• Foto
  • Laga Para Penghayat Muda

Laga Para Penghayat Muda

Komunitas penghayat Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) di Bandung Raya terus tumbuh dalam segala keterbatasan dan pembatasan. Anak-anak muda mengambil peran penting.

Fotografer Virliya Putricantika28 Mei 2022

BandungBergerak.id - Untuk pertama kalinya di masa pandemi Covid-19, ratusan orang penghayat Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) bisa kembali berkumpul di Pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih, Ciparay, Kabupaten Bandung, Minggu (20/2/2022) pagi. Perayaan berlangsung khidmat. Para penghayat cilik duduk bersila didampingi orangtua mereka yang datang dari berbagai pelosok daerah di kawasan Bandung Raya.

Ada lima anak muda penghayat yang menginisiasi kegiatan yang menjadi bagian dari peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional itu. Mereka merupakan para penyuluh yang mengambil tanggung jawab sebagai pendidik atau semacam ‘guru’ bagi adik-adik mereka. Pagi itu, komunitas Danurweda digandeng untuk mengenalkan aksara Sunda kepada para peserta didik.

Sintia Soniawati (23) mengajar anak dan premaja penghayat AKP di Pasewakan Kerta Tataning Linuwih, Ciparay, sejak duduk di bangku SMA. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Sintia Soniawati (23) sudah secara aktif mendampingi anak-anak penghayat sejak dirinya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Dia saat ini menjadi satu dari hanya lima orang penyuluh yang dimiliki oleh AKP, komunitas keyakinan dengan lebih dari seribu orang pengikut.

“(Terasa) Susah ketika (saya) mengemban (tanggung jawab) jadi penyuluh. (Saya) Perlu nyiapin kurikulum, (dibandingkan) yang sebelumnya ngajar secara spontan sesuai mood anak-anak meski perlu disesuaikan juga dengan panduan,” tuturnya.

Untuk menjadi penyuluh, Sintia dan keempat temannya harus lulus program bimbingan teknis (Bimtek) yang diselenggarkaan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, mereka bekerja secara sukarela sebagai pendidik para penghayat cilik. Baru mulai tahun lalu para penyuluh memperoleh honor dengan nilai yang tentu saja masih jauh dari melimpah.

Selama pagebluk, tantangan yang dihadapi para penyuluh kian berat. Pembatasan aktivitas dan mobilitas warga demi menekan angka penularan virus, memaksa semua pembelajaran diselenggarakan secara daring. Sudah hampir dua tahun penuh tidak pernah anak-anak bertatap muka langsung.  

“Di sini kami mengumpulkan para peserta didik dari tiap wilayah. Ada yang dari Ciparay, Cicaheum, Cimenyan. Anak-anak harus dikenalin, takutnya (mereka) ngerasa minder, supaya gak ngerasa cuma satu kampung di sini aja,” ungkap Setiawan (40), penyuluh yang lain, di sela-sela kegiatan mendongeng yang dilangsungkan dengan menggandeng Yayasan Akasia, Minggu (27/02/2022).

Setaiwan (kiri), Deni Efendi (tengah), dan Mulya Sumpena (kanan) mengabdikan banyak waktu mereka untuk mendampingi pertumbuhan anak dan remaja penghayat. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Rasa percaya diri amatlah penting bagi anak-anak penghayat. Sebagai kelompok minoritas, mereka masih mengalami beberapa kebijakan diskriminatif. Beberapa sekolah dasar sudah mengizinkan para penyuluh untuk memberikan pembelajaran bagi siswa penganut kepercayaan. Namun masih ada saja sekolah yang tidak mau memberikan akses layanan itu.

Praktik intoleransi masih menjadi masalah besar di Jawa Barat. Setara Institute, misalnya, dalam laporan tahunan mereka selama 14 tahun terakhir selalu menempatkan provinsi ini di urutan pertama pelanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada tahun 2021, tercatat ada 40 kasus pelanggaran.   

Yuni Anggraeni (26) sudah menjadi penyuluh selama empat tahun setelah lulus Bimbingan Teknis (Bimtek) pada 2018 lalu. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Namun, bukan berarti semua cerita terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat adalah kisah muram. Ada inisiatif-inisiatif baik yang dikerjakan, ada harapan yang terus dirawat. Kegigihan lima anak muda AKP mengambil tanggung jawab sebagai penyuluh bagi adik-adik mereka, bukan satu-satunya. Di Cijawura Hilir, Buahbatu, Kota Bandung, anak-anak dan remaja penghayat berbaur bersama teman-teman sebayanya lewat latihan dan pentas pencak silat.

Terletak di tengah permukiman padat, Padepokan Medal Budi Kencana dirintis oleh para penghayat AKP sejak tahun 1975. Saat ini padepokan tersebut memiliki 30-an orang peserta didik. Dari jumlah tersebut, 10 orang di antaranya merupakan penghayat cilik. Panca (11), salah satunya.

Membebaskan diri dari stigma dan kebijakan diskriminatif, para penghayat muda di kawasan Bandung Raya mengupayakan pelestarian tradisi dan nilai kepercayaan mereka. Menjadi penyuluh, lima anak muda penghayat dengan tekun mendampingi pertumbuhan adik-adik mereka. Lewat pencak silat, anak-anak dan remaja penghayat dengan penuh percaya diri berbaur dengan lingkungannya sembari mengukir prestasi.

Foto dan teks: Virliya Putricantika

 

***

Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//