• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (2): Menyaksikan Akhir Perjalanan Penerbit Pustaka

MEMORABILIA BUKU (2): Menyaksikan Akhir Perjalanan Penerbit Pustaka

Pustaka menerbitkan buku-buku bermutu sejak tahun 1980-an. Perjalanan penerbit Bandung legendaris ini berakhir dengan dijualnya seluruh aset tiga tahun lalu.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Kantor dan gudang Penerbit Pustaka di bilangan Suci, Kota Bandung, dipotret dalam kunjungan penulis pada Senin (10/9/2018). Setelah pemilik dan pendirinya meninggal, seluruh aset penerbit legendaris ini telah dijual. (Foto: Deni Rachman)

25 Juli 2021


BandungBergerak.idPara penggemar atau kolektor pemburu buku-buku Pustaka, penerbit yang tumbuh di Bandung sejak 1980-an, sangat mungkin sudah akrab dengan sampul berhiaskan kaligrafi karya A. Noe’man. Sampul-sampul dengan tampilan khas itulah yang membungkus buku-buku berkualitas berbagai genre, mulai dari sejarah, Islam, kesundaan, kebudayaan, filsafat, sastra, hingga buku-buku pegangan kampus. Sebut saja beberapa judulnya: Orientalisme, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana, Islam di Tatar Sunda, Waosan Babad Galuh, Ayat Suci Lenyepaneun, Ihya Ulumuddin, Pesan dari Timur, Doa & Dzikir, dan Snouck Hurgronje & Islam.

Senin, 10 September 2018 siang, saya berkunjung ke kantor Penerbit Pustaka di bilangan Suci 121 untuk mengurus stok buku yang akan dibawa dan dijual di sebuah pameran buku. Kerja sama baik dengan penerbit legendaris Bandung ini sudah terbangun sejak tahun 2011 ketika saya mulai bangkit dari kebangkrutan buku.

Dari pintu gerbang besar beroda, saya masuk melintasi lahan parkir kendaraan yang langsung mengarah ke dua pintu gedung. Satu pintu menuju ruang administrasi atau pemasaran (marketing) dan satu lagi ke ‘pabrik buku’ yang berisi mesin cetak dan berbagai piranti proses produksi buku.

Gedung ini lebih mirip hangar pesawat terbang atau pabrik karet yang suasananya saya akrabi karena menghabiskan masa kecil di perkebunan. Beratap tinggi, berangka baja hijau dengan tutup  atap dari seng.

Pak Sularno (almarhum), orang kepercayaan Ammar Haryono sejak penerbit Pustaka berdiri, sedang memotong tepi buku dengan alat mesin pemotong listrik (Foto: Deni Rachman)
Pak Sularno (almarhum), orang kepercayaan Ammar Haryono sejak penerbit Pustaka berdiri, sedang memotong tepi buku dengan alat mesin pemotong listrik (Foto: Deni Rachman)

Wejangan Ammar Haryono

Di lorong menuju pintu pabrik ini, ada satu pintu menuju ruang kecil berisi meja, kursi, dan komputer. Di situlah sang pemilik penerbit ini berkantor. Terkadang saya melihat beliau tertidur dengan kemeja terbuka, mungkin gerah.

Ketika saya akan masuk ke ruang administrasi, karena jujur saya segan bahkan untuk sekadar melihat-lihat isi pabrik apalagi masuk kantor pemilik, saya disapa Pak Ammar Haryono, sang empunya penerbit: “Gimana bisnis buku di Baltos? Bagus?”

Rupanya selama ini Pak Ammar memperhatikan aktivitas saya sering bolak-balik ke Pustaka dan tahu saya berdagang buku di Baltos (Balubur Town Square), Tamansari. Kami sebelumnya jarang ngobrol. Hanya ucapan salam saja biasanya.

“Sebagus-bagusnya bisnis, jangan berlebihan. Jangan terburu nafsu ya, Den!” begitu kira-kira ucapan Pak Ammar yang buat saya lebih bersifat wejangan.

