Bandung Kota Rawan Bencana (1): Kebakaran dan Sesar Lembang
Kebakaran merupakan bencana yang paling sering terjadi di Bandung. Namun jangan lupakan juga potensi gempa bumi Sesar Lembang yang mengancam dalam diam.
Penulis Iman Herdiana3 April 2021
BandungBergerak.id - Kota Bandung tergolong kota rawan bencana, mulai dari kebakaran hingga ancaman gempa bumi Sesar Lembang. Masing-masing jenis bencana membutuhkan antisipasi maupun mitigasi yang berbeda.
Sebagai kota padat penduduk, Bandung paling sering menderita bencana kebakaran. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2020, tercatat 272 kasus kebakaran, atau rata-rata lebih dari 22 kali kebakaran setiap bulannya. Bencana ini membuat tujuh orang kehilangan nyawa dan 82 orang menderita luka.
Total area yang terbakar sepanjang tahun 2020 itu seluas 61.029 meter persegi atau lebih dari delapan kali luas lapangan sepak bola. Si jago merah paling sering mengamuk di perumahan warga, yakni 99 kasus, disusul bangunan umum sebanyak 51 kasus, pasar dan bangunan industri masing-masing 3 kasus, dan bangunan lainnya 116 kasus.
Bencana kebakaran paling banyak terjadi akibat listrik, yakni 49 kasus, disusul kompor sebanyak 28 kasus.
Hasil survei Badan Pusat Statistik Kota Bandung ini berbeda dengan data yang disampaikan Kepala Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (Diskar PB) Kota Bandung Dadang Iriana. Ia menyebut angka kebakaran tahun 2020 turun dibandingkan tahun 2019. Dari sebelumnya 279 kasus menjadi 172 kasus.
"Ini menunjukkan tingkat kesadaran (warga) meningkat,” jelas Dadang, Kamis (18/3/2021), dikutip dari siaran pers Humas Kota Bandung.
Meski jumlah kasus kebakaran berkurang, Dadang menegaskan bahwa Bandung merupakan kota rawan bencana kebakaran seiring meningkatnya populasi dan aktivitas masyarakat Bandung. Memperkuat mitigasi, Diskar PB Kota Bandung membutuhkan dukungan bantuan anggaran untuk pengadaan sarana, prasarana, sosialisasi, serta simulasi bencana.
Bandung hingga kini belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana (BPBD). Imbasnya, kewenangan menangani bencana yang mengancam warga kota ada di jajaran Diskar PB. Bukan hanya kebakaran, tapi juga berbagai jenis potensi bencana lain.
Sesar Lembang
Bandung, kota yang saat ini dihuni oleh lebih dari 2,5 juta penduduk, berjarak hanya 10 kilometer dari Sesar Lembang. Sumber gempa bumi yang membentang 29 kilometer dari kaki Gunung Manglayang (Kabupaten Bandung), melintasi Lembang, sampai Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.
Penelitian terhadap sesar ini dilakukan secara intensif setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Salah satu rekomendasi utamanya adalah penerapakan kaidah tahan gempa dalam pembangunan rumah dan fasilitas publik di Bandung. Gempa bumi sejatinya tidak membunuh, yang membunuh adalah bangunan yang runtuh akibat gempa.
Penelitian terbaru yang dilakukan Mudrik Daryono dan Danny Hilman Natawidjaya (2017) menyimpulkan bahwa sesar ini aktif dengan pergeseran (sliprate) 3-6 milimeter per tahun. Badan Geologi juga mencatat sejumlah kejadian gempa bumi yang disebabkan sesar Lembang. Salah satunya, gempa bumi pada 28 Agustus 2011 yang mengakibatkan kerusakan rumah-rumah warga di desa Muril Rahayu, Kabupaten Bandung Barat. Sesar ini juga pernah melepaskan energi berkekuatan di bawah 5 SR pada 1999.
Potensi kerugian ekonomi akibat gempa bumi yang dipicu gerakan Sesar Lembang mencapai Rp 51 triliun, menurut hasil penghitungan Pusat Penelitian Mitigasi Bencana (PPMB) Institut Teknologi Bandung (ITB). Hitung-hitungan ini didapat dari nilai kerusakan pada sekitar 2,5 juta rumah tinggal di Kota Bandung dengan 500 ribu rumah di antaranya diperkirakan rusak total. Jumlah kerugian ini belum termasuk sarana perkantoran, sekolah, pasar, dan fasilitas publik lainnya.
Kerusakan tersebut juga diperparah dengan kondisi tanah Bandung yang merupakan hasil endapan danau purba yang bersifat lunak.
Selain Sesar Lembang, Bandung juga dikelilingi sesar gempa bumi lainnya. Di antaranya, patahan Cileunyi-Tanjungsari, patahan Cicalengka, patahan Gunung Geulis, dan patahan Jati. Aktivitas patahan-patahan gempa bumi ini pernah dibahas dalam Geoseminar “Patahan Lembang: Fakta dan Realita” di Auditorium Badan Geologi, Bandung, 7 September 2018.
Patahan-patahan tersebut tercatat pernah menghasilkan gempa bumi dengan kekuatan kurang dari 5 SR, antara lain gempa bumi Tanjungsari pada tahun 1972 dan 2010, gempa bumi Gunung Halu dan Jati pada 2005, gempa bumi Pangalengan pada 2016, gempa bumi Cicalengka pada 2000 dan 2005, serta gempa bumi Ujungberung pada 2011. Dengan catatan historis ini, mitigasi bencana mutlak diperlukan.
Satlak Penanggulangan Bencana
Wacana pembentukan BPBD Kota Bandung sebenarnya sudah muncul sejak jabatan wali kota Bandung dipegang Dada Rosada. Penggantinya, Ridwan Kamil, memiliki momentum untuk membentuk BPBD ketika menyusun Satuan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) baru di lingkungan Pemkot Bandung pada akhir 2016 lalu. Namun alih-alih membentuk badan baru, ia memilih mencangkokkan kerja penanggulangan bencana ke Dinas Kebakaran.
Di masa kepemimpinan Oded M Danial, yang menggantikan Ridwan Kamil sejak September 2018, Pemkot Bandung memilih membentuk Satuan Pelaksana (Satlak) Penanggulanan Bencana. Meski diklaim memiliki fungsi sama, Satlak tidak lebih strategis dari BPBD yang memiliki fungsi koordinasi lebih luas dengan kewenangan mengelola anggaran sendiri.
Kepala Seksi Kerja Sama Kebencanaan Diskar PB Kota Bandung, Imanuel Situmorang mengatakan Satlak Penanggulangan Bencana akan menjadi tambahan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk membantu penanganan kebencanaan di Kota Bandung. Secara umum, tugas Satlak sama dengan BPBD, yaitu berkaitan dengan ketahanan bencana, penanganan prabencana, tanggap darurat dan pascabencana.
Kewenangan pemilihan SDM sebagai anggota Satlak diserahkan sepenuhnya kepada kelurahan dan kecamatan. Mereka akan diberikan pelatihan khusus oleh Diskar PB dan lembaga lain terkait penanggulangan kebencanaan.
“Kita optimistis dengan apa yang akan dilakukan ini. Karena berdasarkan pengalaman kami berkunjung di kabupaten kota lain tentang kelembagaan yang mereka miliki yaitu BPBD," kata Imanuel. "Saya kira itu bisa diimplementasikan melalui kelembagaan Satlak.”