerang yang dipimpin Letnan Kolonel Singgih menerima informasi intelijen: pasukan Belanda yang sudah menduduki Parung, Bogor, akan bergerak ke utara untuk menduduki wilayah Lengkong, Tangerang. Wilayah Lengkong terletak di tepi Sungai Cisadane, hanya dua puluh kilometer dari Kota Tangerang. Di wilayah itu, tepatnya di Desa Lengkong Wetan, terdapat markas tentara Jepang, berkekuatan satu kompi.
Berdasarkan dokumen “Kisah Peristiwa Pertempuran Lengkong 25 Januari 1946” yang disusun R. H. A. Saleh (1986), tentara Jepang yang berada di sana masih dalam kondisi tegang karena baru kembali dari Perang Pasifik, salah satu palagan paling brutal selama Perang Dunia Kedua. Tentu saja, di markas itu juga terdapat persenjataan yang lengkap, mulai dari pistol, senapan, senapan mesin, sampai mortir.
Jika benar pasukan Belanda bergerak untuk menguasai Lengkong, dan markas Jepang itu jatuh ke tangan Belanda, posisi tentara Indonesia sangat terancam. Jalan ke Kota Tangerang akan terbuka, dan kedudukan Resimen IV serta Akademi Militer Tangerang bisa mudah digempur.
Melucuti Senjata
Markas tentara Jepang di Lengkong sudah lama dipandang harus segera direbut oleh tentara Indonesia, selain untuk menjaga posisi, juga untuk mendapatkan senjata yang ada di sana. Sebulan sebelum ada info tentang pergerakan pasukan Belanda, Letnan Kolonel Singgih, Mayor Daan Mogot, dan Kapten Endjon sudah beberapa kali menempuh jalan damai agar pasukannya bisa melucuti pasukan Jepang. Apalagi mereka tahu, dalam perjanjian dengan Sekutu, tentara Indonesia menjadi penguasa tempat di mana kamp militer Jepang berada, dan tentara Jepang harus tunduk pada perintah komandan tentara Indonesia.
Namun, pendekatan yang dilakukan tiga perwira Indonesia itu tidak pernah berhasil. Permintaan mereka kepada komandan markas Jepang di Lengkong, Kapten Abe, agar persenjataan Jepang diserahkan kepada Resimen IV TKR selalu ditolak. Kapten Abe beralasan, senjata yang ada di markasnya sudah didaftarkan kepada Sekutu, dan dia mengaku belum mengetahui ada perjanjian antara Indonesia, Sekutu, dan Jepang pada November 1945 tentang proses pelucutan senjata Jepang.
Mandeknya pendekatan damai itu mendorong Kepala Staf Resimen IV TKR, Letnan Kolonel Daan Jahja, untuk menghubungi Mayor Oetarjo di Kantor Penghubung TKR di Jakarta pada 23 Januari 1945. Dia memberitahukan kesulitan resimennya dalam melucuti pasukan Jepang di Lengkong. Mayor Oetarjo pun segera menemui Letnan Kolonel Miyamoto, pejabat militer Jepang yang bertanggung jawab atas keadaan tentara Jepang di Indonesia. Namun, Miyamoto saat itu sedang ada di Bandung, dan asistennya menyarankan agar Mayor Oetarjo datang kembali dalam dua atau tiga hari lagi.
Jika tidak ada laporan intelijen tentang pergerakan pasukan Belanda ke Lengkong, mungkin Resimen IV tidak perlu tergesa-gesa melucuti senjata Jepang. Namun dengan adanya informasi itu, komandan Resimen IV harus segera mengambil keputusan. Akhirnya diputuskan, untuk mengamankan posisi Resimen IV dan Akademi Militer Tangerang, pasukan Indonesia harus mendahului Belanda melucuti senjata Jepang di Lengkong.
Letnan Kolonel Singgih memanggil Mayor Daan Mogot dan memerintahkan agar siswa-siswa Akademi Militer Tangerang dikerahkan untuk melucuti senjata Jepang. Rencana pun disusun. Agar pelucutan senjata tidak menimbulkan keributan, pelucutan itu akan dilakukan dengan tipu muslihat.
Kemudian dipanggil beberapa mantan tentara Inggris muslim berkebangsaan India yang membelot ke pihak Indonesia. Mereka diminta bergabung dengan pasukan Daan Mogot dan berpura-pura sebagai perwakilan Sekutu yang mendampingi tentara Indonesia untuk melucuti senjata Jepang sehingga terkesan tindakan tentara Indonesia itu atas perintah Sekutu. Para pembelot Inggris itu setuju untuk bergabung.
Persoalannya, saat itu hanya ada sekitar tiga puluh siswa Akademi Militer Tangerang yang siap dikerahkan, ditambah beberapa instruktur. Karena sebagian siswa sedang menjalankan misi kemanusiaan ke Bandung, sebagian lagi sedang praktik dinas baik di kampus maupun di markas Resimen IV, dan sebagian sedang mengamankan situasi di sejumlah desa di wilayah Mauk, terkait operasi pembersihan gerombolan komunis Dewan Sovyet Tangerang oleh pasukan Resimen IV.
Perundingan
Mayor Daan Mogot yang akan memimpin sendiri pasukan Indonesia. Karena dia mengenal baik Kapten Abe, negosiasi diharapkan berjalan mulus. Pada 25 Januari 1946, pukul 14.00, setelah melaporkan kesiapan kepada Letnan Kolonel Singgih, Mayor Daan Mogot berangkat bersama tiga puluh siswa Akademi Militer Tangerang, dan beberapa mantan tentara Inggris. Pasukan diangkut tiga truk, sementara Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dari Kantor Penghubung TKR di Jakarta, serta Letnan I Soebianto dan Letnan I Soetopo dari Polisi Tentara Resimen IV menggunakan jip.