Saya langsung teringat bisnis buku saya saat menjadi distributor buku. Itulah tahun-tahun kejayaan yang segera berubah menjadi keterpurukan, salah satunya karena apa yang disinggung Pak Ammar itu: berlebihan, terburu nafsu.

Saya juga teringat salah satu bisnis jasa travel di Bandung yang kemudian merambah bisnis alat berat dan merangsek lagi masuk bisnis investasi dan perbankan. Tujuannya tentu membuat jangkauan usaha lebih besar lewat bisnis batubara yang saat itu sangat menjanjikan. Tapi apa daya, tak lama kemudian usaha grup travel itu bangkrut dan menyisakan masalah.

Saya kemudian teringat bisnis peci M. Iming yang terkesan selow tapi tetap bertahan hingga sekarang. Toko peci M. Iming kalau tidak salah hanya punya dua toko dan tidak ekspansif membuka cabang lagi. Intinya, sebagus-bagusnya bisnis, saya kira harus mempertahankan kesehatan sistem keuangan usahanya itu sendiri.

Wejangan Pak Ammar itu selalu terngiang-ngiang. Semacam rem, supaya tak kebablasan. Kerja sama dengan Penerbit Pustaka terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Buku-buku terbitan Pustaka menjadi andalan terutama untuk dijual di Pameran Buku Islam.

Saya bahkan sempat terpikir untuk membawa buku-buku Pustaka untuk secara khusus mengisi satu stan. Ide ini sempat saya utarakan kepada Pak Ammar. Penerbit Pustaka akan saya boyong ke pameran buku Islam Jakarta yang terkenal ramai itu.

Namun ide itu tak pernah kesampaian karena pelan-pelan bisnis di pameran buku mulai lesu sejak 2014. Saya pun menutup toko buku di Baltos sejak Oktober 2016 akibat daya beli yang terus turun. Omzet pun anjlok, sementara biaya sewa makin menggila.

Sejak itu saya jadi jarang ke kantor Penerbit Pustaka. Berdagang buku pun hanya di daring dan pameran. Baru tahun 2017 secara tak sengaja saya bertemu dengan adik Pak Ammar, Pak Jawad, di kantor cabang BCA Suci. Beliau, yang tampak senang sekali dengan pertemuan kembali, mengabarkan bahwa Pak Ammar Haryono sudah meninggal (tepatnya 25 September 2016). Saya kemudian dipersilakan datang membeli buku lagi ke Penerbit Pustaka.

Salah satu edisi majalah Pustaka, yang diterbitkan bulanan oleh Perpustakaan Salman ITB, dengan nama Ammar Haryono tercantum sebagai Pemimpin Umum. (Foto: Deni Rachman)
Salah satu edisi majalah Pustaka, yang diterbitkan bulanan oleh Perpustakaan Salman ITB, dengan nama Ammar Haryono tercantum sebagai Pemimpin Umum. (Foto: Deni Rachman)

Dari Nama Majalah Perpustakaan Salman ITB

Gayung bersambut. Saya pun memberanikan diri untuk datang lagi. Namun suasana kantor Penerbit Pustaka sudah berubah. Sepi. Tidak ada lagi tim administrasi dan marketing.

Saya disapa oleh Pak Larno yang ternyata sudah sejak tahun 1980-an menjadi orang kepercayaan Pak Ammar di bagian produksi. Ia memberi tahu bahwa Penerbit Pustaka sudah dinyatakan pailit dan beberapa karyawannya dinonaktifkan. Tinggal Pak Larno saja sebagai karyawan tidak tetap di sana.

Untuk pertama kalinya saya akhirnya bisa masuk ke pintu yang satu lagi itu: bagian produksi dan gudang buku. Luar biasa besarnya ruangan bagian ini. Terdapat 12 mesin buku, mulai dari mesin cetak, mesin jilid jahit ,hingga mesin potong. Di antara mesin-mesin itu bertumpuk buku-buku terbitan Pustaka yang selama ini laris saya jual. Beberapa buku yang rusak bercampur dengan yang kualitasnya bagus.

Pak Larno dengan cekatan memotong atau menyerit tepian buku di mesin potong kertas listrik. Sambil menunggu kedatangan Pak Mismaruddin, adik bungsu Pak Ammar, saya meminta izin berkeliling ruangan itu.

