Mengantisipasi Serangan Udara Jepang di Bandung
Menjelang invasi Jepang, Kota Bandung bersiap menghadapi serangan udara. Ada panduan bagi warga tentang cara bersembunyi di bungker-bungker perlindungan.
M. Ryzki Wiryawan
Dosen Ma’soem University dan pegiat Sahabat Heritage Indonesia.
21 Juli 2021
BandungBergerak.id - Sebuah paket berisi buku antik baru saja saya terima dari penjual buku langganan di Yogyakarta. Buku yang sebelumnya diiklankan di Facebook ini menarik perhatian saya karena beberapa hal. Pertama, buku yang berjudul Raksa Djomantara – Luchtbescherming ini merekam suasana Bandung menjelang serangan Jepang yang jarang ditemukan. Kedua, buku yang ditulis menggunakan bahasa Sunda ini mencantumkan nama-nama yang familiar: dikumpulkan oleh Saleh Soeriawinata, disunting oleh Bakrie Soeraatmadja, dan diberi kata pengantar oleh Bupati Bandung R. A. A. Wiranatakusumah. Ketiga, yang tidak kalah istimewa, terdapat tanda tangan R. A. A. Wiranatakusumah pada halaman judul buku ini.
Dari ketiga tokoh yang disebutkan di atas, saya rasa tidak perlu lagi menjelaskan sosok R. A. A. Wiranatakusumah karena sudah banyak informasi mengenai Bupati Bandung itu. Sebaliknya, saya hanya menemukan sedikit informasi mengenai Saleh Soeriawinata. Buku Gedenkboek M.O.S.V.I.A. 1879-1929 mencatat nama Raden Saleh Soeriawinata lulus dari M.O.S.V.I.A. (Sekolah untuk Pangreh Praja) pada 8 Juni 1918. Selanjutnya, koran De Preanger Bode edisi 18 April 1921 melaporkan mutasi Saleh yang sebelumnya menjabat mantri kabupaten di Cianjur menjadi pengawas (controleur) Bandung.
Pada 1927, Saleh bersama dengan Raden Ajoe Sangkanningrat, R. Kosasih Soerakoesoemah, R. Memed Sastrahadiprawira, dan R. King Soelaeman Natawijogja terlibat dalam penulisan buku Lets Over Hygiëne In Verband Met Adat, Geloof En Bijgeloof Van Het Soendaneesche Volk (Pelajaran tentang Kebersihan terkait dengan Adat, Iman, dan Superstitusi Orang Sunda). Selanjutnya pada 1928, Saleh tercatat sebagai anggota Regentschapsraad (Dewan Kabupaten) Bandung dan setahun kemudian menjadi ajun-sekretaris pada lembaga tersebut.
Pada 1929, Saleh tercatat sebagai anggota Vereeniging voor Studie van Koloniaal Maatschappelijke Vraagstukken (Perkumpulan untuk Studi Sosial Kolonial). Selanjutnya menurut Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers tahun 1937 disebutkan bahwa Saleh sebagai pensiunan sekretaris dewan Kabupaten Bandung tengah memulai karier di dunia jurnalistik. Kemungkinan saat inilah ia berkenalan dengan Bakrie Soeraatmadja.
Informasi mengenai Bakrie Soeraatmadja cukup banyak karena ia adalah salah seorang tokoh penting dalam sejarah pers Indonesia. Menurut Soebagijo I.N. dalam buku Sebelas Perintis Pers di Indonesia (1976), Bakrie lahir tanggal 26 Juni 1895 dan wafat tanggal 1 Juni 1971 di kediamannya Jalan Pajajaran No. 100 Bandung. Selain dikenal sebagai Mantan Ketua Redaksi Sipatahoenan, Bakrie juga pernah terlibat dalam penerbitan surat kabar Perbintjangan, Berita Periangan, dan lainnya, meski tidak berlangsung lama.
Bakrie Soeraatmadja adalah tokoh yang mengusulkan penamaan Sipatahoenan untuk surat kabar terbitan Paguyuban Pasundan dalam konferensi yang diadakan tanggal 25-26 Desember 1922 di Jalan Balonggede Bandung. Bakrie saat itu mewakili Paguyuban Pasundan cabang Surabaya.
