Perempuan Penjaga Tradisi di Kampung Adat Cireundeu
Warga Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, teguh mempraktikkan tradisi, termasuk mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok. Para perempuan mengambil peran penting.
Warga Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, teguh mempraktikkan tradisi, termasuk mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok. Para perempuan mengambil peran penting.
BandungBergerak.id - Setelah lebih dari dua tahun meringkuk dalam cengkeraman pandemi Covid-19, laku tradisi di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, kembali berdenyut. Rangkaian perayaan Seren Tahun Saka Sunda 1956 digelar pada Agustus 2022 lalu. Beragam kesenian dipentaskan. Warga saling berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya, sembari tak lupa berbagi makanan dengan sesama.
Singkong, makanan utama warga Kampung Adat Cireundeu yang diwariskan secara turun-temurun, ada di jantung tradisi ini. Juga, yang sering luput dari perhatian orang, penghormatan terhadap peran perempuan. Dalam proses ngajayat, ritual berjalan beriringan diawali dengan pemcahan kendi sebagai simbol penghormatan semacam ini.
Lewat ketelatenan dan keuletan perempuan, nilia-nilai tradisi Kampung Adat Cireundeu dijaga dan diwariskan ke generasi berikutnya sejak dari keluarga. Termasuk pembiasaan mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok anak-anak yang pastilah tidak mudah. Apalagi di zaman modern yang menyediakan keleluasaan akses seperti sekarang.
“Biasanya ibu ambil singkong pas musim kemarau. Kalau ada matahari, kalau bagus, kalau panen teh. Kalau musim hujan, (singkong) gak kering-kering,” tutur Tati, salah seorang warga adat yang tinggal di Kampung Adat Cireundeu sejak 77 tahun lalu, Jumat (19/8/2022).
Sejarah mencatat, Kampung Adat Cireundeu diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16 Masehi. Sebagian penduduknya memilih mengonsumsi singkong dibandingkan beras sejak 1918. Atau sudah lebih dari dari satu abad lampau. Dihadapkan pada kesulitan hidup di masa kolonial Hindia Belanda, warga berangsur beralih ke nasi singkong sebagai makanan pokoknya.
Proses peralihan malanan pokok ini tentu tidak mudah. Terlebih bagi anak-anak. Terciptalah tari ngayun untuk membuat mereka mau mengganti nasi beras dengan nasi singkong. Butuh waktu tak kurang dari enam tahun bagi masyarakat Cireundeu untuk sepenuhnya memulai tradisi baru ini.
Teu boga sawah asal boga pare.
Teu boga pare asal boga beas.
Teu boga bea asal nyangu.
Teu nyangu asal dahar.
Teu dahar asal kuat.
Pepatah ini terbukti ampuh sebagai obor semangat merawat tradisi Kampung Adat Cireundeu dari generasi ke generasi. Namun, setiap zaman memiliki tantangannya sendiri. Hari ini, pewarisan tradisi mengonsumsi singkong ke anak-anak kian pelik. Lagi-lagi, para perempuan Cireundeu memiliki peran penting. Tidak melulu tenggelam dalam urusan domestik, mereka dituntut untuk berdaya.
“Waktu itu ada yang ngasih pelatihan, mahasiswa S3, ngasih pelatihan bikin eggroll karena memang ibu-ibu di sini emang suka bikin kue. Itu juga gak langsung jadi enak. Awalnya melempem dulu. Dicobain aja terus sampai akhirnya bisa dijual gitu di sini,” ungkap Neneng, koordinator rumah produksi singkong di Kampung Adat Cireundeu.
Inovasi terus dilakukan, tapi pada saat yang sama, keteguhan pada tradisi tidak boleh ditinggalkan.
Foto dan teks: Virliya Putricantika
COMMENTS