• Foto
  • Melantunkan Ayat Suci di Puing-puing Masjid Ahmadiyah Parakansalak

Melantunkan Ayat Suci di Puing-puing Masjid Ahmadiyah Parakansalak

Anak-anak Ahmadiyah di Parakansalak, Sukabumi merindukan masjid dan madrasah yang tak kunjung jadi dibangun karena penolakan.

Fotografer Yopi Muharam6 Oktober 2024

BandungBergerak.idJarum pendek di jam dinding mengarah ke angka dua. Lima belas menit ke depan, anak-anak Madrasah Diniyah Fadlil Umar di kampung Parakansalak, Kecamatan Parakansalak Kabupaten Sukabumi bersiap belajar, Senin, 30 September 2024. Madrasah ini dikelola langsung oleh jemaat Ahmadiyah cabang Parakansalak.

Anak-anak datang 20 menit lebih awal. Mereka belajar mengaji bukan di gedung madrasah melainkan memanfaatkan Masjid Al Furqon. Masjid ini berbeda dengan masjid umumnya, tidak memiliki kubah dan ornamen-ornamen khusus. Bahkan sekilas Masjid Al Furqon mirip gudang yang lama tidak terurus.

Cat masjid sudah memudar dan terkelupas. Keramik berlubang. Jendela tidak ada kacanya. Maklum, 16 tahun lalu, satu-satunya masjid yang dimiliki jemaat Ahmadiyah di Parakansalak habis dibakar oleh masyarakat intoleran.

Pembakaran yang terjadi pada 28 April 2008 silam hanya menyisakan tembok saja. Api melahap semua yang terisi di dalam masjid. Termasuk Al Quran. Plafon dan atap beralaskan asbes pun baru dibangun tahun 2023. Terhitung masih baru.

Kini, masjid berjendela kayu dan asbes yang disegel paksa oleh Satpol PP pada tahun 2016 itu dimanfaatkan oleh para jemaat untuk sekolah dan melaksanakan ibadah salat berjamaah.

Sebetulnya, mereka memiliki madrasah tersendiri yang terpisah dengan masjid. Bangunan madrasah tepat di seberang Masjid Al Furqon. Di sana terdapat fondasi dan tiang beton yang sudah karatan. Pembangunan gedung madrasah ini sudah lama tidak bisa dilanjutkan.

Bukan tanpa alasan, setiap kali bangunan madrasah akan dibangun selalu saja datang surat dari kecamatan yang berisi agar pembangunan dihentikan. Intinya agar peristiwa pada tahun 2008 silam tidak terulang kembali.

Jam sudah menunjukkan tepat pukul 14.00 WIB. Anak-anak segera memadati shaf akhwat yang diperuntukan untuk belajar di masjid berukuran 13 x 14 meter per segi. Sejumlah sandal ditinggalkan tidak teratur di tangga masjid. Di dalamnya dua orang guru telah bersiap memulai pelajaran. Guru tersebut bernama Elis Rahmadianti (49 tahun) dan Dede (62 tahun).

Dede sendiri merupakan pensiunan guru SD. Ia mengajar di madrasah sejak tahun 2013. Sedangkan Elis baru mengabdi sejak tahun 2019. Menurut mereka, ada empat guru yang mengajar di madrasah ini, yaitu Hendri dan Ipah Syarifatunisa (58 tahun) yang merangkap sebagai kepala madrasah.

Madrasah Diniyah Fadlil Umar sama seperti sekolah setingkat SD pada umumnya. Memiliki mata pelajaran dan jenjang kelas yang dimulai dari kelas satu sampai kelas enam. Total keseluruhan murid ada 21-an orang. Mereka belajar setelah pulang sekolah formal, mulai dari pukul 14.00 WIB hingga 16.00 WIB.

Dede bercerita, beruntung, pada saat pembakaran masjid, gedung tersebut selamat. Hanya saja bangku sekolah habis dibakar bersamaan dengan masjid. Sebelumnya, gedung madrasah berdiri berbentuk seperti bangunan sekolah. Akan tetapi, karena bangunan yang sudah dimakan umur menyebabkan fondasinya pun lapuk.

Lebih dari itu, pascapembakaran gedung tersebut masih digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar. Bahkan dimanfaatkan untuk salat berjamaah saat masjid belum direnovasi.

