• Foto
  • Memaknai Perjalanan Hidup di Situs Gunung Nagara Padang

Memaknai Perjalanan Hidup di Situs Gunung Nagara Padang

Perjalanan mendaki Situs Gunung Nagara Padang Ciwidey adalah perjalanan memaknai hidup. Termasuk memaknai hubungan timbal balik antara manusia dengan alam.

Fotografer Miftahudin Mulfi16 Oktober 2021

BandungBergerak.idSitus Gunung Nagara Padang di Ciwidey, tepatnya di desa Rawabogo, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, merupakan bagian dari rangkaian pegunungan Bandung Selatan yang terbentuk pada zaman Miosen dengan ketinggian 1.224 meter di atas permukaan laut. Bentuk dan susunan batuannya yang unik dikaitkan dengan laku spiritual yang masih dihidupi masyarakat sampai hari ini.

Kata “padang” dalam bahasa Indonesia berarti lapangan luas, sedangkan dalam bahasa Sunda dan Sansakerta berarti terang-benderang. “Padang” dalam Gunung Nagara Padang diartikan sebagai orang yang telah menerima kelapangan hati dan batin setelah melakukan perjalanan menemukan jati diri.

Di sepanjang jalur pendakian Gunung Nagara Padang, terdapat pesan-pesan yang digambarkan dalam wujud (tanggara), nama (ungkara), dan makna (uga) dari setiap situs batu yang dilewati secara berurutan. Pesan-pesan itu kemudian bisa dimaknai secara menyeluruh sebagai sebuah perjalanan hidup manusia, baik badaniah maupun rohaniah.

Karakter batuan yang unik di Situs Gunung Nagara Padang dibagi ke dalam 17 tingkat yang menyimbolkan siklus atau proses perjalanan hidup manusia. Ada tiga kelompok besar, yakni siklus kelahiran dan masa anak-anak, siklus masa dewasa, dan siklus masa kebijaksanaan.

Siklus pertama disimbolkan dengan batu Cikahuripan, Kaca-Kaca, Palawangan Ibu, Paibuan, Panyipuhan, dan Poponcoran. Siklus kedua disimbolkan dengan batu Saadeg, Gedong Peteng, Karaton, dan Kutarungu. Sedangkan siklus ketiga disimbolkan dengan batu Masjid Agung, Bumi Agung, Korsi Gading, Pakuwon Prabu Siliwangi, Lawang Tujuh, Leuit Salawe Jajar dan Puncak Manik.

Situs Gunung Nagara Padang menjadi tempat pelaksaan ritual Miasih ka Bumi Nagara Padang yang waktunya ditentukan oleh pupuhu adat. Berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, ritual ini berlangsung setiap bulan September, dengan rangkaian kegiatan yang berbeda setiap tahunnya.

Lewat ritual ini, masyarakat diingatkan untuk merawat dan menjaga kesuburan mata air yang menjadi sumber daya utama manusia. Air bersumber dari gunung, dan gunung disimbolkan sebagai sifat ibu yang menyayangi anaknya. Jika gunung rusak, sumber pasokan airnya mulai terganggu.

Demikianlah alam dan manusia saling tergantung. Manusia membutuhkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, alam membutuhkan manusia untuk menjaganya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//