Para pembelot Inggris mengenakan seragam tentara Inggris untuk mengelabui Jepang, serta membawa senjata standar mereka, Lee Enfield No. 4 Mk I, dengan magasin berisi lima peluru, yang berfungsi dengan baik.
Tetapi para siswa Akademi Militer Tangerang masing-masing hanya menenteng senapan Karaben Mannlicher Carcano model 38, buatan Italia yang tidak berfungsi dengan baik, dan tidak dilengkapi sangkur. Seharusnya senapan itu memuat enam peluru kaliber 6,5 mm di dalam klip. Tetapi karena tentara Indonesia hanya memiliki peluru kaliber 7,7 mm, maka peluru-peluru itu dibubut sampai tipis agar bisa masuk ke laras, dan harus dimasukkan satu per satu ke kamar peluru untuk bisa ditembakkan. Walau Karaben Mannlicher Carcano adalah senjata organik Akademi Militer Tangerang, tetapi para siswa sama sekali tidak pernah menembakkan senapan itu.
Selain beberapa mantan tentara Inggris, di dalam pasukan itu mungkin hanya Mayor Daan Mogot yang pernah menggunakan senjata. Dia tidak membawa senapan, dan hanya membekali diri dengan pistol Nambu Taisho tipe 14 kaliber 8 mm berisi delapan peluru. Pistol itu pistol standar tentara Jepang, Mayor Daan Mogot mendapatkannya sebagai hadiah dari seorang perwira Jepang setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Jarak dua puluh kilometer ditempuh dalam dua jam, karena jalan yang rusak dan dipenuhi lubang jebakan tank. Beberapa puluh meter di luar gerbang markas Jepang, pasukan berhenti, kemudian berjalan kaki dalam barisan, didahului Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan beberapa mantan serdadu Inggris. Di pos penjagaan mereka dicegat pengawal Jepang, tetapi setelah melakukan pembicaraan para pengawal itu menyerahkan senjatanya dengan sukarela.
Lalu Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, mantan serdadu Inggris, dan siswa Alex Soetianto yang mahir berbahasa Jepang masuk ke markas, langsung menuju ruang kerja komandan Jepang, Kapten Abe. Pasukan Indonesia ditinggal di luar markas dengan pengawasan Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo.
Saat Mayor Daan Mogot berunding dengan Kapten Abe, sebagian siswa Akademi Militer Tangerang masuk ke markas dan disebarkan untuk melucuti serdadu Jepang yang sedang beristirahat di dalam barak-barak. Proses pelucutan itu berlangsung lancar, kecuali tiga tentara Jepang yang menolak memberikan pistol mitraliurnya saat akan dilucuti siswa Bratawinata, dengan alasan menunggu perintah dari atasan. Karena persoalan itu, Letnan Soebianto menugaskan seorang mantan tentara Inggris untuk bernegosiasi dengan tentara Jepang itu. Akhirnya mantan tentara Inggris itu berhasil meyakinkan tiga tentara Jepang untuk menyerahkan senjatanya.
Senjata-senjata dari tentara Jepang dikumpulkan di lapangan, begitu juga sejumlah serdadu Jepang yang sudah dilucuti. Tak kurang dari empat puluh serdadu Jepang yang dikumpulkan di lapangan itu. Lalu Mayor Daan Mogot keluar dari ruang kerja Kapten Abe, dan memerintahkan para siswa membawa truk ke dalam markas, untuk mengangkut senjata rampasan, kemudian dia masuk lagi untuk melanjutkan perundingan.
Letusan Senapan
Sebelum truk dibawa masuk, beberapa siswa mengambil kesempatan untuk menukar senapan yang mereka bawa dengan senapan Jepang.
Tiba-tiba...Dor!
Situasi tenang berubah menjadi kepanikan ketika terdengar letusan senapan. Entah siapa dan dari pihak mana yang menembakkan senjata itu, yang pasti dengan panik seorang tentara Jepang berlari keluar ruang perundingan dan berteriak kepada kawan-kawannya yang berada di lapangan.
Lalu terdengar lagi tembakan, dan lagi, dan lagi, dengan gencar, diarahkan kepada tentara Indonesia yang sama sekali tidak bersiap di tengah lapangan. Pekikan perang diteriakkan para tentara Jepang, situasi tak terkendali, para tentara dari dua kubu berlarian mencari perlindungan.
Mayor Daan Mogot lari keluar ruangan perundingan, mencoba menghentikan tembak-menembak. Namun perintahnya tak dipatuhi tentara Jepang, yang terus menembaki tentara Indonesia.
Tanpa pengalaman tempur yang memadai, dengan senapan yang harus selalu diisi kembali setelah satu tembakan, membuat tentara Indonesia terjepit serangan membabi buta tentara Jepang. Apalagi tentara Jepang yang ikut dalam pertempuran itu semakin banyak, berdatangan dari arah barat laut dan selatan, merampas kembali senjata mereka yang telah dikumpulkan di lapangan. Mereka mengepung posisi tentara Indonesia, menghujaninya dengan peluru dan lemparan granat, lalu merangsek ke dalam pertarungan jarak dekat dengan menggunakan sangkur.
Mayor Daan Mogot yang sudah berada di tengah anak buahnya, memerintahkan seorang siswa untuk lari meloloskan diri dan melaporkan kejadian itu kepada Resimen IV di Tangerang. Ketika siswa itu berlari, dia menengok ke belakang. Dilihatnya Mayor Daan Mogot disergap beberapa tentara Jepang, lalu terdengar beberapa kali letusan pistol.
(bersambung)