Namun nahas, pada tahun 2023, niat mulia dari para jemaat untuk merenovasi gedung sekolah dihentikan oleh pihak eksternal atau nonjemaat Ahamdiyah. “Kemudian mau dibangun mau direnovasi, tapi ada kenadala gitu dari eksternal,” ujar Dede, di sela-sela mengajar, kepada BandungBergerak, Senin, 30 September 2024.

Masih Berdiri

Seorang murid perempuan menyendiri di pojokan dekat hordeng berwarna hijau yang memisahkan antara shaf ikhwan (laki-laki) dan akhwat (perempuan). Anak itu tengah fokus menyalin mushaf Al Quran ke dalam catatannya. Tangan kecil itu terlihat terampil membuat huruf hijaiah. Kepalanya terus tertunduk. Matanya bolak-balik melihat Quran dan catatannya.

Di sisi lain, Dede tengah menjelaskan salah satu pelajaran tentang Tarikh Islam, sebuah cerita masa lampau yang masih terjadi hingga sekarang. Di samping Dedeh,  Elis sedang mengoreksi buku catatan murid-muridnya kelas 1 dan 2 yang baru saja menyelesaikan tugas.

Tepat di luar mereka belajar, bangunan seperempat jadi masih berdiri tegak tanpa tembok. Tepat di samping bangunan dekat tanjakan, cangkul tak bertuan berdiri tegak, sedangkan tanah yang masih menggumpal mengerak akibat terkena air hujan. Terpal berwarna biru tak sanggup memayungi segumpalan pasir itu.

Bangunan yang dikelilingi terpal berwarna hitam ini sering dijadikan sarana bermain oleh para murid seraya berharap nantinya bangunan ini akan direnovasi secara utuh. Mereka merindukan suasana belajar di dalam kelas.

Dede bersyukur, meski pembelajaran dilakukan di masjid, muridnya tidak ada yang komplain atau mendesak kapan bangunan sekolah itu akan dibangun. Menurut Dede anak-anak sudah paham dengan kondisi yang terjadi. Meski saat peristiwa pembakaran mereka belum lahir.

“Anak-anak juga udah pada ngerti kenapa alasan mereka belajar di masjid,” ujar Elis menimpal Dede saat menerangkan kondisi sarana di madrasahnya.

Azan ashar berkumandang. Salah seorang murid laki-laki menjadi muazin. Suaranya nyaris tidak terdengar keluar. Masjid ini hanya menyediakan pengeras suara di dalam masjid saja. Kepanikan akan mengundang massa menjadi salah satu alasan mereka memelankan azan. Berbeda dengan masjid tetangga yang berada di atas Masjid Al Furqon.

Saling Lempar Tanda Tangan

Esok harinya, bagian jadwal Ipah Syarifatunisa mengajar. Ipah sudah mengabdi sejak tahun 2006. Ia lebih senior dari Dede dan Elis. Selain itu, dia juga diangkat menjadi kepala madrasah. Ipah bercerita panjang tentang pendirian madrasah ini. Di kepalanya, seperti menyimpan core memory tentang manis-pahitnya pendirian dan perjuangan madrasah jemaat.

Saat ditanya alasan kenapa gedung sekolah terbengkalai, Ipah langsung mengorek memorinya ke tahun 2008. Pascapembakaran masjid, para jemaat praktis sudah tidak mempunyai masjid lagi. Hal ini berdampak pada pembelajaran di madrasah.

Selama masa sulit itu, pembelajaran dialihkan ke sejumlah rumah jemaat yang memiliki tempat tinggal luas. Termasuk rumah Ipah yang dijadikan tempat pembelajaran darurat bagi kelas 5 dan 6. Sedangkan untuk kelas 1 dan 2 belajar di rumah Dede, kelas 3 dan 4 di rumah Hendri.

Ipah menjelaskan, pada tahun 2006, tepat di tahun ia diangkat sebagai kepala madrasah, sekolah ini memiliki akreditasi B atau baik. Dia optimis akan mengembangkan madrasah ini ke taraf lebih baik atau akreditasi A. Namun harapan itu pupus saat tragedi yang menimpa jemaat. Kesulitan itu pun terasa hingga sekarang.

Menjelang habisnya penilaian akreditasi selama empat tahun itu atau di tahun 2010, Ipah masih mempunyai harapan. Di pikirannya, mengurus akreditasi akan berjalan seperti biasanya. Sebab, Ipah sudah berpengalaman menjadi tim koordinator akreditasi di tempat sekolahnya mengajar di SDN 1 Parakansalak.

