• Foto
  • Senjakala Tenun dari Dukuh

Senjakala Tenun dari Dukuh

Tradisi kain tentun tradisional kini tinggal di Kampung Widara, Desa Dukuh, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Pekerjaan ini diambang punah.

Fotografer Adi Marsiela9 November 2024

BandungBergerak.idIim menjalankan alat tenun kayu atau alat tenun bukan mesin (ATBM) untuk menjalin untaian kain dengan lebar satu sentimeter dan panjang sekitar lima meter. Untaian kain itu layaknya benang yang digulung di batang kayu. Wanita berusia 47 tahun ini jadi penenun paling muda di sentra pembuatan keset dan kain pel di Kampung Widara, Desa Dukuh, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, 28 Oktober 2024.

Di sisi kampung lain di kawasan lereng pegunungan Ibun tersebut, tepatnya di Kampung Babakan Panyingkuran, Encum (60), dengan cekatan menggulung benang-benang kasar menggunakan mesin pintal tangan manual. "Harus cepat, ini namanya malet (pintal) benang untuk pakan tustel (ATBM), supaya bisa dapat dua kayu hari ini," katanya, dalam dialek Sunda.

Sekayu atau satu kayu adalah hitungan kain pel yang bisa Encum buat dalam sehari. Sekayu panjangnya sekitar 36 meter dengan lebar sekitar 1,5 meter. Untuk sekayu kain pel ia diupah 17.000 rupiah. Sedangkan Iim dalam sehari bisa membuat dua kodi keset kain. Upah untuk sekodi keset kain 16.000 rupiah.

Hari ini lumayan sulit untuk melihat kegiatan warga yang menenun keset dan kain pel pakai ATBM di Desa Dukuh. Sebelum pandemi Covid-19 tahun 2020, masih cukup banyak warga yang berprofesi sebagai penenun kain pel dan keset kain.

"Sekarang anak-anak muda nggak ada yang mau jadi penenun, maunya kerja di konveksi atau mini market. Pokoknya nggak mau yang susah-susah seperti menenun, kan harus sabar bikinnya juga," kata Iim.

Encum juga tidak memiliki lagi penerus yang akan melanjutkan kepiawaiannya menenun kain pel. "Cuma tinggal ibu sendiri di sini. Kalau di Kampung Widara mungkin masih ada beberapa, tapi nggak ada yang anak muda mah," kata Encum.

Sulitnya regenerasi diamini oleh Bandar keset kain bernama Ai (50 tahun). Ia merasakan jatuh bangun bisnis yang digelutinya ini pascapandemi Covid-19. "Jadi sampai sekarang usaha ini belum pulih, yang ada omzetnya turun dan tukang tenunnya tinggal orang-orang tua," katanya.

Ai memanfaatkan limbah kain tekstil untuk bahan pembuatan keset. Harga limbah tekstil ini 2.000 per kilogram, sedangkan limbah tekstil berwarna harganya 4.000 per kilogram. Ai mulai bikin keset kain sejak 2011, saat itu jumlah pekerjanya 40 orang. “Sampai sekarang hanya tersisa empat orang saja, kelihatan kan usaha ini makin lama makin redup," kata Ai.

Bandar kain pel di Babakan Panyingkuran, Engkas (40 tahun), mengakui jumlah penenun di kampungnya juga semakin sedikit. "Beberapa tahun lalu kita masih bisa berbagi order menjahit kain pel ke tetangga di depan rumah, sekarang sudah berhenti. Jadi yang menjahit dan mengepaknya dikerjakan saya sendiri. Selain tidak ada generasi muda yang tertarik, harga bahan baku juga selalu naik, dan kadang agak sulit juga dapat bahan benang,” kata Engkas.

Rumah produksi kain pel milik Emglas masih bisa mengirim sekitar 200 kodi kain pel ke Jakarta tiap pekan. Satu kodi kain pel harganya 37.000 rupiah ukuran paling kecil, yang paling besar harganya 90.000 rupiah per kodi. Kini Engkas sangat bergantung pada pasokan kain pel dari penenun di Kampung Widara, karena di kampungnya sendiri hanya tinggal Encum saja.

Proses penjemuran kain pel sendiri ada di antara persawahan terasering di Kampung Tiisdingin. Bentangan kain pel yang sedang dijemur juga tak sebanyak dulu. Siang itu terlihat jemuran membentang di dua petak lahan bekas sawah saja. Dua tahun lalu bentangan kain pel yang dijemur bisa memakan lahan empat sampai lima petak sawah.

Regenerasi mandek dan perubahan perilaku generasi muda di perkampungan saat ini bisa jadi alarm kematian dari industri rumahan tenun kain pel dan keset kain tradisional. Profesi yang menurut Iim sudah berlangsung sejak zaman kakek neneknya masih hidup, masih di masa Hindia Belanda, di mana pemerintah kolonial dulu mengenalkan teknologi tenun ATBM agar proses produksi kain bisa lebih cepat untuk mengganti alat tenun yang jauh lebih kuno, yaitu gedogan atau keuntreung di Majalaya, kini di ambang kepunahan.

Menurut laman bandungkab.go.id, industri tenun di sekitar Majalaya (sampai menyebar ke Paseh, dan Ibun), sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-19, yang diinisiasi oleh orang-orang Belanda. Majalaya sendiri dibentuk oleh Hindia Belanda pada tahun 1800. Industri tenun ini sempat rontok karena krisis keuangan pemerintah Hindia Belanda. Industri tenun Malajaya bangkit lagi sekitar tahun 1930-an. Tahun 1937 alat tenun mesin bertenaga listrik mulai digunakan di Majalaya.

Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//