Pada awalnya Sipatahoenan terbit mingguan dan pemimpin redaksinya adalah Soetisna Sedjaja. Setelah mingguan tadi berkembang menjadi harian, pimpinan redaksinya beralih kepada Bakrie Soeraatmadja. Karena isi Sipatahoenan yang mendukung pergerakan nasional, seperti ketika menanggapi penangkapan Ir. Soekarno yang kedua kalinya sebelum dibuang ke Endeh (Flores), Bakrie sempat dipenjarakan di Sukamiskin selama tiga bulan lamanya oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pertanyaan mungkin muncul, mengapa tokoh-tokoh di atas bersedia terlibat dalam penerbitan buku Raksa Djomantara (Luchbescherming) yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Saya menduga ketiga tokoh ini merasa perlu menjelaskan ancaman peperangan yang semakin dekat kepada masyarakat Bandung umtuk menghindari timbulnya korban jiwa.
Mewaspadai Serangan Udara
Dalam pengantarnya, R. A. A. Wiranatakusumah menyebutkan bahwa tujuan buku ini dikeluarkan adalah “malar djadi toedoeh ka sarerea dina metakeun tarekah njinglar bahaja noe ngantjam ti awang-awang” (supaya jadi perhatian untuk semua orang perihal bahaya yang mengancam dari udara). Dengan kata lain, buku ini ditujukan untuk mengantisipasi serangan udara Jepang yang diperkirakan segera tiba.
Penulis menyebutkan bahwa terdapat dua konsep pertahanan udara. Luchtverdediging (Djaga Djomantara) yang dijalankan oleh militer, dan Luchtbescherming (Raksa Djomantara) yang melibatkan rakyat sipil. Konsep yang kedua tidak berada di bawah komando militer, melainkan di bawah Department Binnenlands Bestuur (Dalam Negeri). Tujuan pembentukan Luchtbescherming (L.B.D.) intinya adalah supaya masyarakat tidak panik ketika menghadapi serangan udara dan supaya sigap menolong korban perang.
Umtuk mengantisipasi serangan udara, pemerintah juga menyiapkan “Lucht Alarm” (Alarm serangan udara), berupa sirine yang berada di 11 tempat di Bandung. Adapun bagi daerah lain yang tidak memiliki sirine, sudah ditetapkan aturan bagi warga untuk membunyikan kohkol (kentongan) sebanyak dua pukulan, yang diulang berkali-kali dengan jeda sebentar. Apabila serangan udara sudah lewat, di seluruh kota Bandung akan dibunyikan suara lonceng, baik di gereja, kantor-kantor, gedung kabupaten, maupun tempat-tempat lainnya.
Buku ini menyebutkan bahwa biasanya pesawat musuh tiba dalam waktu empat hari setelah terpantau di perbatasan negara (Kalimantan atau Sulawesi). Ketika sudah terpantau, pemerintah akan mengabarkan kepada masing-masing Residen, yang diteruskan kepada pimpinan-pimpinan L.B.D., dan pada akhirnya kepada rakyat. Dalam waktu empat hari menjelang kedatangan serangan udara itu, diharapkan rakyat sudah menyiapkan goeha panjoempoetan (bungker perlindungan) dan perbekalan. Sebuah bungker pada umumnya bersifat gasvrij (kedap gas beracun). Di dalamnya sudah dilengkapi sebuah lampu, perbekalan (makanan dan minuman), obat-obatan, kamar kecil, dan masker gas. Penduduk Bandung bisa membeli masker gas ini di toko “Borsumy” seharga 4 Gulden.
Bungker perlindungan udara di Kota Bandung antara lain terdapat di Kantoor Gemeente (Balai Kota) yang pintu masuknya berada di Jalan Merdeka dan di bawah Societeit Concordia (Gedung Merdeka). Kedua tempat itu bisa digunakan berlindung bagi warga yang kebetulan berada di jalan ketika serangan udara terjadi. Bagi mereka yang berada di kantor atau pabrik-pabrik, biasanya pemilik gedung juga sudah menyiapkan tempat perlindungan tersendiri. Misalnya, area Jaarbeurs yang juga memiliki bungker sederhana.
Apabila serangan udara terjadi di malam hari, setiap rumah dilarang menghasilkan cahaya karena bisa menjadi target serangan. Masyarakat diwajibkan mengganti lampu listriknya dengan lampu biru atau membungkus lampunya dengan kain biru, baik itu lampu rumah, lampu mobil, maupun lampu delman.
Tidak hanya warga Bandung yang diwajibkan memadamkan lampu ketika terjadi serangan malam terjadi. Melainkan juga warga daerah sekitar Bandung, seperti Ujungberung, Lembang, Cicalengka, Banjaran Ciparay, Soreang, dan lainnya.
