Memaknai yang Berharga sebelum Semua Hilang
Hal sekecil apa pun akan tampak berharga di mata orang yang tepat, dan sebaliknya, hal sebesar apapun tidak akan tampak bermakna di mata orang yang salah.
Bernadet Ansela Millenda
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan Bandung
19 Juli 2021
BandungBergerak.id - Untuk tugas kuliah membaca buku dan menuliskan pengalamannya, saya meminta bantuan ayah. Ide besarnya: setelah tugas saya tuntas, ayah bisa gantian membacanya. Ada tiga judul buku, dan pilihan ayah jatuh pada Tanah Air yang Hilang (2017) karya Martin Aleida.
Setelah keputusan ini disepakati, saya langsung mencari tahu informasi tentang buku ini di internet dan toko daring. Dari judulnya, mulanya saya mengira buku ini bercerita tentang orang-orang yang pindah ke negara lain karena merasa tidak nyaman berada di Indonesia. Namun ternyata saya salah. Bagi tokoh-tokoh di buku ini, Tanah Air hilang bukan karena rasa cinta mereka terhadap Indonesia lenyap, tapi karena terpaksa.
Martin Aleida, seorang sastrawan, sangat piawai menuliskan kisah. Ada 19 tokoh yang ia temui langsung di beberapa negara di Eropa, yang ia dengarkan ceritanya. Mereka yang masih sangat mencintai Tanah Air mereka. Mereka yang senantiasa menyimpan keinginan pulang ke kampung halamannya sendiri, meski sulit diwujudkan.
Rindu Pulang, Membangun Tanah Air
Tanah Air yang Hilang terdiri dari 18 sub judul yang mengisahkan pengalaman dan pemikiran setiap tokohnya satu per satu. Mulai dari kenapa mereka harus meninggalkan Indonesia, siapa mereka dan keluarganya, bagaimana cara mereka menjalani kehidupan di negara orang, serta bagaimana cara orang-orang memandang mereka. Sebagian narasumber menceritakan bagaimana cara mereka akhirnya bisa menginjakkan kembali kakinya di Indonesia.
Kebanyakan tokoh di buku ini, para eksil itu, berasal dari Pulau Jawa. Ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Barat, dan Bali. Namun sekarang mereka semua sudah tinggal menyebar di berbagai penjuru Eropa, dan sebagian kecil di Asia. Ada yang di Paris, Berlin, Amsterdam, dan Praha. Untuk menyebut beberapa nama, dalam buku ini termuat kisah Ersa yang menjadi orang Prancis, Waruno Mahdi yang tinggal di Berlin, Wenni Santoso di Amsterdam.
Yang menautkan nasib ke-19 tokoh dalam buku ini adalah gonjang-ganjing politik Indonesia pascaperistiwa September 1965. Mereka yang diutus pemerintah era Sukarno untuk bersekolah ke berbagai negara di dunia, terjebak tak bisa pulang karena kekhawatiran bakal diseret ke dalam masalah.
Di Eropa, orang-orang terpilih itu bersembunyi untuk menyelamatkan nyawa dan memulai hidup baru. Ada yang sendiri, ada yang bersama istri dan keluarganya. Ada yang hidup nyaman dan bahagia di sana, ada juga yang kesulitan beradaptasi dan harus hidup dengan menyimpan kenangan tentang keluarganya di Indonesia. Ke-19 orang yang diwawancarai Martin Aleida memiliki cerita yang berbeda-beda, membuat buku setebal 32 halaman ini tidak membosankan dibaca.
Semua hal dalam hidup memiliki sisi baik dan buruk, tergantung bagaimana cara orang tersebut menyikapinya. Tidak sedikit dari orang-orang Indonesia di Eropa itu ingin pulang dan berkontribusi pada pembangunan Indonesia, karena tujuan mereka adalah Indonesia, bukan negara lain. Namun terlalu banyak kejadian yang menghalangi jalan pulang, sehingga mereka harus menetap, berkarier, dan bahkan berkeluarga di negeri orang.
“Tujuan kami Indonesia, Bung! Bukan Belanda! Pulang untuk membangun Indonesia. Kami akhirnya tinggal di sini karena situasi yang tidak memungkinkan kami pulang pada waktu itu,” kata Chalik Hamid, penyair yang dikirim belajar ke Albania.
Yang Berharga
Dalam buku Tanah Air yang Hilang, ada satu kisah yang membuat saya sangat tersentuh. Seorang tokoh eksil yang terpaksa tinggal di negeri orang bersama dengan keluarganya mengalami kesulitan luar biasa untuk beradaptasi dan bersosialisasi di tempat tinggal baru. Beberapa tetangga bahkan memandang mereka sebelah mata karena mereka orang Asia, bukan Eropa.
Namun sang ayah terus meyakinkan putrinya untuk tetap percaya diri dan fokus belajar. Cita-cita terbesar mereka adalah kembali pulang ke “rumah”. Sampai suatu hari, saat sang anak berkesempatan mengunjungi Bali, ayah dan ibu dari keluarga itu sudah meninggal. Mereka sudah tidak bisa lagi merasakan indahnya kembali ke rumah.
Selain kisah keluarga tersebut, ada juga tokoh lain yang berhasil mengunjungi Indonesia. Namun, karena tidak terbiasa dengan makanan, budaya, dan iklim di Indonesiaia malahan harus dirawat dan beristirahat karena gangguan pencernaan.
Selain berisikan banyak kisah menarik, Tanah Air yang Hilang juga memberikan banyak nilai kehidupan. Bagi saya pribadi, buku ini mengajarkan untuk tidak berhenti berjuang dan berharap, karena segelap apapun hidup yang kita jalani, pasti akan ada cahaya yang datang dari sisi lain. Demikian juga dalam memaknai Tanah Air atau “rumah”, kita bisa melihatnya dari berbagai sudut pandang.
Martin Aleida, lewat serangkaian kisah di Tanah Air yang Hilang, mengingatkan kita bahwa segala hal tidak akan tampak berharga sebelum kita kehilangan hal tersebut. Hal sekecil apa pun akan tampak berharga di mata orang yang tepat, dan sebaliknya, hal sebesar apapun tidak akan tampak bermakna di mata orang yang salah. Yang kemudian bisa kita lakukan adalah menghargai segala hal dalam hidup ini sebelum semuanya hilang.
Saya merasa sangat beruntung memperoleh kesempatan membaca buku ini setelah sebelumnya melulu membaca novel romance dan horror. Saya mendapati kisah-kisah menarik yang dikemas secara memikat. Lengkap dengan sisi sedih dan senangnya. Bukan hanya kisah tentang satu orang, tapi juga dinamika sebuah keluarga.
Setelah saya, giliran ayah yang akan membacanya.