• Komunitas
  • Sahabat Heritage Indonesia: Mencintai Cagar Budaya dengan Berkomunitas

Sahabat Heritage Indonesia: Mencintai Cagar Budaya dengan Berkomunitas

Bandung pernah menjadi laboratorium arsitektur yang mewariskan gedung-gedung cagar budaya. Komunitas Sahabat Heritage Indonesia menjadi wadah untuk menikmatinya.

Para anggota Sahabat Heritage Indonesia (SHI) berfoto di depan bangunan pabrik teh dan karet Panglejar di Cikalong, Kabupaten Bandung Barat. (Dokumentasi SHI)

Penulis Emi La Palau5 April 2021


BandungBergerak.idBandung di era kolonial Hindia Belanda ibarat sebuah laboratorium arsitektur raksasa. Generasi sekarang bisa melacak dan menikmatinya lewat bangunan-bangunan cagar budaya (heritage) yang masih tersisa. Sahabat Heritage Indonesia menjadi salah satu wadah bagi kegemaran semacam itu.

Sahabat Heritage Indonesia lahir berawal dari interaksi sebagian anggota grup Facebook “Bangunan Colonial Indonesia” yang ketika itu tercatat memiliki total anggota 5-10 ribu orang. Mereka, yang semuanya tinggal dari Bandung, sepakat bertemu untuk membentuk Sahabat Heritage Bandung pada Desember 2019.

Ryzki Wiryawan, seorang pengajar dan pegiat sejarah, menceritakan, pertemuan itu dipantik ide yang ia sampaikan dalam sebuah kegiatan di Semarang beberapa bulan sebelumnya. Selain gerakan pelestarian cagar budaya di media sosial yang jadi fenomena di mana-mana, menurut Ryzki, tetap dibutuhkan aktivitas nyata di lapangan. Salah satunya dengan membentuk komunitas-komunitas.

Hasil ngopi darat di Bandung itu ternyata menggelinding cepat. Setahun berselang, para pecinta cagar budaya di luar daerah tertarik bergabung. Mereka datang dari Jakarta, Tasikmalaya, dan bahkan dari Belanda. Bergabungnya orang-orang di luar Bandung inilah yang membuat komunitas bersalin nama menjadi Sahabat Heritage Indonesia. Saat ini ada sekitar 100 orang menjadi anggotanya.

“(Sebagai) Konsep awal dibentuknya Sahabat Heritage Bandung, harapannya di setiap kota ada Sahabat Heritage. Nanti misalnya kita mau tur ke Jakarta ada Sahabat Heritage Jakarta yang akan memandu. Harapannya, kalau sudah ada di setiap kota, kita akan mudah dalam berjejaring dan sharing ilmu,” ungkap Ryzki kepada BandungBergerak.id, Sabtu (3/4/2021).

Sahabat Heritage Indonesia gemar menggelar diskusi bertopik sejarah. Di masa pandemi, perbincangan-perbincangan dialihkan ke ruang virtual dengan menghadirkan narasumber kompeten. Yang tak boleh ketinggalan: jalan-jalan atau tur menjelajahi bangunan-bangunan cagar budaya di berbagai daerah.

Dibawa Senang

Ernawatie Sutarna (46), salah satu anggota Sahabat Heritage Indonesia, memiliki banyak pengalaman yang bisa dibagikan. Salah satu yang masih lekat dalam ingatannya adalah kesempatan menengok kamar pribadi Presiden Pertama Indonesia, Sukarno, di Hotel Savoy Homann, Bandung.

“Rasanya haru, karena tidak semua orang bisa ke sana. Tidak semua bisa masuk ke ruangan yang pernah menjadi kamar pribadinya Bung Karno,” katanya, Minggu (4/4/2021).

Sebagai anak, Erna tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga penikmat budaya Sunda. Dia memiliki semacam ritual momotoran dengan sang ayah. Ketika melintasi tempat-tempat yang terkait dengan peristiwa sejarah tertentu, sang ayah akan menceritakannya kepadanya.

“Saya suka dibilangin ini di sini dulu ada kejadian apa, tokohnya siapa, peristiwa seperti apa. Jadi itu yang terekam dari kecil,” ungkapnya.

Namun kecintaan Erna terhadap sejarah dan bangunan cagar budaya baru benar-benar bisa tersalurkan justru setelah dia berkeluarga. Ketika anak-anaknya mulai besar, lulusan sarjana Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mulai melonggarkan waktu untuk jalan-jalan sendiri, memotret bangunan dan tempat bersejarah, lalu mengunggahnya di media sosial Facebook. Dari aktivitas di internet itu jugalah, Erna menemukan banyak akun komunitas yang membahas sejarah Bandung.

Sebelum bergabung dengan Sahabat Heritage Indonesia sejak September 2020, Erna sudah aktif di beberapa komunitas lain. Sejak 2018, dia mulai bergabung dengan komunitas Heritage Lover. Pada waktu bersamaan, Erna juga mengikuti kegiatan-kegiatan komunitas lain, seperti Komunitas Aleut yang rutin mengadakan jalan-jalan atau tur tiap akhir pekan. Ada juga grup Facebook Napak Tilas Bandung Tempo Dulu.

