Bukan Perlawanan Satu Hari
Peringatan Hari Perempuan Internasional (IWD) di Bandung dan Jakarta diikuti orang-orang muda dan lansia lintas komunitas. Hari-hari ke depan tidak boleh diam.
Peringatan Hari Perempuan Internasional (IWD) di Bandung dan Jakarta diikuti orang-orang muda dan lansia lintas komunitas. Hari-hari ke depan tidak boleh diam.
BandungBergerak - Hari Perempuan Internasional (International Women's Day (IWD)) tahun ini serba mengharu-biru. Gerakan masyarakat sipil terus tumbuh di saat mendung menggelayuti iklim demokrasi negeri ini. Suasana muram menjadi latar belakang wajah-wajah ceria peserta aksi IWD di kolong jalan layang Pasupati, Bandung dan sekitar Patung Kuda, Jakarta, 8 Maret 2025.
Kawan-kawan perempuan, difabel, ragam agama, dan ragam gender turun ke jalan di hari istimewa itu. Wajah-wajah mereka didominasi kaum muda yang penuh semangat, beberapa aktivis mungkin baru merasakan turun ke jalan. Dengan wajah berseri-seri mereka mengusung poster-poster beraneka warna dan penuh sindiran yang terkadang terasa lucu dan menyakitkan.
Jauh tersembunyi dari riuh aksi-aksi Hari Perempuan Internasional, terdapat praktik-praktik kotor yang dilakukan para elite negara. Pembunuh buruh perempuan Marsinah sampai hari ini masih melenggang bebas, perusahaan pelat merah berusaha mengeruk keuntungan dengan mengoplos (menipu) Pertamax, tata ruang diobral demi bisnis dan investasi sehingga menimbulkan banjir parah di Jabodetabek. “Pejabat lambat transpuan kebanjiran,” demikian bunyi poster yang diusung seorang transpuan di aksi IWD Jakarta.
Penguasa juga berusaha memasukkan unsur militer di pos-pos yang mestinya diduduki sipil, seperti terlihat dalam poster “Stop militerisasi ruang sipil kembalikan militer ke barak”. Bahkan permainan regulasi, mengutak-atik undang-undang masih terus terjadi. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sudah lebih dari 20 tahun tak disahkan. Sementara undang-undang yang menjadi karpet merah bagi elite mudah dibahas secepat kilat.
Nuansa demokrasi yang berkabut itu terasa dari tema yang diusung para aktivis Bandung, yakni tentang perempuan, kehidupan, pembebasan, dengan tagar #MenerangiIndonesiaGelap. Di Bandung, peringatan Hari Perempuan Internasional diinisiasi Simpul Puan, bersama lintas organisasi yang rutin memperingati IWD setiap tahunnya. Di tengah suasana Ramadan yang riuh dengan kendaraan bermotor dan guyuran hujan seharian, para peserta aksi menghibur diri dengan lagu Bayar Bayar Bayar karya band punk Sukatani yang lagi ngehits. Ratusan orang muda memadati aksi yang dipusatkan di kolong jalan layang sekitar Dago Cikapayang ini.
Kepalan tangan meninju udara, poster-poster di acungkan, gemuruh lirik lagu Bayar Bayar Bayar bergema di dinding-dinding beton flyover. Setelah itu mereka bergantian orasi, berpuisi, dan bermonolog yang mengangkat tema tentang masih suburnya penindasan terhadap perempuan dan kelompok-kelompok minoritas oleh sistem hukum di negara ini.
Sedikitnya ada 49 tuntutan yang mereka serukan, di antaranya mulai dari isu kekerasan seksual, sekolah bukan tempat predator, diskriminasi, RUU PPRT, UU TPKS, boikot Israel, kebijakan diskriminatif kepada LGBTQIA+, menjamin hak politik, sipil, dan sosial bagi ODHA, ODHIV, penyandang disabilitas, kaum minoritas, hak-hak buruh, isu femisida, dan tolak Danantara.
Beberapa lapak komunitas dan organisasi juga ikut mendukung perhelatan IWD di Bandung, di antaranya gerai LBH Bandung, Posko Curhat Buruh, lapakan dari Rise Above Media yang menampilkan sejumlah zine karya dari komunitas dan perorangan, Bandung Solidarity for Palestine, lapak pemeriksaan HIV, dan gerai PBHI.
Sementara kawan-kawan dari organisasi lintas iman turut menyuarakan pesan teduh, bahwa “rumah ibadah bukan ruang eksklusif dan kekerasan”.
Arak-arakan obor jadi penutup rangkaian aksi IWD 2025 di Bandung. Para peserta menyalakan obor sambil berjalan kaki ke simpang Cikapayang Dago, mereka mengusung spanduk dan poster lalu kembali lagi ke kolong jembatan jalan layang Pasupati.