“Memang bisa djadi, ari padesan djeung pilemboeran di loear kota mah, koe moesoeh teh moal sakoemaha diantjamna, da poegoeh meh henteu aja goenana moesoeh ngagempoer padesan djeung pilemboeran mah, tapi oerang oelah poho, jen lamoen di padesan atawa di palemboeran aja keneh lampoe noe katembong ti awang-awang mah, babarieun pisan moesoeh ngira-ngirana palebah mana ajana kota noe dipimaksoed tea.”
(Memang bisa jadi apabila desa atau kampung di luar kota, oleh musuh tidak akan diancam, karena tidak ada gunanya musuh menggempur desa atau kampung, tapi kita jangan lupa bahwa apabila di desa atau kampung masih ada cahaya lampu yang terlihat dari angkasa, akan jadi mudah bagi musuh untuk memperkirakan di mana letak kota yang dimaksud.)
Program L.B.D. memang hanya dijalankan di kota-kota yang dianggap menjadi target utama bila serangan Jepang terjadi. Bandung dan Cimahi dianggap paling rawan karena di sana terdapat banyak instalasi penting pemerintahan dan militer.
Komando tertinggi Luchtbescherming berada di tangan seorang Hoofd f/d/ Luschbeschermingdienst. Di bawahnya terdapat kepala sektor (sectorhoofd) yang memimpin hulpdiensten (sukarelawan) dengan tanggung jawab tertentu seperti Brandweer (pemadam kebakaran), Politie Dienst (Keamanan), Ontsmettingsploeg (Pembasmi Racun), Reddingsdienst (perawat korban), ontruimingsdienst (pengurus kerusakan), dan transportploeg (transportasi).
Bandung sendiri terbagi atas 13 sektor dengan sekitar 3.100 orang sukarelawan. Dari sumber lain yang saya miliki, pusat komando setiap sektor itu berada di Residentwoning, Raadhuis, Verkeer en Waterstaat, Gemeentemagazijn, T.H.S., Landrentekantoor, Internaat Pesantren Wetan, Tapiocafabriek Gwan An, Politieposthuis Pasar Andir, Gr. Postweg 65, Mosvia, Kantoor Prov. Waterstaat, dan Pol. Kazerne Kosambi.
Berlindung di Bungker
Selain dituliskan di buku Raksa Djomantara, keadaan Bandung menjelang perang turut dikenang oleh Oetari dalam buku Kereta Terakhir: Memoar Gadis Djoang (2015). Disebutkannya bahwa penduduk Bandung diwajibkan mengikuti latihan Luchtbescherming: “Pada latihan-latihan berikutnya, jika mendengar bunyi sirine, kami semua bergegas masuk ke perlindungan, dan tetap berlindung sampai tanda aman dibunyikan. Seperti itulah suasana perang. Meskipun belum terlihat musuh, kami sudah merasa cemas dan waswas menghadapi situasi dan kemungkinan yang terjadi.”
Pada suatu hari, selama 24 jam lamanya Oetari bersama keluarganya berada di dalam bungker dan tidak berani keluar karena Bandung terus-menerus dihujani bom. Beberapa hari kemudian dia memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menemukan bahwa sekutu telah menyerah.
“Kami melihat bangunan yang terkena bom, hancur-lebur dan hanya tinggal dinding yang tersisa. Asap masih mengepul dan bau hangus tercium di mana-mana. Terlihat korban tergeletak di mana-mana. Kami tidak tega melihatnya, lalu memutuskan untuk langsung pulang. Keesokan hari ada larangan bagi penduduk untuk pergi ke luar rumah karena tentara Jepang akan masuk kota dan akan mengambil alih pemerintahan dari Pemerintahan Belanda.”
Ketegangan yang sama turut dialami oleh warga Belanda di Bandung. Pans Schomper dalam buku Selamat Tinggal Hindia Belanda (1996) mengisahkan: “Semua orang sibuk membangun tempat perlindungan. Panci-panci goreng sangat laku karena para penguasa berpendapat bahwa warga dapat berlindunng terhadap pecahan bom dengan memegang panci goreng terbalik di atas kepalanya, dan menaruk blok karet kecil di antara giginya terhadap tekanan ledakan bom. Di rumah kami salah satu kamar di gedung samping yang letaknya di sebelah kamar mandi dijadikan ruang perlindungan. Segalanya diisoler dengan karung pasir dan dibuat perancah-perancah untuk berlindung. Belakangan baru kita sadar bahwa keseluruhannya lebih merupakan kamar maut daripada ruang perlindungan…”
Demikianlah cuplikan catatan suasana Bandung menjelang jatuhnya kekuasaan Belanda kepada Jepang dari beberapa buku. Dari kisah-kisah ini kita bisa membayangkan ketegangan yang dialami penduduk Bandung saat itu.