BandungBergerak.idSuasana khidmat menyelimuti Kampung Adat Cireundeu pada Jumat pagi, 27 Juni 2025. Ratusan warga, tua-muda, larut dalam prosesi ritual “Tutup Taun Ngemban Taun” untuk menyambut 1 Sura 1959 dalam penanggalan kalender Sunda.

Sejak matahari terbit, kampung yang terletak di wilayah Kota Cimahi, berbatasan langsung dengan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, telah dipadati warga yang mengenakan busana adat Sunda. Anak-anak laki-laki tampil dalam balutan pangsi lengkap dengan ikat kepala batik, sementara anak-anak perempuan anggun berkebaya. Pakaian serupa juga dikenakan oleh para orang dewasa, memperkuat suasana tradisional yang kental.

Dalam keheningan yang sarat makna, mereka memanjatkan doa, memohon restu kepada Yang Maha Kuasa agar tahun yang baru dapat diisi dengan harapan, keselamatan, dan keberkahan. Bagi masyarakat Cireundeu, momen ini bukan sekadar pergantian waktu, melainkan sebuah perenungan spiritual dan kultural yang mempererat ikatan mereka dengan leluhur dan alam semesta.

Mbah Widi dan Mbah Asep selaku tetua kampung, secara bergantian menjelaskan bahwa ritual ini sebagai bentuk terima kasih atas semua yang didapat masyarakat kampung adat Cireundeu. Mereka bersyukur atas hasil bumi yang mereka panen dan olah. Mereka siap mengisi tahun baru dengan tetap berserah diri pada Yang Maha Kuasa. 

Ritual diwarnai dengan saling memaafkan dan menyantap hidangan bersama. Acara akhir, warga melakukan ziarah ke makam para leluhur sebagai bentuk penghargaan pada masa lalu yang telah membentuk masa kini. 

“Intinya kegiatan ini untuk bersyukur, mengolah hasil bumi sedemikian rupa dan dimakan bersama,” ujar Kang Entis, pengelola sampah Kampung Adat Cirendeu.

Momen ini sekaligus menjadi perekat kebersamaan warga, seraya saling mengingatkan kembali nilai-nilai leluhur yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Iya kebersamaan, memohon kita di sini hidup damai, akur, rukun, repeh, rapih. Bukan sama manusia aja hidup rukunnya kan di sini ada tumbuh-tumbuhan, hewan, dan segala rupa,” terang Entis.

Bagi masyarakat adat Cirendeu, kerukunan antarsesama manusia sama pentingnya dengan pernghormatan terhadap alamNilai ini yang selalu ditekankan karuhun mereka dan diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka dikenal religius, tetapi berusaha menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Yang terkenal dari kampung adat ini adalah makanan pokok. Sejak tahun 1918 masyarakat Cireundeu mengganti konsumsi beras menjadi singkong. Kang Entis bercerita, peristiwa ini dilatari oleh semangat perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Waktu itu hasil sawah produksi beras dibeli dengan harga yang begitu murah oleh pemerintahan kolonial. Maka, leluhur kampung Cireundeu memilih berhenti menanam padi dan beralih ke singkong atau ketela pohon.

Peralihan itu tidak terjadi seketika. Butuh enam tahun untuk masyarakat adat Cireundeu menemukan teknik mengolah singkong menjadi nasi. Semangat perlawanan itu terus dirawat oleh masyarakat kampung Cireundeu. Bagi mereka, karuhun telah mengajarkan cara mencapai kemerdekaan lahir dan batin.

The Jarian

Penyesuaian diri dengan perkembangan zaman juga terjadi dalam kegiatan pengelolaan sampah. Sudah tiga tahun kampung ini menerapkan prinsip pemilahan sampah. Ini menanggapi banyak produk berbahan plastik dan sebagainya yang sekarang digunakan juga oleh masyarakat Cireundeu.

“Mengolah sampah bagi kita itu sebagian dari cara beribadah, yang diajarkan leluhur itu. Beribadah bukan cuma ritual aja tapi menolong sesama dan membersihkan lingkungan,” ujar Entis.

Setiap rumah di kampung ini melakukan pemilahan sampah ke dalam tiga kategori, yakni sampah alam, sampah organik, dan sampah daur ulang. Nantinya sampah-sampah ini akan diangkut oleh Kang Entis untuk dikumpulkan di tempat bernama The Jarian.

The Jarian menjadi tempat pengolahan sampah yang dikompos dan didaur ulang. Dengan metode ini The Jarian sekarang hanya menyisakan residu yang tetap harus dibuang ke tempat pembuangan sampah (TPS) dengan jumlah yang lebih sedikit. Kurang lebih hanya 100 kilogram sampah residu yang harus dikirim ke TPA Sarimukti, tempat pembuangan sampah untuk wilayah Bandung Raya yang kapasitasnya sudah melebihi daya tampungnya.

“Orang tua dulu atau leluhur mengajarkan kita memperlakukan sesuatu dengan baik dan benar. Walaupun itu sampah ya harus dikelola dengan baik,” ujar Kang Entis.

Sampah yang masih bisa didaur ulang mereka jual, sementara sampah yang bisa dikompos mereka manfaatkan untuk urusan pertanian, misalnya pupuk organik.

Masyarakat kampung Cireundeu memandang sampah sebagai tanggung jawab bersama bukan individu atau keluarga. Warga setempat melakukan iuran rutin untuk menjaga aktivitas pengelolaan sampah ini terus terlaksana. Mengelola sampah bagian dari bentuk syukur terhadap semesta.

 

*Fotografer dan Penulis: Rokky Rivandy & Minati Nur HL Radja

*Liputan ini bagian dari program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism) yang diinisiasi Eco Bhinneka Muhammadiyah dan berkolaborasi dengan BandungBergerak 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//