Pandemi COVID-19, Jumlah Penganggur Usia Muda di Bandung Meningkat
Kota Bandung banyak dihuni angkatan kerja usia muda atau produktif . Pandemi Covid-19 membuat tidak sedikit dari mereka menganggur dan rentan terkena PHK.
Penulis Emi La Palau30 Maret 2021
BandungBergerak.id - Angka pengangguran di Kota Bandung, yang memiliki meningkat signifikan selama setahun pandemi COVID-19. Lapangan kerja yang berkurang memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan. Jumlah penganggur muda di Bandung pun bertambah.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung mencatat angka pengangguran meningkat dari 8,16 persen atau sebanyak 105.067 orang pada 2019 menjadi 11,19 persen atau 147.081 orang pada 2020.
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bandung, Arief Syaifudin mengatakan, naiknya angka pengangguran di Kota Bandung tak lepas dari banyaknya jumlah penduduk usia produktif, yakni sekitar 77 persen dari total penduduk sebanyak 2,6 juta jiwa.
“(Jumlah ini) Tentunya tidak berbanding dengan lowongan kerja yang ada,” ungkap Arief Syaifudin, di Taman Dewi Sartika, Balai Kota Bandung, Selasa (30/3/2021).
BPS mencatat, jumlah penduduk usia produktif atau mereka yang masuk kategori penduduk usia kerja pada tahun 2020 sebanya 2.032.099 jiwa. Jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 1.167.849 jiwa. Terjadi penurunan dibandingkan jumlah warga yang bekerja pada 2019 yang tercatat sebanyak 1.183.193 jiwa.
Bandung merupakan kota urban yang menjadi tujuan angkatan pencari kerja dari berbagai daerah di luar Bandung. Hal ini membuat warga Bandung harus bersaing dengan sumber daya manusia (SDM) pencari kerja dari luar Bandung.
Hasil survei Disnaker Kota Bandung pada sebuah perusahaan menunjukkan jumlah pekerja yang berasal dari Kota Bandung sebesar 65 persen, sementara35 persen lainnya datang dari luar Bandung. Ditargetkan, 80 persen pekerjaan di tiap perusahaan di Kota Bandung bisa diisi warga Kota Bandung. Dengan catatan, SDM asal Bandung memiliki daya saing tinggi.
Arief mengklaim, pihaknya telah menjalankan program peningkatan daya saing, di antaranya, lewat pelatihan kerja berbasis komptensi, pelatihan berbasis masyarakat atau wirausaha, dan juga pelatihan melalui pemagangan dengan perusahaan di dalam dan luar negeri.
“Kita pernah melakukakan pelatihan untuk para calon tenaga kerja yang akan diberangkatkan ke Jepang, tapi itu yang lolos sangat sedikit, sehingga ini memang sangat disayangkan,” imbuhnya.
Pemkot Bandung, lanjut dia, juga sudah berupaya menyediakan lapangan pekerjaan di masa pandemi. Salah satunya dengan membuka bursa kerja virtual dengan menggandeng beberapa perusahaan. Tahun lalu Disnaker Kota Bandung membuka 9.900 lowongan kerja. Namun lagi-lagi karena daya saing, hanya 2.701 lowongan yang terisi.
Rencananya, Juni dan Oktober 2021 Pemkot Bandung akan kembali membuka bursa kerja virtual. Disnaker juga menggelar pelatihan kerja untuk meningkatkan daya saing SDM usia produktif Kota Bandung.
Pekerja Usia Muda Rentan PHK
Selama pandemi COVID-19, terdapat sektor-sektor ekonomi yang berpotensi menang. Namun sebaliknya, ada yang berpotensi kalah. Layanan kesehatan, pengolahan dan perdagangan makanan, e-commerce, dan teknologi informasi dan komunikasi berpotensi menjadi pemenang. Sedangkan pariwisata, transportasi, dan konstruksi menjadi sektor yang berpotensi kalah.
Dalam jurnal “Dampak Pandemi Covid-19 terhadap PHK dan Pendapatan Pekerja di Indonesia” yang ditulis Ruth Meilianna Ngadi dan Yanti Astrelina Purba, disebutkan sektor-sektor zona merah di Indonesia yang mengalami PHK cukup tinggi, yaitu sektor konstruksi (29,3 persen) dan sektor perdagangan, rumah makan, serta jasa akomodasi (28,9 persen).
Penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu berlangsung pada bulan-bulan awal pandemi COVID-19 di Indonesia. Saat itu pemerintah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Hasil penelitian mengungkap kejadian PHK paling parah terjadi di sektor konstruksi karena seluruh korban PHK tidak mendapatkan pesangon. Keadaan hampir sama terjadi pada sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi di mana 26,1 persen pekerja yang terkena PHK tidak mendapatkan pesangon.
Korban PHK yang tidak mendapat pesangon umumnya berstatus sebagai pegawai tidak tetap atau karyawan kontrak. Banyak tempat rekreasi yang tutup dan kegiatan kontruksi bangunan yang terhenti sehingga karyawannya berhenti bekerja tanpa mendapatkan pesangon.
Peneliti mencatat angka PHK di Jawa Barat sebesar 15,3 persen. Angka ini masih di bawah Bali – Nusa Tenggara yang memiliki angka PHK paling tinggi (39,9 persen), dan Banten (24,8 persen). Sebagai kesimpulan, diketahui pandemi COVID-19 menyebabkan 15,6 persen pekerja di Indonesia terkena PHK dengan 13,8 persen di antaranya tidak mendapatkan pesangon. Pekerja ter-PHK mayoritas dari kalangan pekerja usia muda atau produktif, yakni 15-24 tahun.
Pemerintah diminta memperhatikan sektor yang terdampak pandemi paling parah, yakni konstruksi (29,3 persen), sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa (28,9 persen), serta sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi (26,4 persen). Pemerintah juga harus melakukan pengawasan ketat terhadap kasus PHK di masing-masing wilayah. Gubernur sebagai pemegang wilayah diminta melaksanakan pelindungan pengupahan bagi pekerja/buruh serta kelangsungan usahanya.
Para peneliti LIPI menyatakan, pandemi COVID-19 tidak bisa dijadikan pembenaran bagi perusahaan untuk membuat kebijakan yang secara normatif melanggar hak asasi pekerja untuk mendapatkan pesangon. PHK tanpa pesangon merupakan salah satu bentuk pelanggaran Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Selain itu, peneliti juga menyarankan agar masyarakat mencari strategi baru dalam mendapat penghasilan dan menciptakan peluang kerja baru dengan memanfaatkan teknologi sambil tetap memperhatikan protokol kesehatan.