BandungBergerak.id - Kawan-kawan difabel penglihatan di Bandung menunaikan hak demokrasi mereka di Tempat Pemungutan Suara (TPS) Wyata Guna, Bandung, Rabu, 14 Februari 2024. Setiap pemilu mereka berharap kehidupan yang lebih baik, tidak diskriminatif kepada orang-orang yang terpinggirkan. Walaupun hasilnya selalu sama, hak-hak mereka kurang dipenuhi.

“Harapan saya untuk yang dipilih nanti, yang (akan) jadi di atas, jangan lupalah ke yang di bawah. Soalnya sudah beberapa kali nyoblos, yang di atas itu lupa yang ke bawah. Dia mementingkan diri sendiri, keluarganya, sama partainya. Saya inginkan kepada pejabat yang sudah di atas, yang sudah duduk nanti, ingatlah sama rakyat bawah,” harap Rudi, salah satu difabel penglihatan, kepada BandungBergerak.id, setelah melaksanakan pencoblosan yang didampingi oleh anak perempuannya.

Rudi menyoroti alokasi bantuan pemerintah seperti PKH (Program Keluarga Harapan) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang selama ini kurang tepat sasaran. Bantuan tersebut seharusnya diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan, khususnya difabel.

Rudi merasa hak-haknya sering kali terabaikan. Kebanyakan bantuan cenderung mengalir kepada mereka yang “mampu”, sementara kaum difabel sering terlupakan.

“Karena kita bukan pengin dikasih ya, mbak. Itu kan hak kita. Kok yang didulukan orang-orang yang bisa lihat, orang-orang yang berada. Masa orang yang punya motor, emasnya banyak, dapat PKH, dapet ini itu. Sementara kita yang benar-benar membutuhkan itu sama sekali nggak ada,” ucap Rudi.

Warga difabel lainnya yang juga mencoblos, Julia (42 tahun), mengungkapkan keluhan serupa dengan Rudi. Ia kesulitan mengakses bantuan sosial dari pemerintah. Ia kebingungan akan prosedur yang harus dijalani, tidak tahu harus mengurus ke mana, dan tidak paham persis apa yang dibutuhkan untuk memperoleh bantuan tersebut.

“Kalau misalnya ada bantuan dari pemerintah, kita jarang dapat, karena kita gak tahu harus mengurus ke mana jadi pengennya kita mau ada sosialisasi,” jelasnya.

Layanan Kesehatan Dipersulit, Lapangan Kerja Sempit

Masalah pelayanan kesehatan dan lapangan kerja juga menjadi keluhan kawan-kawan Difabel. Rudi mengungkapkan, betapa sulitnya mendapatkan layanan kesehatan yang baik. Padahal Rudi menggunakan layanan BPJS berbayar (mandiri) tetapi tetap saja merasa dipersulit, bahkan disamakan dengan yang menggunakan BPJS gratis.

“Di situ kadang-kadang kita itu mau berontak, tapi berontak mau ngomong ke siapa? Gak pernah didenger,” keluh Rudi.

Tidak hanya itu, Rudi juga menyoroti sikap masyarakat dan pemerintah terhadap difabel. Dia merasa bahwa dirinya dan sesama difabel sering dianggap remeh dan rendah.

“Penginnya jangan kita dianggap remehlah kita itu. Disabilitas itu masih bisa mampu kalau disaingkan sama yang bisa lihat (non-disabilitas), mbak. Cuma sayangnya kita disabilitas, tidak ada kesempatan. Tidak dikasih kesempatan sedikit pun oleh orang-orang atas itu untuk menunjukkan kebolehan kita di lapangan,” ujarnya

Harapan terbukanya lapangan kerja bagi difabel disampaikan Rian, pria yang memiliki keterbatasan penglihatan berusia 31 tahun yang memiliki minat dalam bidang musik. Menurutnya, kaum difabel membutuhkan lapangan kerja yang adil dan tidak diskriminatif.

Sebaliknya, kaum difabel tidak hanya diberikan bantuan yang bersifat konsumtif, tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas yang produktif. “Jadi misalnya kita pengin diberikan lapangan pekerjaan,” kata Rian yang sudah menekuni dunia musik sebagai pemain gitar sejak 2016.

Kaum difabel memiliki potensi dan kemampuan yang dapat diandalkan. Sebagai seorang yang aktif dalam dunia musik, Rian ingin membuktikan bahwa mereka juga mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam dunia kerja, terutama dalam bidang yang sesuai dengan minat dan bakat mereka.

Fasilitas Umum Berbahaya

Kenyataannya, kaum difabel menghadapi kendala di berbagai bidang tidak hanya di lapangan kerja saja. Sebagai gambaran, kata Rian, fasilitas umum, khususnya trotoar, yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi pejalan kaki dan difabel. Rian sering menghadapi trotoar yang dimanfaatkan untuk kepentingan lain, seperti tempat parkir atau berdagang, yang tidak sesuai dengan fungsi yang seharusnya.

“Karena saya pernah ada pengalaman, waktu itu saya jalan sendiri kan kebetulan ada orang jualan, dibilangin ‘jangan lewat situ, itu buat dagang’. Padahalkan itu buat jalan gitu,” ungkap Rian.

Kondisi buruknya fasilitas trotoar juga dikeluhkan Kiki (40 tahun), kaum difabel lainnya. Ia merasa tidak aman ketika berjalan di atas trotoar Kota Bandung. Permukaan trotoar tidak rata dan rusak, hal ini membahayakan kaum difabel.

Kiki terpaksa memilih berjalan di pinggir jalan raya. Namun ia menghadapi risiko lain yang juga berbahaya. Meski demikian, Kiki merasa trotoar yang buruk merupakan pilihan yang lebih berbahaya dibandingkan berjalan di pinggir jalan raya.

“Selama 7 tahun tinggal di sini gak ada perubahan,” ucap Kiki yang kegiatan sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga. Ia berharap pemimpin di masa mendatang dapat menjadi lebih baik dan lebih memperhatikan hak-hak penyandang disabilitas.

*Foto dan Teks: Fitri Amanda

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//