Bandung Hari Ini: Gugum Gumbira dan Kontroversi Jaipongan
Sejak kemunculannya pada akhir 1970-an, jaipongan tidak pernah kehilangan pesona sekaligus tak pernah sepi dari kontrovesi. Gugum Gumbira menjadi pelopornya.
Penulis Tri Joko Her Riadi4 April 2021
BandungBergerak.id - Sejak kemunculannya pada akhir 1970-an, jaipongan atau tari jaipong tidak pernah kehilangan pesona. Gerakan penarinya yang atraktif, penuh energi, dan erotik, dalam iringan musik yang rancak, membuat orang sulit memalingkan mata.
Jaipongan dengan cepat menjelma sebuah tontonan populer yang digemari semua kalangan. Ia hadir di banyak kegiatan warga, mulai dari hajatan pernikahan hingga perayaan tujuh belasan. Semakin moncer, tari jaipong masuk ke acara-acara resmi yang digelar institusi dan pemerintah.
Namun, sejak kehadirannya jaipongan juga tidak pernah lepas dari kontroversi. Gerakan-gerakan penarinya dituding kelewat menggoda sehingga bisa memancing syahwat. Jaipongan dicap lekat dengan pornografi.
Nama Gugum Gumbira ada dalam setiap pembicaraan tentang jaipongan. Memiliki nama lengkap Gugum Gumbira Tirasonjaya, ia lahir di Bandung pada 4 April 1945, atau tepat hari ini 76 tahun lalu.
Lahir dari Tari Rakyat
Jaipongan lahir dari tari-tari rakyat yang hidup di tengah masyarakat Jawa Barat. Kata jaipong sendiri, lalu menjadi jaipongan, menurut Abdul Aziz dalam esai “Pencugan Merupakan Kreativitas Tari Jaipongan” yang termuat di buku Gugum Gumbira: Dari Chacha ke Jaipongan (2007), sudah populer di Karawang sejak 1975. Kata itu berasal dari peniruan bunyi (anapatope) kendang yang biasa dilisankan oleh penari bodor (lawak) pada pertunjukan banjet.
Pada akhir tahun 1970-an, Gugum Gumbira, seorang pesilat dan penari ketuk tilu ala Priangan yang andal, berkenalan dengan Suanda dan seniman-seniman Jaipongan lain dari Karawang. Suanda bahkan diboyong Gugum ke Bandung untuk mengendangi karya-karyanya. Pada 1978, lahir tari Keser Bojong dan Rendeng Bojong yang kemudian menjadi sangat populer.
“Jaipongan merupakan komposisi gerak tari yang berakar dari ketuk tilu, pencak silat, dan tari-tari rakyat Jawa Barat lainnya,” tulis Abdul Aziz.
Een Herdiani dalam artikel “Gugum Gumbira: Koreografer Sunda Modern” yang termuat di buku yang sama menceritakan proses pencarian bentuk jaipongan oleh Gugum. Mulanya, ia mendalami pencak silat. Setelah tahun 1970, Gugum mempelajari kesenian-kesenian lain, seperti ketuk tilu, tari keurseus, serta tari topeng, khususnya gerak-gerak topeng banjet. Untuk setiap kesenian yang dipelajari, ia menyerapnya langsung dari para pelaku.
Belakangan Gugum tertarik dengan kliningan bajidoran yang tumbuh di Karawang. Semua gerak dalam kesenian ini bersumber dari pencak silat, banjet, ketuk tilu, dan tayub.
“Di sini Gugum seringkali ikut terjun menjadi bajidor dan tidak segan mengeluarkan uang banyak untuk membayar para sinden dan tukang kendang,” tulis Een.
Nampaknya dalam pentas-pentas kliningan bajidoran inilah Gugum melihat banyak hal menarik yang kemudian menjadi ciri yang melekat ke jaipongan: atraktif, penuh energi, dan erotik. Tidak ketinggalan: komersial.
Tentang nilai komersial atau bisnis ini, Gugum terinspirasi oleh kekagumannya pada sinden kliningan bajidoran yang memiliki daya tarik luar biasa dan nilai jual yang tinggi. Orientasi bisnis sejak awal tidak lepas dari kemunculan jaipongan-nya Gugum.
Kontroversi
Pada 2009 lalu, di tengah keriuhan pembahasan Undang-undang tentang Pornografi, mencuat kontroversi seputar tari jaipongan yang menjadi perbincangan luas publik. Penyebanya, beredar imbauan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (2008-2018) agar pentas jaipongan mengurangi pemakaian busana terbuka serta gerakan “3G”-nya: gitek, geol, dan goyang. Bahkan santer beredar kabar imbauan itu akan tertuang dalam instruksi resmi.
