Kelompok Marginal Bandung Rentan tidak Mendapat Vaksinasi Covid-19
Pemerintah didesak membuka akses vaksinasi Covid-19 selebar-lebarnya terutama bagi kelompok masyarakat adat, disabilitas, rentan, dan marjinal.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri2 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah membuka akses vaksinasi Covid-19 selebar-lebarnya terutama bagi kelompok masyarakat adat, disabilitas, rentan, dan marjinal. Koalisi menilai aturan vaksinasi yang ada saat ini berpotensi diskriminasi.
Untuk diketahui, vaksinasi Covid-19 diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia No.10 tahun 2021 pasal 6 ayat 3, yang mewajibkan adanya Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat bagi warga negara untuk mengikuti program vaksinasi.
Desakan tersebut disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksin Bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan, melalui surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, baru-baru ini, dikutip BandungBergerak, Senin (2/8/2021).
Di lapangan, tidak semua masyarakat Indonesia memiliki NIK, terutama mereka yang terdiri dari masyarakat adat, kelompok rentan, masyarakat disabilitas, anak-anak dan lansia, penghuni panti-panti asuhan, panti jompo, dan kelompok marjinal lainnya.
Kelompok Rentan di Bandung
Berbie Gita, pegiat dari komunitas transgender Kota Bandung, Srikandi Pasundan, mengatakan dari 350-400 transpuan yang tercatat di Srikandi Pasundan, belum seorang pun yang sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19.
Meski demikian, mayoritas dari para transpuan tersebut telah memiliki KTP atau NIK. Saat ini jumlah transpuan yang belum memiliki KTP sebanyak 15 orang.
“Sekitar 25 orang (tidak memiliki NIK). Tapi kalau enggak salah beberapa sudah mendapat bantuan oleh komunitas peduli. Sisa 15 orang tidak memiliki NIK,” kata Berbie Gita, Senin (2/8/2021).
Lasma Natalia, Direktur dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengatakan, kesulitan mengakses vaksin Covid-19 karena terkendala persyaratan administrasi juga tidak saja dialami oleh masyarakat rentan dan minoritas. Masalah ini juga dialami warga negara yang memiliki NIK.
“Iya memang laporan terkait kendala persyaratan juga terjadi pada warga negara yang telah memiliki NIK. Beberapa laporan juga masuk dari warga-warga pendatang yang kesulitan mendapat vaksin di lapangan,” ujar Lasma melalui sambungan telepon.
Lasma mengatakan, Permenkes yang menyatakan bahwa NIK sebagai syarat untuk mengikuti program vaksinasi, memang memiliki potensi diskriminasi. Persoalan diskriminasi terutama akan dihadapi warga negara kelompok rentan dan minoritas.
Tak sedikit pula dari mereka yang tidak memiliki NIK kesulitan mengakses beragam pelayanan publik yang telah disediakan, termasuk program vaksinasi dan layanan kesehatan layak.
Menurut Lasma, vaksin merupakan hak dari masyarakat atau warga negara. Oleh sebab itu, mestinya pemerintah memiliki tindakan preventif terkait pelaksanaan peraturan tersebut.
“Vaksin ini kan menjadi haknya rakyat. Terutama hak untuk mendapatkan kesehatan. Mestinya pemerintah sejak awal memang memiliki solusi terkait permasalahan ini. Karena ini sudah terjadi, itu (diskresi) harusnya dilakukan,” ujar Lasma.
Baca Juga: Vaksinasi Covid-19 Dosis Ketiga di Bandung di Tengah Keterbatasan Pasokan
Pelacakan Kontak Covid-19 di Bandung Rendah, Kematian Sulit Dicegah
Kelompok PMKS Kota Bandung
Kelompok rentan lainnya yang tidak memiliki KTP atau NIK adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Mereka adalah para gelandangan atau tunawisma, pengemis, pengamen, anak jalanan, dan lain-lain.
Kepala Subbagian Tata Usaha Unit Pelaksana Tugas Pusat Kesejahteraan Sosial (UPT Puskesos) Dinas Sosial Kota Bandung Bonie Nugraha Permana mengatakan, Dinas Sosial Kota Bandung telah berupaya mencari solusi bagi PMKS yang tidak memiliki NIK. Salah satunya memfasilitasi mereka agar membuat KTP.
“Salah satu tugas Dinsos untuk mengelola para PMKS yang tidak punya identitas,” kata Bonie.
Namun semenjak pandemi, jumlah PMKS Kota Bandung yang ditangani Satpol PP berkurang. Pada 2019 sebelum pandemi, Satpol PP biasa menangani klien untuk diserahkan ke UPT Puskesos sebanyak 3.000-an klien. Pada masa pandemi, misalnya tahun 2020, jumlahnya berkurang menjadi 500 klien. Berkurangnya jumlah ini terjadi karena terbatasnya penjangkauan demi menghindari penularan Covid-19.
Meski demikian, dari yang terjaring Satpol PP tersebut tidak berarti semuanya tak ber-KTP. PMKS yang tidak punya KTP biasanya datang dari luar Kota Bandung dan terlantar di Bandung. “Yang tidak punya identitas itu biasanya ODGJ, gelandangan. Kalau yang lainnya kayak pengemis itu KTP,” katanya.
Kesulitan Masyarakat Adat
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksin Bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mencatat dari dua puluh juta jiwa masyarakat adat yang menjadi anggota AMAN, sebanyak 468.963 orang telah melakukan pendaftaran vaksinasi.
Dua puluh ribu orang di antaranya telah mendapatkan vaksin dosis pertama. Jumlah tersebut belum termasuk seluruh masyarakat adat yang tersebar di Indonesia yang diprediksi mencapai 40-70an juta orang.
AMAN mencatat, wabah Covid-19 sudah menyerang masyarakat adat yang biasa hidup mandiri dan tinggal di lokasi terpencil yang relatif terisolasi. Ironisnya, fasilitas dan layanan kesehatan yang minim membuat kondisi mereka semakin memburuk dan mengkhawatirkan.
Pada masyarakat adat tercatat sudah terdapat klaster-klaster keluarga, termasuk yang meninggal saat menjalani isolasi mandisi. Hal ini diperparah dengan buruknya akses terhadap fasilitas-fasilitas kesehatan.
“Namun, detail jumlah yang positif belum ada karena test dan tracing tidak berjalan baik di wilayah-wilayah terpencil,” demikian surat terbuka koalisi tersebut.
Koalisi juga melihat adanya potensi diskriminasi dalam Permenkes tentang vaksinasi Covid-19. Koalisi meminta Presiden Joko Widodo untuk mengambil langkah diskresi sehingga warga yang tidak memiliki NIK bisa mengakses vaksinasi dan fasilitas kesehatan.
“Kami mohon Bapak Presiden memerintahkan kepada jajaran aparat terkait untuk mengambil langkah terobosan, yakni dengan mengganti persyaratan NIK dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh RT/RW, kepala desa, kepala adat atau organisasi tempat seseorang bernaung,” lanjut Koalisi.