Menjelajah dan Menafsir Gunung Papandayan
Letusan di tahun 1772 dan 2002 meninggalkan banyak lokasi ikonik di kawasan Gunung Papandayan. Pengetahuan geomorfologis jadi bekal penting untuk menjelajahinya.
Letusan di tahun 1772 dan 2002 meninggalkan banyak lokasi ikonik di kawasan Gunung Papandayan. Pengetahuan geomorfologis jadi bekal penting untuk menjelajahinya.
BandungBergerak.id - Begitu turun dari bus di lahan parkir kawasan Gunung Papandayan, Sabtu (4/9/2021) pagi, para peserta geotrek langsung disuguhi pemandangan yang mempesona. Di kejauhan, gumpalan-gumpalan uap menyembul dari balik tebing.
Gunung Papandayan, yang berada di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, menjulang setinggi 2.655 meter di atas permukaan laut. Gunung ini termasuk tipe gunung A karena pernah meletus setelah tahun 1600, tepatnya pada 1772.
Letusan besar itulah yang membuat Gunung Papandayan sumbing. Kalderanya memiliki garis tengah sepanjang lebih dari satu kilometer. Juga terbentuk kawah yang cukup dalam dan merekah, yang mengembuskan uap dari kawasan yang dulunya disebut ‘pamentasan’ dan saat ini dijadikan lahan parkir.
“Sebelum terjadi letusan itu, Bunjangga Manik, putra mahkota Kerajaan Sunda, pernah melakukan perjalanan dan catatannya tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, sejak 1627. Dari gunung yang biasa disebut panenjoan itu, kita dapat memandang ke berbagai arah, sebelum menjadi sumbing seperti sekarang ini” tutur penafsir (interpreter) T. Bachtiar kepada puluhan peserta geotrek yang datang dari Bandung.
Inilah kegiatan geotrek pertama di masa pandemi Covid-19. Mulanya direncanakan pada Juni 2021 lalu, perjalanan ke Gunung Papandayan baru kesampaian setelah gelombang kedua mereda sehingga tempat-tempat wisata mulai memperoleh kelonggaran.
Berjalan di tengah kaldera yang diapit oleh Tebing Kelir dan Tebing Walirang, para peserta geotrek bisa menikmati saksi bisu letusan yang terjadi pada tahun 2002 silam. Jika diibaratkan, gunung ini seperti batu yang sedang dikukus oleh ‘kompor’ yang berada di bawahnya. Sedikit guncangan dengan mudah membuatnya hancur karena kondisi bebatuan yang rapuh.
Perjalanan berikutnya membawa para penjelajah menemui aliran Sungai Ciparugpug. Setelah melewati bentang alam yang luas, mereka dapat melihat danau kawah baru. Warna airnya yang berubah-ubah sesuai tinggi rendahnya sulfur ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para penjelajah dan wisatawan umum lainnya.
Kemegahan Gunung Papandayan tidak berhenti sampai di situ. Ada Hutan Mati yang menjadi lokasi ikonik mengambil gambar. Tumbuhan-tumbuhan yang mati akibat erupsi pada tahun 2002 silam terlihat unik.
Bentang alam pegunungan, termasuk gunung api, memang menyimpan banyak keindahan bagi para penjelajah dan wisatawan. Namun, mengetahui serta memahami cerita geomorfologisnya niscaya bakal memberikan nilai lebih pada setiap perjalanan, terlebih karena kita tinggal di negeri cincin api (ring of fire).
Foto dan teks: Virliya Putricantika
COMMENTS