• Foto
  • Sebuah Kelas Jauh di Cijuhung

Sebuah Kelas Jauh di Cijuhung

Anak-anak Kampung Cijuhung setiap hari harus menempuh hutan, perkebunan, dan naik perahu yang melintasi hamparan eceng gondok waduk Cirata menuju sekolah.

Fotografer Dini Putri27 Mei 2023

BandungBergerak.idBising mesin perahu yang berangkat dari Dermaga Pasir Geulis mengantarkan Bandungbergerak.id menuju kampung terpencil di pinggiran Waduk Cirata bernama Cijuhung, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat. Perjalanan yang dimulai Kamis (13/4/2023) itu memakan waktu tiga hari dua malam.

Kampung Cijuhung hanya berjarak 60 kilometer dari Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, atau 39 kilometer ke pusat pemerintahan Kabupaten Bandung Barat di Ngamprah. Terletak di wilayah pembangkit listrik Waduk Cirata, kampung ini baru lima tahun belakangan ini terjamah aliran listrik. Terkadang aliran listrinya bermasalah.

Menjadi ironis ketika Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengkampanyekan desa-desa digital, tetapi bagi warga yang tinggal di lingkungan pembangkit listrik Cirata masih menganggap listrik sebagai barang mewah. Listrik merupakan kebutuhan mendasar bagi kehidupan sehari-hari masyarakat terutama dalam aspek pendidikan.

“Sebelum ada listrik mungkin itu penerangan ga ada. Anak-anak sekolah pakai apa itu lampu, kalau basa Sunda itu lampu cempor. Kalau sekarang enak udah masuk listrik, anak-anak bisa belajar sampai malam,” kata Ketua RW 11 Desa Margaluyu Suparman, kepada Bandungbergerak.id.

Kampung Cijuhung berpenghuni 145 kepala keluarga dengan jumlah warga 530 jiwa. Mayoritas warga memiki mata pencaharian sebagai nelayan atau pekerja di perkebunan milik perusahaan swasta.

Akses jalan menuju Kampung Cihujung sangat sulit ditempuh melalui jalur darat, perlu menggunakan kendaraan khusus seperti motor yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar mampu menyesuaikan trek hutan dan bebatuan terjal. Transportasi yang paling memungkinkan adalah perahu.

Medan berat juga harus ditempuh anak-anak Cijuhung menuju sekolah. Anak-anak usua SD di Cijuhung bersekolah di SDN Cibungur Kelas Jauh yang alamatnya benar-benar jauh. Mereka harus naik perahu yang membelah Waduk Cirata dan melintasi hutan untuk bisa sekolah di SD tersebut.

Ketika anak-anak sekolah dasar di perkotaan biasa berangkat sekolah dengan suasana riang-gembira tanpa perlu mengkhawatirkan keselamatan di perjalanan, anak-anak di Kampung Cijuhung justru harus menempuh perjalanan berbahaya.

Mereka sekolah di SD dengan bangunan sangat sederhana. SDN Cibungur Kelas Jauh hanya memiliki tiga petak ruang kelas yang ditempati oleh siswa jenjang SD sampai SMP dengan total 56 siswa (SD 40 murid dan SMP 16 murid) pada tahun ajaran 2022-2023. Jumlah guru untuk SD dan SMP ini hanya empat orang.

Para guru mengajar dengan cara menyatukan dua kelas dalam satu ruangan yang disekat seadanya dengan lemari, kain, atau benda lain. Di ruangan tersekat itu, guru harus menyesuaikan pelajaran untuk masing-masing murid yang berbeda kelas.

Kendala tersebut sudah biasa dirasakan oleh Ivan Abdurahman, salah satu guru di SDN Cibungur Kelas Jauh. Sarana dan prasarana SDN Cibungur Kelas Jauh jauh tertinggal dibandingkan sekolah negeri pada umumnya.

Ivan sudah mengajar di SDN Cibungur Kelas Jauh sejak tahun 2007. Selama hampir 16 tahun mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik, tantangan terbesar yang ia hadapi ialah penerapan sistem pembelajaran yang efektif dengan sangat terbatasnya jumlah pendidik dan fasilitas belajar mengajar.

“Ya kalau misalkan untuk pembelajaran mungkin pinter-pinter dalam mengajar. Ketika anak misalkan ada kelas tiga dan kelas empat, ya bergilir saja. Misalkan yang pertama kelas tiga kita kasih materi dulu kemudian setelah itu kasih tugas, selanjutnya kelas empat, sama seperti biasa, beri materi kemudian beri tugas,” terang Ivan.

