BandungBergerak.idMenjelang Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, beberapa warga sibuk lalu-lalang, menemani kawan-kawan yang sibuk mempersiapkan hari H. Mereka tak sekadar menonton dari kejauhan. Ada ibu-ibu yang menyelipkan cemilan ke dalam tangan panitia, ada yang ikut menyusun properti panggung, memberi saran, bahkan mengecek posisi panggung demi keamanan penonton.

Pembagian buku panduan Festival Bandung Menggugat. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)
Pembagian buku panduan Festival Bandung Menggugat. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

“Kata aku itu,” ujar seorang ibu yang akrab disapa Tante, sambil menunjuk foto yang digantung di dekat area pertunjukan, “geser sedikit, takut kena kepala penonton, kalau joget suka ga ke kontrol,” ucap Tante, Jumat siang, 11 April 2025, sesaat sebelum hujan turun.

Tante tak berdiri sendiri. Di balik riuh dan gempita festival keesokan harinya, Sabtu, 12 April 2025, kaum hawa giat menjaga pintu masuk, memeriksa barang bawaan penonton kalau-kalau kemungkinan ada benda mencurigakan atau barang berbahaya, hingga memantau akses belakang panggung.

Sorakan penonton Festival Bandung Menggugat, Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Inilah festival yang diikuti ribuan penonton dengan sistem keamanan yang dibangun para perempuan. Bahasa tubuh mereka tegas namun penuh kehangatan. Mereka menjaga ruang bukan hanya sebagai tempat, tetapi sebagai rasa—dan rasa itu adalah rumah ibu.

Di tengah mural perlawanan dan diskusi-diskusi tajam tentang demokrasi dan ruang hidup, di saat musik keras bergema dari band-band alternatif, di antaranya Sukatani, kehadiran perempuan di Festival Bandung Menggugat tentu bukan pelengkap. Mereka adalah bagian yang menghidupkan dan menggerakkan. Mereka pribadi-pribadi penting dalam ekosistem festival. Festival Bandung Menggugat tidak akan terasa sehangat itu tanpa tangan-tangan perempuan yang tak ragu membantu.

Sorakan penonton. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Ayang, perempuan dari Dago Elos, menjadi wajah dari peran ganda yang diemban banyak ibu: sebagai penjaga dapur, penghubung warga, pengatur logistik, sekaligus pelindung hak atas tanah. Saat ancaman penggusuran menyapa Dago Elos, Ayang tidak hanya aktif mengadvokasi hak hukum warga. Ia juga menghidupkan roda ekonomi lokal, dan menyambut tamu-tamu dari Sukahaji yang baru kehilangan tempat tinggal akibat konflik agraria.

Orasi Kalis Mardiasih (Foto: Abdullah Azam Dienullah/BandungBergerak)

“Memberi kesempatan menggulirkan roda perekonomian warga untuk berjualan. Yang penting di sini, ada tamu dari Sukahaji yang kemarin mengalami kebakaran. Sudah ada benih-benih perlawanan dari warga Sukahaji, di mana warga Dago Elos ikut tersulut semangatnya untuk memperjuangkan ruang hidup,” katanya.

Panggung festival ini tak hanya milik pemantik diskusi dan musisi. Di sudut lain, pameran foto karya Virliya Putricantika dalam tajuk Melawan sebagai Keseharian menghadirkan gambar-gambar yang menyejajarkan anak-anak, ibu-ibu, dan ruang publik sebagai satu kesatuan. Salah satu foto menampilkan anak memegang bendera dengan tulisan “Dago Melawan”, berdiri di antara barisan warga. Di belakangnya, para perempuan menjadi benteng—bukan sebagai latar belakang, tapi sebagai barisan depan.

Mendengar. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

“Banyak sekali kasus penggusuran di Bandung yang tidak hanya oleh anak-anak muda dan orang tua, tetapi anak kecil yang ruang bermainnya terus terancam pun turut berpartisipasi atas pengawalan tuntutan ini,” ujar Virliya.

Ia menambahkan bahwa energi anak-anak dalam memperjuangkan tuntutan sangat kuat, tapi harus dirawat secara konsisten oleh orang tua dan orang mudanya. Karyanya mengajak apresiator untuk meningkatkan kepekaan terhadap ancaman terhadap lingkungan sekitar, karena perampasan ruang bisa menyasar siapa saja, kapan saja.

Di samping lapakan buku. (Foto: Arif ‘Danun’ Hidayah/BandungBergerak)

Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis dari Yogyakarta, menggambarkan bagaimana setiap perampasan ruang hidup selalu menempatkan perempuan dalam posisi paling rentan. Dalam setiap penggusuran, ada ibu hamil yang sesak napas karena asap pembakaran, ada ibu yang menangis memikirkan buku sekolah anaknya yang ikut hilang, dan ada anak perempuan yang mendadak harus menikah karena keluarganya kehilangan tempat tinggal dan penghasilan.

Terpantik orasi Herry Sutresna. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Ia menolak gagasan bahwa perempuan kuat hanya bisa diukur dari rasionalitas dan ketenangan.

“Orang-orang menyebut bahwa perempuan berdaya atau perempuan modern adalah mereka yang berargumen dengan rasional, menggunakan cara-cara yang tidak emosional atau sentimentil. Anggapan tersebut menihilkan berbagai daya resiliensi gerakan perempuan,” tegasnya.

Tarian perlawanan. (Foto: Arif ‘Danun’ Hidayah/BandungBergerak)

Dalam berbagai aspek festival, peran perempuan terus muncul. Musik, misalnya, menjadi medium penyampaian kritik sosial yang tak kalah kuat. Cipoy dari band Sukatani menyuarakan kewaspadaan terhadap solidaritas palsu untuk memperkaya kantong pribadi.

Perempuan dalam gerakan adalah fondasi itu—mereka tidak mencari sorotan, tapi merawat bara dalam dapur, dalam logistik, dalam forum musyawarah kampung, dalam pertunjukan seni kecil di sudut RW, dan di pokok lapakan buku.

Merawat suara perlawanan. (Foto: Abdullah Azam Dienullah/BandungBergerak)

Dari lumbung pangan, koperasi warga, hingga dapur kolektif saat pandemi—perempuan menjadi jantung yang memompa energi kolektif itu. Festival ini membuktikan bahwa mereka bukan hanya penerima dampak, tapi juga produsen harapan. Mereka yang pertama tiba dan terakhir pulang. Mereka yang menyulut semangat dan tetap tenang saat semuanya kacau.

Mereka pula yang memberikan pendidikan pertama pada anak-anak sejak dalam buaian, agar buah hati mengenal dunia dan menginjak balik ketidakadilan yang mungkin menimpa.

*Foto dan narasi berita visual ini disusun Virliya Putricantika 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//