18 Tahun setelah Longsor TPA Leuwigajah
Bencana longsor TPA Leuwigajah meninggalkan luka mendalam bagi warga terdampak. Juga keluarga dan kerabat mereka. Bahkan setelah 18 tahun.
Bencana longsor TPA Leuwigajah meninggalkan luka mendalam bagi warga terdampak. Juga keluarga dan kerabat mereka. Bahkan setelah 18 tahun.
BandungBergerak.id - “Keluarga Cilimus habis,” kata Lika (40), warga Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, menirukan kabar yang ia terima 18 tahun lalu.
Senin 21 Februari 2005 dini hari itu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah kolaps. Setelah hujan yang tak kunjung henti, gunungan sampah setinggi 30 meter longsor ke arah barat daya, menyapu Kampung Cilimus yang ketika itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Bandung. Sebagian kecil longsoran menerjang juga Kampung Pojok Cireundeu.
Lika harus merelakan sang kakak ipar yang bersama istri dan anaknya tertimbun longsoran sampah bersama rumah mereka di Kampung Cilimus. Belasan kali kerja evakuasi tak juga bisa menemukan jasad satu keluarga ini.
Ratna (34) tidak akan lupa dengan hari nahas tersebut. Dia masih duduk di bangku kelas 12 ketika itu. Sebelum longsor, terjadi ledakan yang membuatnya terbangun.
“Ada dentuman besar. Bunda ngalamin sendiri, jadi kaya lahar, ada api, percikan api,” ungkap Ratna yang kini menjadi guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Taam Thoriqul Husna.
Jalan yang menjadi satu-satunya akses dari rumah Ratna di Desa Batujajar Timur ke jalan utama tertimbun oleh sampah nyaris setinggi tiang listrik. Bibinya menjadi salah satu korban dan jenazahnya baru ditemukan di hari pencarian ke-14.
Tentang jumlah total korban tragedi TPA Leuwigajah, di spanduk yang terbentang di bekas kantor pengelola yang saat ini menjadi bangunan kosong, tertulis 157 orang korban. Namun, Lika dan Ratna meyakini bahwa jumlah korban jauh lebih banyak dari itu. Ada sekian banyak pemulung yang sedang mengais rezeki di lokasi tersebut.
Oleh pemerintah, warga terdampak tragedi longsor TPA Leuwigajah direlokasi ke beberapa wilayah. Salah satunya RT 1 RW 12 Desa Batujajar Timur. Tidak sedikit dari mereka, juga keluarga dani kerabat korban, sampai hari ini masih menyimpan trauma mendalam.
Oleh pemerintah juga, hari nahas longsor TPA Leuwigajah ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Harapannya tentu tragedi ini menjadi pengingat bagi semua orang untuk secara lebih baik mengelola sampah, atau lebih besar lagi memelihara lingkungan.
Setelah 18 tahun berlalu, mengingat tragedi tidak pernah menjadi sesuatu yang mudah. Terutama bagi warga di sekitar TPA Leuwigajah. Sebagian dari mereka mau menceritakan kejadian itu ke anak-anak mereka. Yang lain memilih tidak.
“Anak Bunda tau sejarahnya,” ucap Ratna. “Diceritain.”
Foto dan teks: Virliya Putricantika
COMMENTS