Mengenai kurikulum, siswa kelas satu, dua, dan tiga SD difokuskan pada penguasaan calistung (baca, tulis, hitung). Hal ini dilakukan karena murid-murid dari Cijuhung umumnya masuk sekolah dalam kondisi nol besar. Berbeda dengan anak-anak kota yang sudah biasa masuk PAUD dan TK dulu sebelum daftar SD.

Ivan terkadang iri dengan guru-guru lain di kota yang cukup mengajar di satu kelas. Dengan demikian, metode belajar bisa lebih fokus dan maksimal.

Keterbatasan dan Semangat Belajar

Sebelum ada SDN Cibungur Kelas Jauh, anak-anak Kampung Cijuhung banyak yang terpaksa putus sekolah. SDN Cibungur Kelas Jauh dibangun atas gotong royong warga demi anak-anak mereka agar bisa mengakses pendidikan.

Bangunan SDN Cibungur Kelas Jauh berasal dari rumah yang dihibahkan warga. Rumah ini terdiri dari tiga ruangan, anak-anak yang belajar biasa duduk lesehan di lantai dengan fasilitas seadanya.

Pada 2013 rumah tersebut dibangun menjadi sekolah permanen sederhana yang sampai sekarang memiliki tiga ruang kelas. Di tengah keterbatasan tersebut, anak-anak Kampung Cijuhung tetap semangat belajar.

“Semangatnya, semangat mereka dalam belajar, walaupun misalkan kondisi jalan (akses menuju sekolah) seperti itu. Kemudian juga di sekolahnya beda jauhlah kondisinya (dengan sekolah di perkotaan) seperti dari media pembelajaran, infrastruktur, dan sebagainnya. Tapi alhamduillah semangat anak-anak untuk bisa ke sekolah dan belajar sangat hebat bagi saya,” tutur Ivan.

Pandemi Covid-19 tahun lalu berdampak besar pada anak-anak SDN Cibungur Kelas Jauh. Mereka sangat kesulitan mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) melalui ponsel. Tidak semua anak memiliki telepon genggam. Kalaupun mereka punya HP, sinyalnya sulit sekali.

Untuk bisa belajar PPJ mereka harus mencari tempat yang kira-kira ada sinyal, misalnya berkumpul di bawah tiang listrik. “Tapi ada juga kendala yang tidak punya handphone itu biasanya diakali dengan setiap seminggu tiga kali saya berkeliling (ke rumah anak-anak) walau sebenernya itu ga boleh, tapi ya mau gimana lagi,” kata Ivan.

Kerja keras guru SDN Cibungur Kelas Jauh itu mendapat apresiasi dari orang tua murid. Berkat mereka, anak-anak Cijuhung bisa mengenyam pendidikan dasar walau dengan berbagai keterbatasan.

“Berkat Pak Ivan dan guru-guru lainnya, makasih banyak, anak-anak jadi bisa sekolah,” kata beberapa ibu-ibu yang sedang mengobrol bersama anak-anaknya selepas pulang sekolah.

Ivan berharap pendidikan anak-anak Cijuhung tidak berhenti sampai sekolah dasar ataupun SMP, melainkan ada yang melanjutkan ke SMA atau perguruan tinggi. Keberadaan generasi terdidik di Cijuhung sangat mendesak dalam menopang pendidikan yang selama ini diberikan oleh guru-guru yang berasal jauh dari luar Cihujung.

Kepada pemerintah, Ivan berharap ada perhatian pada sekolah maupun guru-guru di daerah terpencil yang serba kekurangan. Pemerintah diharapkan cepat bertindak tanpa harus menunggu viral di media sosial dahulu.

“Untuk tenaga pendidik, jangan patah semangat, kita boleh lelah tapi jangan menyerah, apalagi untuk dunia pendidikan hari ini, untuk sebagai seorang guru kita harus serba kuat dan sabar dalam hal apa pun,” kata Ivan.

Harapan Ivan bukan tanpa alasan. Di luar keterbatasan yang dialami murid-murid di Kampung Cijuhung dan segala kekurangan yang ada di sekolah mereka, para guru masih menghadapi persoalan kesejahteraan. Guru honorer di SDN Cibungur Kelas Jauh jauh panggang dari api. Dan mereka harus mengajar di wilayah terpencil yang jaraknya hanya sekitar 60 kilometer dari Gedung Sate.

Antara tahun 2007 sampai 2022 gaji guru di SDN Cibungur Kelas Jauh hanya sekitar 450.000 rupiah per bulan. Saat ini honor mereka naik menjadi 700.000-900.000 rupiah. Angka ini sangat rendah jika dibandingkan upah minimum kota atau kabupaten (UMK) mana pun di Jawa Barat.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//