Aku tidak Berhenti
Diskriminasi pada kelompok minoritas gender terjadi di dunia maya dan nyata. Sebagai transgender, Selly belum pernah benar-benar merasakan apa itu ruang aman.
Diskriminasi pada kelompok minoritas gender terjadi di dunia maya dan nyata. Sebagai transgender, Selly belum pernah benar-benar merasakan apa itu ruang aman.
BandungBergerak.id - Selly (21 tahun), transgender perempuan, datang ke Bandung dengan harapan akan ruang aman dan ramah. Di kota yang mengklaim menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), ia sempat menjadi mahasiswi di sebuah kampus swasta. Namun harapannya pupus—lingkungan kampus yang tidak menerima keberadaannya membuat Selly memutuskan untuk berhenti. Sejak itu, ia memilih bertahan dengan menjadi dirinya sendiri, tanpa lagi mencoba menyesuaikan diri dengan dunia yang menolaknya.
Selly mulai menyadari bahwa dirinya berbeda sejak duduk di bangku SMP. Saat itu, Selly justru merasa lebih nyaman memakai sarung layaknya rok. Ia biasa memilih mengekspresikan dirinya dengan cara yang dianggap “tidak biasa” oleh lingkungan sekitar. Meskipun saat itu ia belum sepenuhnya memahami apa yang dirasakannya.
Rasa itu terus ada hingga memasuki dunia kuliah. Selly mulai lebih berani menunjukkan siapa dirinya. Di jurusannya, ia bertemu beberapa teman queer lainnya—transpuan, non binary, dan mahasiswa dengan ekspresi gender beragam.
“Waktu itu rasanya kayak, aku nggak sendirian,” tutur Selly, di satu kamar kecil di Bandung, Minggu, 20 Juli 2025.
Pertemuan Selly dengan individu-individu sejalan membuatnya merasa sedikit lebih aman untuk tampil dan mengekspresikan diri. Selly mengatakan, ia hanya ingin menjadi seseorang yang berhak memilih jalan hidupnya. Menjadi diri sendiri.
Lewat gaya berpakaiannya Selly mengekspresikan identitasnya. Ia menyukai gaya tahun 2000-an yang ekspresif, feminin, dan berani—perpaduan antara campy, glamorous, dan feminine. Baginya, berpakaian menjadi bentuk perlawanan.
Fesyen juga menjadi pintu masuk bagi Selly untuk menciptakan ruang kerja yang mandiri. Kini, ia menjalani hari-harinya sebagai pemilik usaha toko online pakaian tangan kedua (secondhand). Ia menjual koleksinya lewat Instagram dan TikTok, langsung dari kamar kos yang sekaligus menjadi tempat tinggal, tempat kerja, dan satu-satunya ruang yang terasa cukup aman baginya.
Media sosial menjadi alat penting bagi Selly—bukan hanya untuk mencari nafkah, tetapi juga sebagai panggung untuk bersuara. Ia rutin membuat konten, melakukan sesi live, dan memasarkan produknya melalui akun yang perlahan dikenal banyak orang. Di antara unggahan outfit dan keseharian, Selly menyelipkan pesan-pesan tentang hak-hak transgender, memperlihatkan keberadaannya dengan cara yang jujur dan otentik.
“Banyak dari kami yang pengin kerja atau kuliah, tapi kesempatannya minim karena identitas,” ujarnya.
Bagi Selly, perjuangan transgender bukan hanya soal ekspresi diri, tapi tentang akses pada hal-hal paling mendasar: pekerjaan yang layak, pendidikan yang terbuka, layanan kesehatan, dan rasa aman di ruang publik.
Menurut data dari World Visualized pada tahun 2024, Indonesia menduduki peringkat 11 di dunia sebagai negara dengan jumlah populasi transgender terbesar dengan populasi sebanyak 43 ribu jiwa. Kendati demikian, diskriminasi gender masih menjadi permasalahan di negeri ini. Transgender, yang termasuk ke dalam kelompok LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer) sering kali mengalami diskriminasi baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Di kota-kota besar seperti Bandung, ruang aman untuk berekspresi masih terbatas. Awal 2023, DPRD Kota Bandung mulai merencanakan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai pencegahan dan larangan LGBT. Alih-alih menciptakan ruang aman, wacana kebijakan semacam ini justru memperkuat stigma, mempersempit akses terhadap layanan dasar, dan mendorong komunitas rentan semakin terpinggirkan.
“Kami (transgender) semua manusia, dan kami nggak minta lebih. Kami cuma minta hak kita dihargai,” pesannya.
*Foto dan Teks: Selsha Septifanie
COMMENTS