• Foto
  • Perjalanan Panjang untuk Bertahan

Perjalanan Panjang untuk Bertahan

Dewi Siti Saidah (20) divonis mengidap talasemia tiga tahun lalu. Menolak menyerah pada nasib, dia bertahan sebagai guru ngaji di kampung halamannya di Solokanjeruk.

Fotografer Virliya Putricantika13 Agustus 2022

BandungBergerak.id - Terbaring di rumah sakit selama dua bulan di tahun 2019 lalu menjadi awal perjalanan baru bagi Dewi Siti Saidah (20). Pelajar kelas 11 SMA (Sekolah Menengah Atas) ini divonis mengidap talasemia mayor, penyakit yang sama sekali asing baginya. Dewi pun terpaksa putus sekolah.

Menjadi penyintas talasemia mayor membuat Dewi tidak bisa lepas dari pemeriksaan dokter dan transfusi darah setiap bulan di seumur hidupnya. Beruntung, dia bisa mengambil manfaat dari layanan BPJS karena dalam satu tahun, seorang penyintas talasemia membutuhkan biaya pengobatan sekitar 300-400 juta rupiah.

Setiap satu bulan sekali Dewi menjalani transfusi darah di Ruang Talasemia RSUD Majalaya. Menghabiskan waktu kurang lebih empat jam untuk dua labu darah yang dibutuhkan tubuhnya, Dewi juga harus bersiap menghadapi efek samping sesudah proses transfusi.

“Biasanya kerasa gatel setelah transfusi, karena penyesuaian badan sama darah yang baru dimasukin. Kadang kaki juga ga bisa digerakin dua harian,” ujar Dewi di ruang tamu rumahnya di Desa Panyadap, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, Rabu (13/7/2022).

Talasemia merupakan penyakit darah genetik yang diturunkan oleh individu pada garis keturunannya. Pembagian klasifikasi talasemia yang jarang diketahui masyarakat membuat jumlah penyintas penyakit ini terus melambung. Pada tahun 2021, tercatat sebanyak 10.555 orang penyintas talasemia di Indonesia, dengan 40 persen di antaranya berasal dari Jawa Barat.

Setiap individu memiliki potensi sebagai pembawa sifat dari talasemia. Pencegahan penyakit ini dilakukan lewat pemindaian (screening) darah terutama bagi mereka yang akan menikah karena pernikahan di antara sesama pembawa sifat thalasemia secara genetik akan menjadikan keturunannya sebagai pengidap talasemia mayor.

Bagaimana pun, vonis talasemia bukan akhir segalanya. Dewi sebisa mungkin tetap menjalani hidup yang sebaik-baiknya. Menggambar, yang sudah menjadi kegemarannya sejak duduk di bangku sekolah dasar, memberikan keasyikan menghabiskan waktu di rumah.

Pada sore hari, Dewi menjadi guru mengaji di Kelompok Bermain (Kober) Al-Ishlah, tak jauh dari rumahnya. Tawaran menjadi pengajar pada akhir tahun 2019 itu dia terima demi menjaga cita-citanya menjadi guru. Pilihan ini juga menjadi salah satu cara baginya untuk bisa membahagiakan kedua orangtua

"Ya walaupun cuman jadi guru ngaji, senggaknya Dewi tetep bisa belajar sebelum ngajarin materi ke anak-anak,” tutur Dewi, anak bungsu dari tiga bersaudara yang menjadi satu-satunya anak penyintas talasemia mayor di keluarga tersebut.

Perjalanan Dewi untuk bertahan, masih sangat panjang.   

*Foto dan teks: Virliya Putricantika

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//