Saya naik ke lantai 2. Di lantai ini, stok buku sudah disusun di rak. Sebelum masuk ke ruangan itu, terdapat plat-plat naskah dan naskah dummy. Ada juga teronggok arsip-arsip Pustaka ketika masih beralamat di Perpustakaan Salman ITB. Ada agenda, sampul-sampul buku yang belum dijilid, dan alat-alat mesin administrasi, seperti komputer jadul. Suasana tampak berantakan.

Di lantai 2 inilah saya menemukan tiga bundel majalah Pustaka tahun kedua dan ketiga. Dari ketiganya, saya sedikit menelusuri sejarah Penerbit Pustaka, sambil mencocokkannya dengan keterangan dari Pak Larno. Melihat dari tahun terbit bundel tahun kedua ini, yaitu Februari tahun 1978 sampai April 1979, kemungkinan pemberian nama penerbit berawal dari penerbitan majalah Pustaka ini. Begitu dugaan saya.

Majalah bulanan dengan topik berbeda tiap bulan ini diterbitkan oleh Perpustakaan Salman ITB sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah kemasyarakatan, seni budaya, ilmu-pengetahuan, teknologi, dan agama. Para penulisnya tak tanggung-tanggung. Para intelektual yang kesohor hingga sekarang, sebagian besar sudah almarhum, yang menyumbang artikel ke majalah Pustaka di antaranya adalah Gus Dur, Armahedi Mahzar, Y.B. Mangunwijaya, Miftah Faridl, Arwah Setiawan, Mahbub Djunaedi, Roem Topatimasang, Jakob Sumardjo, Remy Sylado, Taufik Ismail, Ali Audah, Sunaryo, Haidar Bagir, Achmad Subardjo, TB Simatupang, AH Nasution, Moh. Roem, Ali Sadikin, Dawam Rahardjo, Ridwan Saidi, Mochtar Lubis, Adam Malik, Sri Edi Swasono, MAW Brouwer, Emha Ainun Nadjib, Adnan Buyung Nasution, Sudjatmoko, Taufik Abdullah, George Yunus Aditjondro, WImar Witoelar, Adi Sasono, dan Jujun S. Suria Sumantri.

Kelima belas edisi majalah Pustaka ini memantulkan pemikiran-pemikiran para penulis yang segar, bernas, dan mengandung kritik yang cerdas. Rupanya Pak Ammar sendiri menjadi Pemimpin Umum dan beberapa kali mengisi editorial yang bernama rubrik Assalamu’alaikum. Rubrik yang selalu hadir tiap bulan di aantaranya Pembicaraan Buku. Kemudian saya menemukan informasi di buku-buku terbitan Pustaka yang mencantumkan Pak Ammar sebagai editor.

Saya langsung membawa ketiga bundel majalah itu ke bawah. Tak lama kemudian Pak Mismaruddin datang. Saya pun mengenalkan diri. Sejak itulah saya sering berkirim pesan WhatsApp sambil mengobrol seputar sejarah Penerbit Pustaka.

Lewat percakapan itulah, saya mengetahui bahwa Pak Ammar adalah kakak tertua dari tujuh bersaudara. Almarhum tidak menikah, dan meninggalkan banyak gedung dan tanah di beberapa tempat. Selama hidupnya almarhum membiayai adik-adiknya dan melibatkan adik-adiknya, termasuk mengajak Pak Mismar bekerja ketika awal pendirian Pustaka.