"Belum ada instruksi atau statemen langsung ke saya dari Gubernur. Namun Gubernur pernah mengutarakan agar penari jaipong itu menutup ketiaknya dan mengurangi goyang, gitek, dan geolnya," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Kadisparbud) Jawa Barat Herdiwan, Kamis (5/2/2009), sebagaimana diberitakan oleh Detik.com.
Komentar pejabat publik atas jaipongan bukan kali pertama ini terjadi. Dalam buku Apa Siapa Orang Sunda (2003) yang disunting oleh Ajip Rosidi, termuat informasi tentang pelarangan jaipongan kreasi Gugum Gumbira oleh Gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi (1975-1980). Alasan yang disampaikan sama: pentas-pentas jaipongan dituding menonjolkan gerakan pinggul “3G” secara berlebihan.
Kontroversi tentang jaipongan bahkan tercatat sudah muncul sejak kelahirannya. Irawati Durban Ardjo dan Endo Suanda dalam buku 200 Tahun Seni di Bandung (2011) menyebut tarian ini ditolak oleh banyak kaum ibu kalangan menengah-atas justru dengan alasan sebaliknya.
“Namun setelah kostum dengan baju model kebaya dan sanggul besar (pakaian dan andam rambut tradisional Sunda yang berkaitan dengan kaidah kesantunan dan keanggunan wanita Sunda) diganti menjadi kostum tari yang didesain khusus, maka gerak tari jaipongan yang dinamis dan atraktif, menantang, seksi, dan sensual pun menjadi bentuk tari pertunjukan yang disukai oleh semua kalangan,” tulis Irawati.
Erotisme itu Keindahan
Dalam wawancaranya dengan Ahda Imran, yang terbit di koran Pikiran Rakyat edisi 2 April 2006, Gugum Gumbira menepis semua anggapan miring tentang erotisme jaipongan. Erotisme, menurut sang seniman, adalah sesuatu yang kodrati. Ia juga menyebut porsi gerakan “3G” tidak lebih dari 20 persen dari keseluruhan penampilan.
“Konotasi atau sudut pandang erotis bagi saya adalah keindahan. Bukan yang mengarahkan kepada sex appeal,” katanya.
Toh kontroversi dan pelarangan terbukti tidak membuat pamor jaipongan redup. Malahan sebaliknya, kesenian ini makin digemari masyarakat. Pada 1980 tari jaipongan mulai bisa disaksikan di layar televisi. Kaset-kaset keluaran Jugala (Juara dalam Gaya dan Lagu), bisnis rekaman yang didirikan Gugum di Jalan Kopo, laku keras di pasaran. Sanggar-sanggar seni jaipongan tumbuh bak cendawan di musim hujan. Festival dan lomba digelar.
Dalam perkembangannya, jaipongan juga berpengaruh besar terhadap seni pertunjukan lain di Jawa Barat, mulai dari wayang golek, degung, calung, hingga tari-tari Sunda lain.
“Selain itu muncul perpaduan antara jaipongan dengan break dance yang dikenal dengan istilah berakpong. Musik jaipongan juga digunakan untuk mengiringi senam kesehatan jasmani yang dikenal dengan istilah senam jaipong,” tulis Een Herdiani.
Pengembaraan Panjang
Gugum Gumbira lahir di Bandung pada 4 April 1945 sebagai anak pertama dari enam bersaudara. Sejak umur enam tahun, ia belajar pencak silat dari sang ayah. Bukan hanya gerak bela dirinya, tapi juga penca kembangan sebagai sebuah seni tari.
Di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Gugum Gumbira semakin jauh mendalami ibing pencak. Dipelajarinya jurus-jurus Cimande dan Cikalong. Kegemaran pada seni tari ini yang terus dibawa Gugum di jenjang-jenjang pendidikan selanjutnya.
Pada 18 April 1968, Gugum menikah dengan Euis Komariah, seorang juru kawih Sunda yang sudah cukup populer namanya. Justru sejak menikah inilah, Gugum semakin intens mendalami tari rakyat. Ia berkeliling Jawa Barat untuk belajar dan berinteraksi dengan seniman-seniman setempat.
Jaipongan tidak lahir dalam semalam. Ia merupakan hasil pengembaraan panjang Gugum mempraktikkan sekaligus memaknai berbagai seni tari rakyat Jawa Barat.