• Foto
  • Sangiang Not for Sale!

Sangiang Not for Sale!

Satu per satu warga keluar dari Pulau Sangiang akibat bujukan dan tekanan korporasi dan birokrat. Tinggal separuh yang berkukuh bertahan. Sekuat tenaga.

Fotografer Teresia May & Dwianto Wibowo26 Maret 2023

BandungBergerak.id - Sofia tampak murung. Sesekali dia menyeka air matanya. Jika pagi itu mentari tak begitu terik, kemungkinan dia masih duduk termangu di atap geladak kapal, membiarkan ear bud menyumpal kedua lubang telinganya.

“Ngambek itu… masih kangen di pulo,” ujar Suheni, sang ibu, sambil melempar beberapa buah degan ke geladak.

Kapal bertolak dari dermaga Legon Waru, 10 menit menyusuri laguna, melintasi hutan bakau di perairan selebar dua kali badan kapal. Setiba di laut lepas, kapal berbelok dahulu ke dermaga Tembuyung menjemput penumpang berikutnya.

Baru kemarin siang kami lihat Matsupi tampak tergesa usai bertemu Ustaz Pian. Kabarnya dia telah melepas lahan garapannya pada perusahaan dengan tebusan 50 juta rupiah.

“Memang lahan garapan dia itu udah masuk HGB (hak guna bangunan -Red), dijual sama pemiliknya tahun 1990-an sebelum adanya pembangunan resor. Tapi masih digarap karena proyek berhenti pas krismon (krisis moneter -Red) itu,” terang Pak Ustaz.

Hampir satu jam kami menunggu Pak Matsupi. Begitu banyak barang yang ia bawa hingga memenuhi geladak, juga satu jungkung kecil yang diikat tambang di buntut kapal. Ia-lah orang pertama yang keluar dari Pulau Sangiang saat sekuriti perusahaan gencar mendekati warga agar melepas lahan mereka dengan ganti rugi 50 juta rupiah.

Biar saya jadi yang pertama dan terakhir, karena saya cuma penggarap. Tadi malem saya ga berhenti menangis. Saya harap warga tetap bertahan di pulo karena ini warisan orang tua,” kata pak Matsupi saat kami menyeberangi Selat Sunda.

Latihan Perang, Portal, Hama Babi, lalu Ular Kobra

Pulau Sangiang terletak di antara pulau Jawa dan Sumatra. Luas daratannya

700,35 hektare, dikelilingi taman laut seluas 720 hektare. Pulau ini dikenal sebagai hadiah dari Sultan Banten kepada Minak Sangaji —utusan kesultanan Lampung— paskakeberhasilan kolaborasi menyebarkan Islam di Banten bagian barat pada abad ke-17. Wilayah penguasaannya berawal dari desa Cikoneng —yang terdiri dari

PakPekon (empat kampung) Tegal, Bojong, Cikoneng, dan Salatuhur— hingga ke Ujung Kulon. Pulau Sangiang hingga kini dihuni oleh warga keturunan Lampung dari PakPekon tersebut. Beberapa warga dari luar desa ada karena relasi kemanusiaan.

Di era Orde Baru, Pulau Sangiang menjadi milik negara dengan status Cagar Alam berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. 122/Kpts-II/1985 tanggal 23 Mei 1985. Luasnya 700,35 hektare. Enam tahun berselang status Cagar Alam berubah menjadi Taman Wisata Alam (TWA) dengan keputusan No. 698/Kpts-II/1991 tanggal 12 Oktober 1991. Meski berstatus tanah negara, pada 1991 pula terjadi jual-beli lahan seluas 248 hektare antara PT. Pondok Kalimaya Putih (PKP) dengan aparat desa dan sejumlah warga sepuh. Pada 12 Februari 1993, PT. PKP mendapat hak pengusahaan TWA oleh Kementrian Kehutanan.

Warga yang saat ini “bertahan” merupakan generasi kedua yang rerata mulai membuka huma sejak era 1970-an.

“Waktu saya datang di sini itu masih hutan lebat. Bertahun-tahun kami tanami lahan ini dengan kelapa, pisang, jagung, padi, dan lain-lain. Adapun pada awal 1990-an itu saya dengar ada penjualan lahan di kawasan Raden oleh beberapa warga sepuh dan RT kami saat itu. Prosesnya tidak terbuka, manipulatif, bahkan menghadirkan tentara. Mertua saya pun diculik dan dipaksa tanda tangan padahal waktu itu dia menolak,” tutur Engkos Kosasih yang menikah dengan perempuan asli Pulau Sangiang pada 1978 dan pernah menjabat ketua RT sejak 1995.

Engkos heran bagaimana pulau yang dihuni sebelum adanya negara ini bisa begitu saja dikuasai. Sejak hadirnya tamu tak diundang itu, warga harus menghadapi berbagai kerumitan lain usai berpeluh membangun huma yang sempat berbuah manis bagi kehidupan mereka.

“Sekitar 1996 pernah ada latihan perang di sini. Tentara masuk rumah, halaman dibom, bukit dibom. Sekuriti perusahaan ngusir warga yang cari ikan di pesisir dekat lokasi proyek. (Tahun) 1997 akses ke Legon Waru diportal, dibangun jembatan sampai perahu warga gak bisa lewat. (Tahun) 2003 muncul hama babi, lalu bajing, terus belakangan juga ular kobra,” keluh Engkos.

