BandungBergerak.idDi balik sunyi dan dingin subuh di Cikapundung, tak jauh dari kawasan Braga, Bandung, terdengar sayup-sayup suara orang yang menunggu datangnya kiriman koran. Rujeh (63) salah satunya. Sudah 50 tahun ia menggantungkan hidupnya di bisnis koran.

Mulanya Rujeh mencari uang sebagai pengecer koran sejak tamat dari bangku SMP.  Baru pada tahun 2000-an ayah dari empat anak ini beralih menjadi agen. Di tahun-tahun jaya bisnis koran itu, Rujeh bisa mengantongi pendapatan kotor belasan juta rupiah per pekan. Kini penghasilan bersihnya sebulan hanya di kisaran Rp 1 juta.

Cerita lain datang dari Encang (60) yang sudah 20 tahun menjadi loper koran. Rute kerjanya dari bursa koran Cikapundung hingga Polres Cimahi. Sebelum internet, dalam satu hari ia bisa menjual 70 eksemplar koran. Itu belum termasuk para pelanggan bulanannya.  Meski kini jumlah pendapatan anjlok, Encang tetap bersyukur masih bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.

Maman (70), ‘orang koran’ yang lain lagi, menjajakan koran di rak kayu miliknya di Jalan Garuda. Memulai kerja ini sejak 1975, ia belum pernah sekali pun pindah tempat. Di zaman keemasan koran pada tahun 2000-an, hampir di setiap perempatan jalan di Bandung ada dua atau tiga rak koran. Maman bernazar bakal berhenti berjualan koran setelah menginjakkan kaki di tanah suci yang tahun ini terpaksa ditunda.

Rujeh, Encang, dan Maman adalah orang-orang koran yang bertahan di senjakala bisnis media cetak. Setelah terpukul oleh disrupsi teknologi informasi, media cetak kian terjepit akibat pandemi Covid-19 sejak tahun lalu.

Dalam surveinya terhadap 42 media massa pada pertengahan 2020, Serikat Perusahaan Pers (SPS) menyebut, 71 persen perusahaan pers cetak mengalami penurunan omzet lebih dari 40 persen. Imbasnya bermacam-macam, mulai dari pengurangan oplah, jumlah halaman, hingga pemotongan gaji karyawan atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Foto dan Teks: Fakhri Fadlurrohman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//