Mencintai sejarah, terutama yang terkait dengan kesundaan, sejak kecil, Erna mengaku bisa belajar banyak dari komunitas-komunitas yang diikutinya. Baginya, teman baru berarti pengetahuan baru. Lebih jauh lagi, berkat aktivitasnya di komunitas, Erna kini mulai serius mengembangkan minat menulis.

“Pokoknya have fun,” kata Erna. “Saya bawa senang saja.”

Baca Juga: Komunitas Aleut Susuri Rantai Sejarah Bandung sampai Gunung

Pembangunan Massif

Warisan bangunan cagar budaya (heritage) yang tersebar di sekujur Kota Bandung tidak lepas dari pembangunan massif yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak awal abad ke-20. Ketika itu bergulir rencana memindahkan ibu kota kolonial dari Batavia, yang rawan banjir dan rentan penyakit, ke Kota Kembang yang memiliki iklim sejuk.

Robert P. G. A. Vorskuil dalam buku Bandung, Citra Sebuah Kota (2017) mengisahkan perkembangan pesat yang terjadi di Bandung dalam kurun 1910 hingga 1940. Pembangunan pusat-pusat aktivitas kemiliteran berdampak pada pengembangan kawasan, seperti kepindahan perusahaan dagang dan toko besar di bidang persenjataan dari Surabaya ke Bandung. Menyusul kemudian beberapa perusahaan swasta pembuat mesiu, konstruksi, pembuat makanan kaleng, dan pabrik karet yang memproduksi ban.

Pemindahan Departemen Perusahaan Pemerintah pada 1918, juga berbagai dinas yang mengurusi kereta api, trem, pos-telegram-telepon, dan pertambangan, makin mempercepat perubahan wajah Kota Bandung.

“Sawah-sawah diratakan, jalan-jalan dibuat, pembuatan riol dan penyediaan keperluan umum (gas, listrik, ledeng) dan pembangunan sejumlah perumahan,” tulis Vorskuil.

Bangunan-bangunan strategis lain satu per satu berdiri, mulai dari Sekolah Tinggi Teknik, sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Pasteur dan Vaksinasi (sekarang Bio Farma), hingga Bursa Datang Tahunan Jaarbeurs (sekarang Gedung Kodiklat Kodam Siliwangi). Juga beberapa gedung besar lain, mulai dari rumah sakit hingga kawasan permukiman dengan Andir sebagai pionirnya.

Pada 1927, yang biasa disebut akhir masa perkembangan pertama Kota Bandung sebelum mandek dihantam malaise dunia, tercatat jumlah penduduknya 150 ribu orang. Jumlah warga Eropa di kisaran 16.600 orang, atau melonjak hingga delapan kali lipat dari jumlahnya pada tahun 1905.

Namun Vorskuil menyimpulkan: “Perubahan besar pada tata kota bukan saja sebagai lanjutan dari perkembangan daerah hunian warga Eropa, melainkan juga karena pusat kota itu sendiri mengalami perubahan bentuk rona dalam masa puluhan tahun.”

Derap pembangunan di Bandung berlanjut hingga menjelang Perang Dunia ke-2. Pada 1938, misalnya, arsitek Th. Karsten didatangkan untuk menjadi penasehat perencanaan berkaitan dengan masalah lalu lintas dan perumahan rakyat. Di era Karsten inilah dibangun lintas bawah (viaduct) jalan kereta api di atas Sungai Cikapundung.

Jalan Asia Afrika merupakan salah satu tempat bersejarah di Bandung (Foto: Iqbal Kusumadirezza)
Jalan Asia Afrika merupakan salah satu tempat bersejarah di Bandung (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Kaya Gaya Arsitektur

Riwayat pengembangan kota inilah yang membuat Bandung kini mewarisi banyak gaya arsitektur bangunan cagar budaya. Kisah-kisahnya menjadi bahan eksplorasi yang tak pernah kering bagi para pecinta sejarah seperti anggota komunitas Sahabat Heritage Indonesia.

Ryzki Wiryawan menyebut, beberapa gaya bangunan yang ada di Bandung mencakup indische empire, neoklasik, serta modern arteco. Bangunan klasik atau empire mengadopsi arsitektur bangunan Romawi Yunani yang dibawa Daendels. Contohnya adalah Gedung Pakuan yang kini menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Barat.

“Tapi kemudian gaya ini dirasa tidak cocok dengan iklim tropis, sehingga dimodifikasi lagi,” katanya.

Pada awal tahun 1900-an muncul gerakan mengganti arsitektur empire dengan bentuk lain. Dari sinilah, mulai muncul gaya neoklasik, kemudian art nouveau. Corak ini, misalnya, bisa ditemukan pada bangunan gedung Bank Indonesia.

Gaya art nouveau pun kemudian ditinggalkan dan muncul corak baru yang disebut artdeco atau yang disebut juga gaya desain modern. Tokoh utamanya C. P. Wolff Schoemaker.

Pada saat bersamaan, lahir gaya yang mencampurkan gaya barat dengan arsitektur lokal. Yang dijadikan contoh adalah gedung ITB dan Gedung Sate. Keduanya dibangun dengan gaya yang tidak sepenuhnya berpatron ke arsitektur Barat, tapi hybrid atau campuran.

Sayangnya, tidak sedikit produk laboratorium arsitektur itu terabaikan atau bahkan lenyap sama sekali. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//