• Foto
  • Yang Ditinggalkan Kereta Cepat

Yang Ditinggalkan Kereta Cepat

Ketika Kereta Cepat Jakarta Bandung siap melaju, Inah meratap di Kampung Pasir Salam. Lahan sawah berubah menjadi tumpukan berangkal, aliran sungai tertimbun.

Fotografer Virliya Putricantika2 Oktober 2023

BandungBergerak.id - Kampung Pasir Salam terletak di pinggiran barat Desa Sempur, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Butuh waktu 20 menit untuk sampai ke sana dari Jalur Cikampek. Ada beberapa pilihan jalan untuk sampai ke kampung dengan 80 kepala keluarga itu. Salah satunya, Jalan Kopeng.

Jalan itu membelah hamparan sawah yang luas. Lebarnya kurang dari satu meter. Mudah bagi pejalan kaki, tapi tak demikian bagi para pengendara sepeda motor.

Menyusuri Jalan Kopeng sepanjang 700 meter, kita bisa menyaksikan jalur Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Dulu, ada 16 rumah warga di lahan tersebut. Pembangunan infrastruktur raksasa yang menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) memaksa mereka pindah ke wilayah yang berbatasan dengan Desa Depok.

(Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Di kampung Pasir Salam, ada lahan sawah seluas empat hektare milik 13 warga yang disewa selama lima tahun oleh pengelola proyek kereta cepat sejak 2017 lalu. Bukan untuk pembangunan infrastruktur, melainkan pembuangan tanah disposal atau berangkal sisa proyek. Harga sewa 50 ribu rupiah per meternya.

Inah, 53 tahun, salah satu warga yang menyewakan sawahnya. Tanah subur berubah menjadi tumpukan beton yang tandus. 

Kapungkur mah mobil oge dugi kadieu teh, seeur, da muatan itu pan coran. ‘Bruk bruk’, kadieu teh, panyaeuran tea disebatna,” (Dulu saat pembangunan, mobil juga banyak yang ke sini, bawa sisa semen. ‘Bruk bruk’ ke sini, disebutnya panyaeuran),” ujar Inah, ditemui Rabu 9 Agustus 2023 pagi.

Tak lagi bisa menanam dan memanen padi, Inah dan keluarganya menyambung hidup dengan meneruskan usaha warung di rumah. Ada si bungsu, anak ke sembilan Inah, yang masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA) dan membutuhkan sokongan pembiayaan. Sempat ramai oleh pegawai proyek, warung itu sekarang sangat bergantung pada kedatangan para tetangga saja.

Selama proses pembuangan berangkal itu berlangsung, perusahaan memasang lampu berdaya 100 Watt di depan rumah Idong untuk menerangi mereka yang bekerja pada malam hari. Malangnya, tagihan listrik tidak pernah dibayarkan. Suami Inah, Idong, 61 tahun, lantas menyimpan lampu itu di warungnya sebagai semacam jaminan.

Cenah sa sasih sakali bade mayar, epek teh teu aya (Katanya satu bulan sekali akan dibayar, tapi ternyata tidak ada),” kata Inah sambil tersenyum getir.

(Foto: Virliya Putricantika)

Aliran Sungai Tertimbun

Di bekas lahan sawah yang kini kering dan berundak-undak, beberapa ekor capung dan burung terlihat berterbangan di sekitar aliran air yang tumpas. Itulah aliran Sungai Cikuda yang menjadi pembatas antara Desa Sempur dengan Desa Depok. Aliran sungai yang juga menjadi andalan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Setelah sunagi tertimbun, 16 keluarga beralih ke sumber air di Gunung Cilamega. Di musim kemarau, debit air dari gunung kecil, tapi jernih. Berbeda ketika musim hujan tiba. Air melimpah, tapi berwarna putih. Agar bisa menampung air di rumah masing-masing, setiap keluarga harus memasang selang sepanjang 300 meter, dan tidak semua dari mereka sanggup.

“Punya uang, ya beli (selang). Kalau enggak, ya enggak,” kata Esih, 38 tahun, anak pertama Inah, ketika menemani ibunya menunggui warung, Rabu, 16 Agustus 2023 pagi.

Warga yang tidak sanggup membeli selang dan tidak mempunyai tempat untuk menampung air di rumah, akan pergi ke tempat mandi cuci kakus (MCK) bersama di ujung aliran sungai. Untuk memperoleh air minum, mereka membeli air atau sesekali mengambil dari sumur di dekat rumah Ketua RT 16.

(Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Ketika alat-alat berat masih beroperasi membuang lahan disposal dan berangkal ke lahan sawah, warga sudah meminta agar beton yang menutupi aliran sungai dibuka. Pegawai yang saat itu bekerja menolak dan mengatakan pengangkatan beton akan dilakukan setelah proyek selesai. Namun nyatanya setelah proyek selesai, Sungai Cikuda masih tertimbun sampai hari ini.

