Muril Rahayu, 10 Tahun setelah Gempa Bumi Sesar Lembang
Sepuluh tahun lalu ratusan rumah di kampung Muril Rahayu rusak akibat gempa bumi sesar Lembang. Bencana itu menjadi momentum memperbaiki kesadaran mitigasi.
Sepuluh tahun lalu ratusan rumah di kampung Muril Rahayu rusak akibat gempa bumi sesar Lembang. Bencana itu menjadi momentum memperbaiki kesadaran mitigasi.
BandungBergerak.id - Pada 28 Agustus 2011, tepat hari ini 10 tahun lalu, gempa bumi mengguncang kampung Muril Rahayu, RW 15 Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Meski kekuatan gempa bumi itu ‘hanya’ magnitudo 3,3, kerusakan yang diakibatkannya tidak kecil. Hampir 400 rumah rusak, memaksa ratusan orang penghuninya mengungsi sementara.
Gempa bumi yang terjadi pada pukul empat sore itu bersumber sesar Lembang, yang melintas dalam jarak ratusan meter saja dari Kampung Muril Rahayu, dengan kedalaman yang relatif dangkal. Tidak mengherankan jika dampak merusaknya begitu hebat.
“Pusat gempanya teh di sini, Neng, di rumah ini. BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) juga waktu itu malamnya langsung ke sini, ngecek,” cerita Imas (38) ketika ditemui di rumahnya, Rabu (25/8/2021).
Pada kenyataannya, gempa bumi hari itu bukan saja mengguncang kampung Muril Rahayu. Bencana ini juga mengentak kesadaran banyak orang, juga lembaga dan pemerintah, tentang keberadaan sesar Lembang, yang membentang sepanjang 29 kilometer dari kaki Gunung Manglayang ke Padalarang, sebagai sebuah sesar aktif yang punya potensi mengancam keselamatan jutaan orang penduduk di kawasan Bandung Raya.
Lewat serangkaian penelitian, diketahui sesar Lembang bergerak geser mengiri dengan kecepatan 4 milimeter per tahun. Pada 2016, Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI mengungkap bahwa pernah terjadi sedikitnya dua kali gempa bumi berkekuatan lebih dari magnitudo 6, yakni sekitar 2000 lalu dan pada abad ke-15. Artinya, gempa bumi dengan skala lebih besar dari magnitudo 3,3 bisa sewaktu-waktu terjadi.
Sepuluh tahun setelah diguncang gempa bumi, banyak hal terjadi di Muril Rahayu, kampung seluas 15 hektare yang ditinggali 154 kepala keluarga (KK). Warga melakukan kegiatan sehari-hari mereka secara lumrah, namun kali ini, dengan kesadaran akan kebencanaan yang jauh lebih baik.
Tentu akan sangat rumit bagi warga untuk bisa memindahkan rumah-rumah mereka, menjauh dari lintasan sesar Lembang. Pertimbangan biaya menjadi yang utama. Namun, cukup banyak sosialisasi dan pelatihan mitigasi bencana yang sudah diperoleh warga. Mereka pun sudah menyebakati lapangan bola voli di kampung mereka sebagai tempat evakuasi.
Peneliti Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano menyebut makin banyak dan makin baiknya mutu riset tentang sesar Lembang dalam 10 tahun terakhir. Para peneliti muda yang andal terlibat dalam riset yang dipublikasikan dan berhasil memberikan dampak signifikan.
“Jembatan antara sains dan sosial juga mulai terbangun, sudah bagus. Beberapa kerja sama antara ilmuwan, komunitas sipil, dan forum-forum kemasyarakatan dalam mitigasi memang masih awal, tapi ini perkembangan yang sangat signifikan,” tuturnya.
Di kampung Muril Rahayu, Ratna (37) memang mengaku belum bisa sepenuhnya menghilangkan trauma bencana gempa bumi 10 tahun lalu. Ketika itu dia berada di dalam rumah yang setengah bagiannya amblas ke areal perkebunan. Namun dari tahun ke tahun, Ratna dan keluarganya terus berbenah, dimulai dengan memperbaiki rumah yang jadi tempat berlindungnya.
“Udah dibenerin, Neng, sekarang rumahnya,” tuturnya. “Dikit-dikit, Alhamdulillah beres.”
Foto dan teks: Virliya Putricantika
COMMENTS