Ternyata mengurus persyaratan pascapembakaran masjid itu berdampak bagi madrasah. Kali ini, dia dihadapkan dengan peraturan yang ribet. Terutama dalam mengurus tanda tangan regulator, seperti forum madrasah, MUI, KUA, kantor desa, hingga kecamatan.

Saat hari penilaian akreditasi menjelang, Ipah mendapat selembar formulir yang harus diisi. Namun, saat selesai pengisian formulir tantangan berikutnya yang harus dihadapi ialah meminta tanda tangan ke berbagai instansi. Demi memenuhi persyaratan, dia harus keluar lebih subuh untuk mendatangi berbagai instansi.

Awalnya Ipah mendatangi Kelompok Kerja Madrasah Diniyah (KKMD) –sekarang bernama Forum Pendidik Madrasah Inklusif (FPMI)– untuk meminta persetujuan dan tanda tangan ketua KKMD. Namun ditolak, sebab menurut ketua KKMD harus terlebih dahulu memiliki tanda tangan kepala desa.

“Bu kalau saya tuh hati bersih, kalau pak kades tanda tangan, saya pun akan tanda tangan,” ujar Ipah, menirukan percakapan 14 tahun silam, Selasa 1 Oktober 2024. Tanpa berdebat panjang, Ipah langsung bergegas menemui kepala desa. Saat bertemu kepala desa, dia harus menunjukan persetujuan dari KKMD.

Ipah mengaku dia sangat kenal dekat dengan kepala desa. Entah alasan apa kepala desa tidak memberikan tanda tangannya. “Saya tuh rasanya seperti bola,” keluhnya.

Tidak berhenti sampai di situ, dia mencari jalan keluar dengan mendatangi rumah Ketua MUI Parakansalak. Berharap dengan adanya persetujuan dari MUI akan dipermudah. Kendati menurutnya tidak ada urgensi meminta persetujuan dari MUI.

Tanpa alasan yang ribet, Ketua MUI langsung memberikan tanda tangannya. Namun untuk meminta cap resmi MUI, dia harus menemui sekretaris MUI. Jarak tempuh dari kediaman Ketua MUI ke rumah sekretaris MUI sekitar 10 menitan menggunakan ojek.

Setibanya di rumah sekretaris MUI lagi-lagi ia menemukan jalan buntu. Sekretaris MUI mengakui bahwa ia memang memegang stempel. Namun sekretaris itu harus bermusyawarah dulu dengan anggota MUI lainnya. Ipah mun merasa heran. Padahal tanda tangan ketua MUI sudah tergores di atas kertas.

“Teh sebetulnya stempel emang ada di saya. Tapi saya tidak akan memberikan stempel itu, tanpa harus musyawarah dulu sama pengurus,” terang Ipeh, menirukan ucapan sekretaris yang masih memiliki tali persaudaraan dengannya.

Sembari menenteng berkas Ipah pulang saat petang tiba. Perjalanan selama berhari-hari untuk meminta tanda tangan sudah dia tempuh. Namun nihil. Sulit sekali baginya untuk bisa mendapatkan tanda tangan agar madrasahnya memiliki akreditas seperti madrasah lainnya.

Ipah terhenti di sebuah rumah yang memiliki halaman luas. Rumah itu adalah milik Ketua Cabang Jemaat Ahmadiyah Parakansalak, Asep Saepudin. Di dalamnya sudah banyak anggota jemaat yang menunggu untuk menanti salat isya. Ipah tiba dengan hati letih. Saat komat dilantunkan ia pun ikut salat bersama jamaah yang lain.

“Ibu itu mau minta tanda tangan itu enggak ada yang mau, yang tanda tangan,” tuturnya, berat menahan tangis. Padahal madrasah yang didirikan sejak tahun 1975 itu sudah ditetapkan oleh Departemen Agama pada tahun 1984.

Sujud di akhir isya menjadi akhir dari cerita perjuangannya untuk mendapat persetujuan. Air mata pun mengalir membasahi sajadah. Dia bersujud lama seraya mengadukan keluh kesahnya kepada Sang Pencipta. Semuanya Ipah serahkan. Kini sisa-sisa perjuangannya masih tersisa. Madrasah masih berjalan tanpa memiliki akreditasi seperti madrasah lainnya.

*Foto dan Teks: Yopi Muharam

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//