Penutupan akses ke laguna pada 1997 itu berakhir dengan pembongkaran oleh warga yang diketuai Engkos. Alhasil mereka diseret ke kantor polisi, namun dilepaskan kembali dengan bantuan tokoh masyarakat Anyer.

Pada 2017 kriminalisasi terhadap tiga orang warga juga terjadi dengan tuduhan “melakukan kegiatan komersial di atas lahan HGB” setelah munculnya kelompok wisatawan Jakarta yang menginap dan meminta kuitansi bertanda tangan tiga orang tersebut. Warga yang didampingi LBH Rakyat Banten menduga wisatawan itu antek perusahaan yang ingin menjebak mereka. Vonis tiga bulan penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Serang saat itu pun tidak jelas, terkesan main-main atau hanya suatu bentuk intimidasi saja.

“Kemarin ada yang kabarin saya di WA (WhatsApp -Red), katanya sekarang mah takut mau bawa tamu ke pulo. Takut diusir kopasus… katanya teh,” tutur seorang warga merujuk pesan agen wisata pada Februari 2023 lalu.

Kami menyaksikan usaha pariwisata yang dijalani warga Pulau Sangiang justru memenuhi konsep Taman Wisata Alam (TWA) yang digagas pemerintah. Layanan mereka terjangkau oleh semua kelas, dengan menyajikan perjalanan susur alam pulau dan makanan yang berasal darinya, meski belum sepenuhnya terbebas dari produk berkemasan plastik (mi, kopi, detergen, dan lainnya).

Denyut pariwisata mulai sepi sejak Tsunami Banten 2018 dan makin lagi akibat hantaman pandemi Covid-19. Kedatangan para wisatawan yang hobi berburu sejak 2015 cukup membantu mengurangi pertumbuhan babuy, meski tak rutin.

Pada Tanah yang Subur

Perekonomian warga sesungguhnya amat bergantung pada tanah Pulau Sangiang yang subur. Sebelum adanya hama babuy (babi hutan dalam bahasa Lampung), warga telah memiliki kemandirian pangan berupa padi huma, jagung, ragam umbi dan sayur, serta buah. Kini mereka hanya bergantung pada hasil panen kelapa tiap tiga minggu sekali antara 500-2.000 butir dengan penghasilan bersih rerata 1.200 rupiah per butir. Adapun kopra dijual 7.000 rupiah per kilogram.

“Dulu, saking berlimpahnya pangan di sini, ketika ada keluarga di darat punya hajat, bangsanya beras, jagung, pisang, dan lain-lain itu kami kirim dari pulo. Pokoknya makmur lah, dulu mah,” kenang Bu Biah.

Di sela waktu berkebun, warga pergi ke pantai untuk mengambil “harta karun” yang terdampar. Atum (sampah plastik) dari Pulau Jawa dikumpulkan hingga puluhan kilogram, lalu dikirim kembali ke asalnya setelah disortir dan dicuci.

“Waktu masih banyak tamu ke sini, warga bersih pantai seminggu sekali. Sejak ada hama babi ya buat nambah penghasilan kita,” kata Engkos.

Setelah perekonomian digoyahkan, giliran mental warga diuji skema ganti rugi. Meski berkukuh bertahan dari rayuan antek perusahaan di pulau sejak November tahun lalu, desakan sanak saudara di darat menggoyahkan sejumlah warga. Sejak Januari 2023 lalu antek perusahaan kerap mendatangi keluarga warga pulau yang ada di Desa Cikoneng dan sekitarnya.

“Saya sampe kaget tiba-tiba anak saya dateng dianter speedboat sama sekuriti PT. Katanya, udah lah Mak terima aja daripada gak dapet apa-apa,” kata Samunah yang menolak tawaran itu, mengingat perjuangan bersama mendiang suaminya selama lebih dari dua dekade.

Namun tak semua memiliki keteguhan Samunah dan warga yang bertahan. Dengan pelbagai alasan, mulai dari renovasi rumah di darat, tuntutan pembagian warisan, hingga kelelahan usia senja karena tak ada penerus, saat ini 14 kepala keluarga (KK) telah keluar dari Pulau Sangiang. Jumlah ini setara hampir 50 persen dari total 37 KK berdasarkan survei Biro Pusat Statistik (BPS) Serang pada November 2022.

Warga berharap kuasa korporasi segera berakhir di tanah moyang mereka dan negara tidak memperpanjang HGB PT. PKP yang akan berakhir di tahun 2024.

“Saya kawatir kalau warga pulau Sangiang pergi dari sini semua, terhasut sama perusahaan itu, kan jadi gimana ya… Kepincut uang cuma 50 juta? Nggak mikir dulunya, susah-senangnya di sini,”keluh Sofia ketika kami wawancarai Desember 2022 lalu.

Sofia mengaku betah tinggal di Pulau. Dia tidak terlalu senang berada di daratan yang sudah penuh dengan asap pabrik dan kendaran.

“Sofi penginnya sih Pulau Sangiang ini warganya rame kayak dulu,” tutur siswi SMA yang bercita-cita membuka wisata mandiri di Pulau Sangiang. “Gak diambil sama perusahaan.”

Foto & Teks: Teresia May & Dwianto Wibowo

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//