Pemandangan dari lantai 2 menuju lantai bawah tempat mesin produksi  di kantor sekaligus tempat produksi Penerbit Pustaka Bandung beberapa saat sebelum menemui pailitnya. (Foto: Deni Rachman)
Pemandangan dari lantai 2 menuju lantai bawah tempat mesin produksi di kantor sekaligus tempat produksi Penerbit Pustaka Bandung beberapa saat sebelum menemui pailitnya. (Foto: Deni Rachman)

Pailit lalu Dijual

Tak lama setelah bertemu Pak Mismar, saya mendengar kabar banjirnya stok Pustaka yang dijual murah di beberapa tempat. Para pedagang buku kaki lima maupun beberapa toko buku daring di medsos menjual buku-buku Pustaka dengan harga murah. Saya coba mengecek ulang kebenaran berita tersebut. Pak Mismar membetulkan telah terjadi kebocoran stok Pustaka. Kesepakatan untuk merecah atau memusnahkan tumpukan buku sebanyak satu truk ternyata dilanggar oleh pihak kedua. Salah satu pedagang di Bandung yang menerima stok Pustaka dengan harga murah itu sempat digrebek oleh tim Pustaka.

Hampir setahun saya menjalin kerja sama dengan Pak Mismar. Saya mencoba membantu penjualan buku-buku Pustaka lewat pemasaran daring dan pameran-pameran dengan sistem konsinyasi retur pascapameran. Saya bahkan sempat ditawari untuk membantu menjualkan stok gantungan plastik baju produksi Pustaka. Stoknya menumpuk, teronggok di salah satu sudut pabrik buku. Rupanya, sebelum meninggal, Pak Ammar sempat membuka bisnis produksi biji plastik di pabrik bukunya.

Hingga satu waktu di tahun 2018, saya mendengar kabar bahwa seluruh aset berupa gedung, mesin produksi buku, dan stok buku (termasuk plat dan naskah) akan dijual. Harga di atas 10 miliar rupiah sangat wajar mengingat luas gedung dan lokasi tanah di bilangan Suci yang sangat strategis.

Tak lama kemudian ada salah seorang pelaku usaha di Cibiru yang memborong mesin dan stok buku Pustaka. Mendengar hal itu, saya gembira tapi sekaligus lemas karena dengan berpindahtangannya kepemilikan, jejak sejarah Pustaka ini terputus dari keluarga besar Pak Ammar.

Tak berselang lama, saya diberi kabar oleh Pak Mismar bahwa Pak Larno, karyawan kepercayaan pemilik penerbit Pustaka, meninggal dunia. Sejak itulah saya kehilangan kontak dengan Penerbit Pustaka. Namun, warisan ucapan Pak Ammar serta kebaikan Pak Larno, Pak Mismar, dan Pak Jawad akan terus berkesan di hati dan ingatan saya.

Selamat jalan Pustaka, sang legenda perbukuan di Bandung!

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (1): Sebelum Penerbit Djambatan Tutup

Judul-judul Buku

Beberapa judul buku legendaris terbitan Pustaka dan distribusinya:

  1. Orientalisme (Edward W. Said, 1996),
  2. Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana (Ajip Rosidi, 1989),
  3. Filsafat Shadra (Fazlur Rahman, 2010),
  4. Islam di Tatar Sunda (Yuyus Suherman, 1995),
  5. Waosan Babad Galuh (Amman N. Wahju, 2009 ),
  6. Ayat Suci Lenyepaneun (Moh. E. Hasim, 1989),
  7. Ihya’ ‘Ulumuddin (Imam A-Ghazali, 2007),
  8. Pesan dari Timur (Muhammad Iqbal, 1985),
  9. Doa & Dzikir (Miftah Faridl, 2002 & 2003),
  10. Haji(Ali Syariati, 2002)
  11. Rupa-rupa Upacara Adat Sunda(Moh. E. Hasim, 1997)
  12. Puisi dan Prosa (Kahlil Gibran, 2003)
  13. Dewa-dewa Bumi (Kahlil Gibran, 1989)
  14. Sakerah (Djamil Suherman, 1985)
  15. Wanita di dalam Islam (Fatima Mernissi, 1994)
  16. Di depan Mahkamah Akal (Abul A’la Maududi, 1986)
  17. Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Ahmad Syafii Maarif, 1985)
  18. Kamus Lengkap Jepang-Indonesia (Mulyana Adimihardja, 2004)
  19. Snouck Hurgronje & Islam (van Koningsveld, 1989, Pustaka menjadi distributor tunggal).
  20. Biografi M. Natsir 1(Ajip Rosidi, 1990, Pustaka menjadi distributor tunggal)

Salambuku! 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//