Warisan dan Cinta Juragan Teh Gambung
Pengembangan kebun teh oleh Kerkhoven tidaklah menjadi daya tarik bagi Jenny hingga akhir hidupnya.
Pengembangan kebun teh oleh Kerkhoven tidaklah menjadi daya tarik bagi Jenny hingga akhir hidupnya.
BandungBergerak.id - Embusan angin melengkapi panorama indah perkebunan teh Gambung, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Di balik hamparan teh sejauh mata memandang itu, terdapat sejarah yang jarang terungkap.
Rudolf Eduard Kerkhoven merupakan sosok yang berperan di balik perkebunan teh Gambung. Ia adalah bagian dari dinasti para juragan perkebunan di wilayah Priangan bersama Bosscha, Hole, dan para preangerplanter lainnya. Perjuangan R.E Kerkhoven dalam menghidupkan perkebunan tidaklah mudah: peluh, keluh, konflik, dan tentu juga cinta, harus ia lalui.
Dalam kisahnya, R.E Kerkhoven membangun perkebunan teh sebagai persembahan cinta untuk istrinya, Jenny, seorang sosialita di Batavia. Rupanya pengembangan kebun teh oleh Kerkhoven tidaklah menjadi daya tarik bagi Jenny hingga akhir hidupnya.
Kini, perkebunan warisan R.E Kerkhoven tersebut dikelola oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung. PPTK Gambung juga melakukan pemasaran beragam produk teh Gambung, salah satunya teh hijau yang dikerjasamakan dengan PT. KBP Chakra, serta teh putih yang diproduksi sendiri dan kemudian dipasarkan hanya di dalam negeri.
Jejak-jejak R.E Kerkhoven hingga kini masih tampak. Salah satunya, tanaman teh tua yang usianya sekitar 120 tahun. Pohon teh ini tumbuh subur di balik pot beton yang tersimpan lestari di salah satu titik wilyah PPTK Gambung.
Konon, bonsai teh tersebut merupakan anakan dari tanaman teh pertama yang Kerkhoven tanam pada tahun 1901. Di usianya yang sudah lebih dari satu abad, tanaman itu masih terawat dan menghasilkan daun-daun teh segar.
Sekitar 500 meter ke sebelah barat laut dari kantor PPTK, terdapat makam sang juragan dengan nisan bertuliskan angka 1848-1918. Makam R.E Kerkhoven berdampingan dengan makam istrinya. Di sana juga terdapat satu makam lagi yang masih belum dikenali.
Di bawah lindungan pepohonan rasamala (Altingia excelsa) yang rimbun, di tepian hamparan kebun teh seluas 600 hektar, makam tersebut seakan tengah menyaksikan perubahan zaman.
Teks dan Foto: Ahmad Abdul Mugits Burhanudin
COMMENTS