Suara-suara mereka itu bergema di kegelapan kolong jembatan yang minim penerangan. Pemilihan lokasi aksi seperti menjadi simbol bahwa masih banyak ruang-ruang publik di Kota Kembang yang belum aman untuk perempuan dan kelompok rentan. Kejahatan bisa muncul kapan dan di mana saja, tapi kejahatan bisa tercipta di ruang-ruang publik yang tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Tidak jauh berbeda, di Jakarta lagu band Sukatani “Bayar Bayar Bayar” memberikan energi pada massa aksi ketika mereka menyelesaikan konvoi dari Sarinah ke Patung Kuda. Polisi yang berjaga pun turut mendengarkan karya seni yang semakin dikenal luas masyarakat sipil. Lagu kritik sosial tentang kronisnya praktik suap itu didengarkan generasi muda hingga lanjut usia.
Ragam yel-yel mereka nyanyikan di tengah peringatan yang sudah diperingati seabad lalu. Dipimpin Sarah, perempuan yang berdiri dengan berani di atas mobil komando bersama para juru bahasa isyarat dan koordinator lapangan. Dukungan dari para pengendara mengiringi seruan tuntutan yang disampaikan.
Massa aksi turun ke jalan dengan membawa beragam pengalaman dan cerita. Apa yang mereka alami bisa jadi dialami oleh orang lain. Aksi ini bukan masalah individu melainkan suara masyarakat sipil yang menuntut pemenuhan hak-hak mereka.
Gema Suara untuk Aparat yang Abai
Di antara dinding beton jalan layang Pasupati, seorang perempuan berkebaya lantang berorasi. Dia membacakan puisi tentang sikap laki-laki yang dominan di segala aspek kehidupan, di ranah rumah tangga maupun di ruang-ruang publik.
Yuyun (bukan nama sebenarnya), orator tersebut, merupakan mahasiswa dari salah satu kampus di Kota Bandung. Ketidakadilan dan ketidaksetaraan terhadap perempuan di Indonesia mendorongnya untuk turun aksi.
Setelah membacakan puisi, kepada BandungBergerak Yuyun mengungkapkan keresahannya selama ini, terkhusus tentang kekerasan seksual di Indonesia yang memprihatinkan. “Apalagi dalam penanganannya,” tuturnya.
Yuyun mengalami langsung bagaimana merusaknya kekerasan seksual. Ia adalah penyintas kekerasan seksual yang dilakukan oleh temannya.
Ketika dia memproses pengalaman kelamnya tersebut dan melaporkan kejadiannya ke pihak berwajib, kasusnya justru diacuhkan. Bahkan aparat polisi yang bertugas malah melecehkannya.
“Kita tuh ingin mencari perlindungan ke polisi tapi malah polisi ataupun aparatur negara malah menjadi ruang tidak aman,” ungkap Yuyun, yang menjadi takut melanjutkan proses pelaporan.
Perilaku menyalahkan dan menyudutkan korban kekerasan seksual kerap terjadi di Indonesia, mulai oleh aparat hingga masyarakat. “Entah cara kita berjalan, entah cara kita berpakaian gitu kan,” tuturnya.
Menurutnya, pihak berwajib harus memahami bahwa perempuan memiliki hak (kesetaraan) yang sama. Ketika ada korban pelecehan atau kekerasan seksual yang harus pertama kali dilakukan adalah mencari ruang aman dan dukungan.
“Aku pikir ketika kita mengajukan aduan ke Polisi seorang diri, itu sangat sulit untuk ditindak lanjuti. Tapi ketika banyak suara itu gampang ditindaklanjuti,” tutupnya.
Ogah Mengawal Isu Perempuan dan Kelompok Marginal
Permasalahan kekerasan seksual merupakan satu di antara banyak hal yang harus dilawan. Aliansi Perempuan Indonesia (API) pada International Women’s Day di Jakarta membawa tiga isu penting soal perempuan: dimiskinkan, dibunuh, dan dikriminalkan.
Di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran pemiskinan secara struktural terus terjadi, melanjutkan rezim-rezim sebelumnya. Pihak yang paling rentan di tengah maraknya pemiskinan struktural adalah kelompok rentan, seperti perempuan dan anak. Pemiskinan struktural jelas bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Bentuk pemiskinan strukturan antara lain PHK massal. Tahun 2024 ada 80.000 buruh yang kena PHK, sayangnya di tahun 2025 angka PHK berpotensi bertambah hingga mencapai 280.000 buruh.
Bagi kelompok rentan lainnya, seperti difabel dan transpuan, pengabaian terhadap suara dan pemenuhan hak-hak mereka juga masih terjadi.
Kentalnya budaya patriarki yang menomorsatukan kuasa laki-laki juga mendominasi warna kekuasaan di Indonesia. Perempuan dianggap gender kelas dua. Kasus pembunuhan terhadap perempuan marak. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 700 kasus femisida (pembunuhan terhadap perempuan) terjadi hanya dalam waktu 3 tahun dari 2020 hingga 2023, belum terhitung yang tidak diberitakan.
Absennya negara dalam menegakkan peraturan yang mestinya dapat melindungi warga negara turut memperparah kondisi tersebut.