Perjanjian cenah air bakal ngalir. Perjanjian na teh jang ibak, bade pangadameulkan bak di ditu, ga ada. Eta disalurkeun deui sungai, ga ada. Jadi ruksak weh,” (Perjanjian katanya air akan mengalir (seperti semula). Perjanjiannya akan ada untuk mandi, akan dibuatkan bak di sana. Realitanya tidak ada. Itu mau disalurkan lagi sungai, tidak ada),” tutur Manap, 61 tahun, yang sudah 25 tahun menjadi Ketua RT 16 Kampung Pasir Salam, ditemui Rabu, 9 Agustus 2023 siang.

Selain lenyapnya lahan sawah dan tertimbunnya sungai, warga juga menderita kerusakan bangunan. Rumah Mukhtar, 61 tahun, misalnya, mengalami kerusakan di bagian dinding dan lantainya. Proyek pembangunan jalur kereta cepat hanya berjarak 500 meter dari rumahnya. Ketika proyek sedang berlangsung, sering hingga pukul 10 malam, anak Mukhtar tak berani tinggal sendiri. Salah satu dinding rumah nyaris terbelah.

Gak ada (uang ganti rugi), cuman ada uang getar. Kalau di pinggir jalan, uang kebul. Uang getar cuman (dibayarkan) sekali, 25 rebu (rupiah),” kata petani yang sehari-hari menggarap lahan sawah milik warga Desa Depok itu.

                                                                                 (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Akan Berkoordinasi

Di bawah payung Proyek Strategis Nasional (PSN), banyak tahapan pembangunan kereta cepat berlangsung kilat. Peraturan Presiden (Perpres) nomor 26 tahun 2015 tentang Percepatan Pelaksanaan Infrastruktur dan Fasilitas Kereta Cepat Jakarta Bandung membuat pemerintah-pemerintah daerah harus melakukan penyesuaian rencana tata ruang wilayah.

Gigin Ginanjar, sekretaris Desa Sempur, menyebut bahwa sosialisasi proyek kereta cepat kepada aparat desa terhitung lambat. Justru para broker yang terlebih dahulu membeli lahan dengan langsung mendatangi rumah-rumah warga yang bakal terdampak pembangunan. Sampai hari ini warga desa masih mengeluhkan persoalan-persoalan terkait lahan.

“Kemarin juga ada dua orang laporan, sampai sekarang belum dibayar,” tutur Gigin di ruang kerjanya.

Apa yang dialami keluarga Inah di Kampung Pasir Salam bisa ditemui juga di wilayah-wilayah lain di sepanjang jalur pembangunan infrastruktur Kereta Cepat Jakarta Bandung. Tim kolaborasi liputan BandungBergerak.id, Pikiran Rakyat, dan Radar Bandung menemukan tidak sedikit cerita tentang dampak buruk lingkungan. Mulai dari hilangnya mata air hingga kejadian banjir.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat membuka posko pengaduan dampak proyek KCJB sejak Desember 2019 hingga Januari 2021. Sebanyak delapan kasus dilaporkan warga, mulai dari kerusakan bangunan rumah, pembuangan disposal, pencemaran limbah, lenyapnya mata air, hingga bencana banjir. Lokasi kasusnya beragam, mulai dari Purwakarta hingga Gedebage.

Direktur Walhi Jabar ketika itu Meiki W. Paendong menyatakan, dari delapan laporan itu, pendampingan secara intensif dilakukan untuk kasus kerusakan rumah di kompleks Tipar Silih Asih, Padalarang. Laporan sudah dua kali diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), masing-masing pada Oktober 2020 dan Oktober 2021. “Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan penanganan,” katanya.

Kasus pembuangan disposal yang dilaporkan ke Walhi Jabar terjadi di Desa Depok, tetangga Desa Sempur. Warga meminta pengelola kereta cepat untuk membeli bekas sawah yang sudah tidak produktif lagi karena tertimbun beton, tetapi ditolak. Yang dilakukan pengelola sebatas membenahi saluran air ke sawah yang tertimbun berangkal.

Dimintai klarifikasi, General Manager Corporate Secretary Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Eva Chairunisa tidak juga memberikan tanggapan. Manager Corporate Communitation KCIC Emir Monti menyebut bahwa perusahaan terbuka untuk berkomunikasi dengan warga. “Berbagai aduan masyarakat, berbagai informasi yang kami terima akan kami cek untuk kami pastikan koordinasi lebih lanjut dengan masyarakat tersebut,” ucapnya ketika ditemui di Stasiun Padalarang pada Sabtu, 9 September 2023.

Entah kapan niat baik itu akan datang. Di depan rumahnya di Pasir Salam, Inah sekarang hanya bisa melihat lahan tandus, sementara kereta cepat melesat kencang meninggalkannya.   

*Reportase ini merupakan bagian dari kerja kolaboratif yang diinisiasi LBH Bandung dan BandungBergerak.id dengan dukungan Kurawal Foundation

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//