Fenomena Berburu Pakaian Bekas di Tengah Perdebatan Isu Lingkungan
Berburu pakaian bekas yang kini dikenal thirft shopping diyakini lebih ramah lingkungan di tengah pencemaran akibat industri fesyen.
Berburu pakaian bekas yang kini dikenal thirft shopping diyakini lebih ramah lingkungan di tengah pencemaran akibat industri fesyen.
BandungBergerak.id - Thirft shopping atau berburu pakaian bekas kini tengah digandrungi masyarakat. Kegiatan yang awalnya dilakukan oleh kalangan bawah menjadi tren bagi semua kalangan. Dengan harga yang minim, pembeli bisa mendapatkan pakaian dengan mode yang variatif. Bahkan di media sosial ada tren berburu hidden gem tempat nge-thirft.
Pasar Cimol Gedebage adalah surga bagi mereka yang mencari "harta karun" pakaian bekas. Nama Cimol berasal dari singkatan Cibadak Mall. Dulu, tahun 1990, di sepanjang Jalan Cibadak mulai berjejer para pedagang yang menjual pakaian bekas. Nama ini tetap dipakai hingga sekarang meskipun telah berpindah tempat.
Teriakan tawaran para pedagang bersahutan ketika memasuki Pasar Cimol Gedebage. Papan harga amat murah terpampang di setiap sudut. Di lain sisi, ada juga pedagang yang hanya diam memandangi orang-orang lalu lalang. Tampaknya tanpa ajakan pun, pembeli akan tetap datang.
Ragam jenis pakaian disajikan, tiap toko menjajakan pakaian yang senada. Misalnya Ari (47), ia menjual berbagai macam celana pria dari mulai celana formal, celana cargo, dan celana pendek dengan bahan yang berbeda-beda.
“Semua kalangan, ada artis juga ke sini,” katanya dengan bangga saat pertama kali dijumpai, Minggu (28/11/2021).
Tak jauh dari toko Ari, ada Soni (43) yang sedang merapikan dagangannya. Tokonya khusus menjual jaket-jaket parasut yang ia pajang sesuai dengan kriteria harga yang telah ditentukan. Jajaran paling atas adalah jaket-jaket dengan harga yang paling tinggi, telah ia kurasi dan ditampilkan semenarik mungkin.
Di sisi luar Pasar Cimol Gedebage, berjejer toko bal-balan. Dagangan yang dipajang kedua pedagang tadi adalah hasil bongkar bal yang mereka beli dari sini. Bal-balan ini berasal dari Korea dan Jepang.
"Isinya tergantung tipe, Ada yang khusus hoodie, sweater, kaos, dan lain-lain. (Bal) Ini ga cuma buat pedagang sekitar, bisa dibeli sama luar (masyarakat umum)", ucap Endi (23) pegawai di salah satu toko bal di Pasar Cimol Gedebage.
Mengurangi Limbah Tekstil
Fenomena thrift shopping disebut-sebut bisa mengurangi limbah tekstil yang diproduksi industri fast fashion. Fast fashion merupakan istilah bagi industri tekstil yang mempunyai beragam model fesyen yang silih berganti dalam kurum waktu singkat. Juga dengan menggunakan bahan baku yang berkualitas rendah sehingga tidak tahan lama.
Laporan tahun 2021 dari World Economic Forum mengidentifikasi mode dan rantai pasokan industri fast fashion sebagai pencemar ketiga di planet ini, setelah makanan dan kontruksi. Industri fesyen melepaskan 5 persen emisi gas rumah kaca dunia yang memicu pemanasan global.
Budaya thrift digadang-gadang dapat mengurangi masalah lingkungan. Ini karena pada dasarnya, konsep thrifting ini adalah pemindahtanganan barang. "Lebih panjang umurnya gitu soalnya kan istilahnya cuma dipindahtangankan," ucap Ari, seraya mengotak-atik salah satu celana dagangannya.
Pembeli di Cimol bisa mendapatkan pakaian kualitas tinggi dengan harga murah. Dengan harga serupa, pakaian dari brand fast fashion akan jauh lebih rendah kualitasnya. Kualitas bahan yang rendah menyebabkan pakaian tersebut cepat rusak dan bisa menimbulkan limbah pakaian. Ini salah satu alasan mengapa thrift lebih ramah lingkungan.
Akbar (21), pengunjung yang sedang mencari celana cargo pendek di toko milik Ari, mengatakan bahwa budaya thrift mungkin saja ramah lingkungan. Tetapi ia juga menyoroti penyortiran pakaian yang dilakukan para pelaku usaha.
"Itu memang bagus, tapi yang gua tahu ga semua isi dari bal-balan itu dipajang. Yang ga kepakai kan itu mungkin dibuang. Malah nambah-nambahin limbah juga," ucapnya.
Ari memang tidak memajang seluruh pakaian dari bal yang ia beli, tak seperti Soni. Sisa pakaian yang tak terpakai dari proses penyortiran ia buang ke sekitar pasar. Terbesit pikiran bahwa ini menjadi sedikit bertentangan dengan anggapan bahwa thrifting bisa mengurangi masalah lingkungan yang dihasilkan fast fashion.
Annisa Putri (21) yang sudah beberapa kali berbelanja di Cimol juga setuju dengan konsep belanja pakaian bekas lebih ramah lingkungan. Katanya, pakaian bekas walau sudah tak digunakan oleh pemilik pertamanya, fungsinya masih sama, tak jadi sampah. Karena pakaian tersebut sudah memiliki pemilik yang baru.
Adapun mengenai kegundahan mengenai pakaian bekas sisa pemilahan bal-balan, atau yang benar-benar tidak layak jual, maka daur ulang menjadi salah satu cara mengatasinya. Salah satu perusahaan fesyen asal Jepang, Uniqlo, membuat program Re.Uniqlo dalam rangka mengurangi emisi karbon dunia yang dihasilkan industri fast fashion. Caranya, dengan menyediakan kotak keranjang di semua cabang seluruh dunia yang dapat menampung pakaian bekas, rusak maupun layak pakai khusus untuk merk Uniqlo.
Langkah yang baik. Karena tak semua orang mengerti cara untuk mendaur ulang pakaian yang telah rusak, mungkin mereka belum cukup peduli. Atau juga mereka tidak cukup peka terhadap masalah ini.
Di toko Uniqlo cabang Mall Paris Van Java, Bandung, kita bisa melihat kotak tersebut terletak di sebelah kiri kasir. Hanya terdapat beberapa potong pakaian di dalamnya. Di dinding tempat fitting room, terdapat tulisan penjelasan mengenai program Re-Uniqlo. Salah satu pegawai menuturkan jika perhatian pengunjung terhadap program ini di tempatnya masih kurang.
Menurutnya perlu sosialisasi kepada masyarakat agar program ini makin diketahui orang banyak. Program telah diperkenalkan sejak cabang ini dibuka sekitar dua tahun lalu. "Orang datang ke sini untuk belanja, ga akan kepikiran bawa pakaian bekas," pegawai tersebut, Jumat (26/11/2021).
Pada akhirnya, permasalahan yang ditimbulkan thrifting ataupun fast fashion, akan kembali kepada konsumen dalam menyikapi fesyen dan lingkungan. Bijak dalam berbelanja menjadi pertimbangan utama. Apakah kita akan menggunakan pakaian tersebut dalam jangka panjang? Atau justru pakaian yang kita beli malah akan menambah tumpukan di dalam lemari dan akhirnya tak terpakai lalu menjadi limbah.
Teks dan foto: Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id
COMMENTS