“Minimnya penanganan sistemik oleh kepolisian maupun pemerintah termasuk DPR yang berwenang merevisi kebijakan supaya lebih melindungi perempuan, menunjukkan negara turut andil dalam pembunuhan perempuan!” demikian kata pernyataan resmi Aliansi Perempuan Indonesia (API).
Pembatasan ruang gerak perempuan dan masyarakat sipil lainnya juga terjadi di media sosial. Seperti yang dialami Septia Dwi Pertiwi, seorang buruh perempuan yang beberapa bulan lalu dilaporkan oleh atasannya karena menyuarakan pelanggaran hak-hanya sebagai pekerja. Beruntung kemenangan memihak pada Septia yang mendapat dukungan dari berbagai kalangan masyarakat.
Suara Kaum Adam
Peringatan Hari Perempuan Internasional tentu mengusung semangat inklusif. Laki-laki pun boleh (harus) berpartisipasi. Bukankah Hari Perempuan Internasional bukan saja milik kaum perempuan melainkan juga milik kaum Adam yang menolak patriarkis?
Salah satunya Naufal, mahasiswa Unpad. Dalam orasi lima menitan, Naufal berteriak lantang bahwa Hari Perempuan Internasional bukan hari untuk mengucapkan selamat, bukan juga hari untuk memberikan bunga yang hanya jadi simbol kosong.
“Hari ini adalah hari kita berteriak keras. Hari kita menunjukkan bahwa perempuan mati dihina sampai sekarang, dijerumuskan dan dibungkam dalam setiap aspek kehidupan,” ungkapnya dengan suara bergetar.
Menurutnya, perempuan dipuji saat lahir, dihina saat melawan, dan dibunuh saat berani berbicara. Di hadapan puluhan peserta aksi di kolong Jalan Layang Pasupati, ia mengkritik pandangan patriarki yang masih kuat di masyarakat. Peran perempuan sudah ditentukan hanya untuk melayani kebutuhan saja.
"Tapi begitu perempuan mulai melawan, mereka diserang, dihina, bahkan dibunuh. Apa maksudnya ini? Kita yang membangun peradaban, perempuan-perempuan yang hebat ini telah membangun peradaban," kata Naufal.
Naufal juga menyoroti masih adanya anggapan bahwa perempuan seharusnya hanya di rumah saja dan tidak perlu ribut soal haknya. Dia menegaskan, perempuan tidak akan pernah diam dan akan terus melawan ketidakadilan.
Naufal menyinggung pernyataan seorang wakil rakyat yang menyebut perempuan sebagai alat reproduksi. Pernyataan ini sangat merendahkan martabat perempuan. Ia pun mengajak peserta aksi untuk melek politik.
"Kedok-kedok tersebut, orang-orang tolol tersebut bisa sampai ke meja parlemen. Kita harus mulai berpolitik. Jangan sampai orang beringas, tolol dengan argumentasi-argumentasi cacat, bisa masuk ke meja parlemen untuk menjadikan perempuan bahan reproduksi," sindirnya.
Naufal mengajak seluruh perempuan untuk terus berjuang melawan segala bentuk penindasan, kepada laki-laki ia mengajak untuk ikut serta dalam perjuangan ini. "Dan kalian yang patriarkis, dengarkan ini," pungkasnya.
Tidak akan Selesai Sehari
Aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di Bandung dan Jakarta bukan pekerjaan sehari. Sebelumnya para aktivis terlibat melakukan perencanaan dengan berbagai simpul. Nida (24 tahun), yang terlibat sejak persiapan hari spesial di Bandung menurutkan, konsolidasi peringatan IWD dilakukan sejak jauh hari.
Kawan-kawan dari berbagai komunitas dan latar belakang menyempatkan hadir pada setiap konsolidasi. Ada banyak hal yang disiapkan, seperti pembacaan permasalahan, metode kampanye yang berkesinambungan, hingga menyiapkan pendamping untuk kawan disabilitas. Namun tidak dipungkiri sumbu gerakan hari ini perlu dipancing lewat media sosial.
“Salah satu yang gencar dilakukan oleh tim media kami mulai dari pra-IWD dan pasca di media sosial. Kita mengajak kolaborasi publikasi komunitas dengan media sosial Simpul Puan,” terangnya, kepada BandungBergerak, Selasa, 11 Maret 2025.
Suara-suara yang dianggap kecil oleh mereka yang duduk di kursi kekuasaan nyatanya mampu mendorong kebenaran yang semestinya berpihak pada masyarakat. Perayaan Hari Perempuan Internasional memang hanya satu hari dirayakan di setiap tahunnya setiap 8 Maret, tapi upaya melantangkan hak yang seharusnya terpenuhi bagi perempuan dan kelompok marginal adalah pekerjaan setiap hari yang tidak akan pernah selesai dalam satu hari.
*Liputan yang dikerjakan oleh jurnalis foto Virliya Putricantika dan Prima Mulia serta reporter Yopi Muharam ini merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak dengan Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB)
COMMENTS